Burung
pun Tak Lagi Berkicau Belum
lagi tuntas lenguh sapi-sapi Amerika atas serangan penyakit sapi gila.
Kini giliran keluarga burung diserang sejenis flu yang mematikan (patogenik).
Secara sporadis avian inluenza-A1 kini mewabah di banyak negara, diawali
dari Thailand, Korea Selatan, Jepang, Vietnam, Kamboja, Hongkong, Italia,
Belanda, Belgia, dan beberapa negara lain. Di
sebagian negara, jutaan unggas menjadi korban, termasuk di Indonesia,
dikabarkan sejak
November tahun lalu, sekitar
5 juta lebih ayam di Indonesia mati, 40% ayam di antaranya terkena virus
flu burung dan virus New Castle.Bila
tindakan antisipatif tidak segera dilakukan, kita akan segera kehilangan
riangnya kicauan burung-burung.
Yang
lebih menakutkan pandemi ganas tersebut juga telah mengambil sejumlah
korban manusia. Dari Vietnam, menurut WHO lebih dari 5 orang telah
meninggal akibat flu burung (fowl flaque) yang menurut sebuah catatan,
pertama kali diidentifikasi di Italia lebih dari 100 tahun lalu.
Pada tahun 1997 jumlah korban yang lebih besar ditelan di Hongkong,
6 orang terinfeksi dan tewas. Ledakan
flu pertama terjadi antara tahun 1889-1890. Namun wabah terhebat muncul di
tahun 1918. Di seluruh dunia, korban berjatuhan sampai 20 juta orang. Di
AS saja, wabah ini merenggut 550.000 jiwa. Kemudian ia menyebar begitu
cepat sampai ke bagian yang terpencil di Alaska, Samoa Barat di Pasifik
Selatan, terus ke India dan di sana menewaskan 12,5 juta penduduk. Belum
lagi di Eropa. Masih
menurut WHO, ternyata hasil penelitian terhadap virus flu burung tersebut
telah bermutasi dari daya mematikan (patogenisitas)-nya yang rendah
menjadi virus yang patogenisitasnya tinggi. Selama
tahun 1983-1984, epidemi flu burung di Amerika Serikat, galur virus flu
burung H5N2 adalah yang menyebabkan tingkat kematian (mortalitas) rendah. Tampaknya
berbagai penyakit ganas tanpa penyembuh terus datang susul menyusul,
mengiringi semakin menuanya peradaban manusia. Mulai HIV, SARS, Anthrax,
Mad Cow dan kini flu burung, semakin hari semakin ganas. Di Medan sendiri
secara periodik nyamuk Aedes Aegipty menyerang secara periodik dan
menewaskan belasan bahkan puluhan orang. Agaknya
kerusakan kesimbangan ekosistem dunia sudah semakin parah, penyebabnya
bisa saja dari perang, menipisnya ozon, kerusakan udara dan air, kebocoran
nuklir dan yang paling signifikan adalah kerakusan manusia. Manusia sudah
memulai, hewan telah menyusul, kita tinggal menunggu mungkin sebentar lagi
giliran tumbuh-tumbuhan menyebarkan pandemi mematikan. Pakar
lingkungan hidup Otto Sumarwoto dalam bukunya Atur Diri Sendiri-Paradigma
Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, menawarkan, upaya yang dapat dilakukan
untuk menyelamatkan bumi adalah dengan sistem yang menekan egoisme. Sebab
semua
bencana akan semakin ganas mengepung manusia, bila hutan terus ditebas dan
dipersempit, bila udara terus dikotori oleh polusi, bila lautan hanya
menjadi muara limbah industri, dan bila hati manusia terus tergerus
ketamakkan. Semakin kompleklah keterkepungan manusia pada akhir dunia.
*** |