Dua hari lagi pelaksanaan kampanye
akan segera berakhir. Selanjutnya rangkaian perjalanan Pemilu memasuki minggu
tenang, dimana parpol melakukan evaluasi sepak terjang selama masa kampanye.
Kalukulasi politik pun segera dilakukan. Kira-kira berapa jumlah simpati rakyat
telah dikantongi, di mana saja basis masa yang benar-benar kuat, atau di wilayah
mana saja mereka disambut dengan dingin.
Di minggu tenang, sambil melepas lelah
usai menyelesaikan maraton kampanye, para pengurus parpol ataupun para caleg,
tentu akan mulai menghitung secara lebih cermat,
berapa dana sudah habis terkuras, dalam mencuri atau membeli perhatian
rakyat. Mengingat-ingat kembali aksi-aksi yang dilakukan di arena kampanye. Ada
yang merasa puas ada yang tidak. Bagi yang belum puas, pasti minggu tenang
mereka isi dengan merancang skenario lanjutan yang lebih dasyat. Paling tidak
mengumpulkan uang lebih banyak untuk melakukan “serangan fajar” menjelang
hari H.
Meskipun pada saat yang sama banyak
cendekiawan, LSM, dan mahasiswa mengkampanyekan anti politisi busuk, atau soal
anti money politic, toh perjalanan pekan-pekan kampanye telah menciptakan
hipotesis yang sama, dengan pemilu-pemilu terdahulu. Partai yang paling banyak
menebar uang adalah partai yang paling meriah sambutan massanya. Hipotesis ini
lebih jauh bisa “diturunkan” menjadi, Partai yang paling banyak menebar uang
(masih) akan menjadi pemenang Pemilu.
Lihat saja hanya dalam dua pekan
kampanye, kabarnya “si moncong putih” telah menghamburkan dana iklan
kampanye sekitar Rp 12,5 miliar, “si kuning” menghabiskan Rp 6,6 miliar, PKS
Rp 2,25 miliar, PKPB Rp 2,03 miliar, Partai Demokrat Rp 1,69 miliar dan
seterusnya, seperti yang dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW). Ini masih
biaya iklan secara resmi, belum lagi pengeluaran lain-lain, untuk kampanye
terbuka, atribut partai, mendatangkan artis, transportasi, dan biaya perorangan
para caleg.
Lagi-lagi uang tetap saja menjadi
formula paling ampuh untuk membeli simpati di tengah kemiskinan materil dan
moral rakyat Indonesia. Bila kelak ternyata hipotesis ini benar, berarti Pemilu
2004 tidak akan membawa perubahan signifikan bagi perbaikan bangsa. Bahkan bisa
menjadi bumerang, karena hanya akan semakin meningkatkan korupsi elit-elit
politik berkuasa. Sebab mereka harus korupsi lebih banyak agar dapat menabur
uang lebih banyak. Kondisinya akan semakin memburuk manakala semakin banyak para
pengusaha yang terseret dalam “tornado” politik. Apalagi keinginan mereka
berpolitik hanya didasari untuk memperkuat akses bisnis, kekuasaan dan
kapitalisme.
Selain pesta pora, Pemilu adalah bius,
yang membuat seluruh rakyat Indonesia lupa, bahwa kita memiliki utang luar
negeri hampir Rp 2.000 triliun yang entah kapan bisa dilunasi, kita masih
dihadapkan pada tingginya angka 400.000 anak yang terus dieksploitasi secara
seksual, angka pengangguran yang terus membengkak di atas 40 juta jiwa,
kemiskinan, problema pendidikan dan seterusnya. Sekali lagi, kenyataan ini harus
membuat seluruh rakyat Indonesia semakin cermat melakukan kalkulasi, sebelum
menjatuhkan pilihan!***