Tragedi
Bali dan Revisi APBN
Beberapa
media di Indonesia menyebutkan, pasca tragedi Bali 12 Oktober 2002,jumlah
wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali langsung merosot tajam. Bila
sebelum ledakan bom wisman yang datang ke Bali sekitar 5.000 orang per hari,
kemudian jumlah itu menciut jadi 700 orang per hari. Sialnya
kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Bali, namun meyerang seluruh kawasan
pariwisata di Indonesia. Pemicunya adalah travel
advisory yang dikeluarkan pemerintah Australia, Amerika Serikat, Jepang,
Selandia Baru dan Afrika Selatan tidak hanya menyebutkan larangan berkunjung ke
Bali tetapi juga ke Indonesia secara keseluruhan.
Penurunan
wisman tidak hanya berdampak pada menyusutnya penerimaan devisa Indonesia dalam
neraca pembayaran. Tetapi multiplier effect
pada sembilan sektor lain yang terkait dengan sektor pariwisata juga semakin
menghilangkan harapan masuknya devisa untuk Indonesia. Belum lagi
memperhitungkan risiko macetnya pembayaran cicilan kredit modal kerja dari
pengusaha yang terkena dampak langsung dari dunia pariwisata ini.
Di
sisi lain kondisi ini diperparah dengan efek tidak langsung dari tragedi Bali
yang membuat Indonesia semakin terpuruk di mata internasional. Terutama
hilangnya kepercayaan para pelaku ekonomi terhadap keamanan berinvestasi di
Indonesia. Tentu saja dampak seperti ini tidak bisa ditangani dalam waktu
singkat dan akan terus menyertai perekonomian Indonesia sebelum kepercayaan para
pelaku bisnis kembali.
Praktis
dalam kondisi seperti ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa diharapkan
dari investasi, asing maupun domestik. Bahkan kinerja ekspor yang selama ini
hanya memberikan sedikit sumbangan pada pertumbuhan ekonomi akan semakin
berkurang kontribusinya. Perekonomian yang sejak semula tumbuh dengan dukungan
sepenuhnya dari konsumsi akan semakin bergantung pada kemampuan daya beli
penduduk.
Berkaitan
dengan itu, dalam rapat kerja Panitia Anggaran DPR dengan pemerintah belum lama
ini, disepakati angka-angka baru asumsi dasar RAPBN 2003. Pertumbuhan ekonomi
yang semula ditargetkan 5% direvisi menjadi 4%, tingkat inflasi diubah dari 8%
menjadi 9%, nilai tukar rupiah dinaikkan dari Rp 8.700/US$ njadi Rp 9.000/US$
dan suku bunga SBI tiga bulan dipertahankan pada posisi 13%. Sedangkan harga
minyak internasional dan produksi minyak Indonesia tidak mengalami revisi,
masing-masing ditetapkan US$ 22 per
barel dan 1,27 juta barel per hari.
Besaran
asumsi makroekonomi yang baru disepakati anggota DPR dan pemerintah tersebut
sangat berbeda dengan perhitungan bank dunia terhadap asumsi dasar RAPBN 2003
pasca tragedi Bali. Hasil kajian CGI malah menyebutkan pertumbuhan Indonesia
hanya berkisar 3,2%, inflasi 9,8% dan nilai tukar rupiah Rp 9.300 per US$.
Padahal sebelum Tragedi di Bali, Bank Dunia memprediksikan pertumbuhan ekonomi
Indonesia sebesar 4%, inflasi 8%, nilai tukar rupiah Rp 8.000/US$ dan harga
minyak internasional US$ 20,5 per barel.
Secara
umum, dampak tragedi Bali bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu dampak
langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung dari tragedi Bali
berpengaruh pada penurunan jumlah turis maupun penerimaan devisa seperti yang
diungkapkan pada pendahuluan artikel ini.
Diperkirakan
penurunan neraca pembayaran mencapai 20%, padahal pada 2001 sumbangan dari
sektor pariwisata terhadap neraca pembayaran mencapai
US$ 5,4 miliar. Akibatnya pada 2003 devisa dari sektor pariwisata akan
berkurang US$ 1,1 miliar. Bila memperhitungkan faktor-faktor lain, maka akibat
bom Bali Indonesia akan kehilangan penerimaan devisa sekitar US$ 1,7 miliar,
atau menurunkan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 0,85%.
Sejak
tragedi Bali rupiah juga mengalami tekanan yang sangat besar, hingga menyentuh
level tertinggi Rp 9.400/US$ dari posisi di bawah Rp 9000/US$ sebelumnya. Dampak
tragedi Bali masih akan dirasakan pada 2003, terhadap kinerja ekspor, investasi
dan penerimaan jasa, khususnya dari pariwisata. Sehingga nilai tukar
diperkirakan tetap akan mengalami tekanan dan berfluktuasi. Laju inflasi 2003
juga diperkirakan akan menguat, karena melemahnya kurs dan rencana kenaikan BBM,
tarif dasar listrik. Dengan berbagai hal tersebut inflasi tentu saja akan tembus
melewati angka 9%.
Dari
sisi moneter yang perlu dilakukan oleh BI adalah mengontrol tingkat suku bunga
sedemikian rupa sehingga tidak memberikan tekanan lebih lanjut kepada inflasi.
Dalam hal ini BI bisa mengarahkan perkembangan suku bunga riil terpelihara pada
kisaran 4-5%. Dengan pertimbangan tersebut, suku bunga SBI tiga bulanan
diperkirakan akan berada pada level 13-14% pada RAPBN 2003.
Berkaitan
dengan hal untuk memulihkan kembali perekonomian, ada dua hal yang seharusnya
dilakukan pemerintah. Pertama, mengembalikan kepercayaan para pelaku ekonomi
terhadap kondisi perekonomian di Indonesia, khususnya di Bali, melalui promosi.
Sayangnya upaya ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa diharapkan
hasilnya seketika pada tahun 2003.
Dengan
cara menghimbau agar dalam situasi sulit yang dihadapi bangsa ini, modal
domestik yang masih ada di luar negeri segera dapat ditarik kembali untuk
mendukung perekonomian nasional. Apalagi pada saat ini pemerintah juga sedang
menjalankan program divestasi dan privatisasi, kesinambungan langkah pemerintah
di bidang ini juga akan penting artinya dalam memulihkan kepercayaan investor
yang telah terpengaruh peristiwa Bali.
Kedua,
memberikan stimulus pada bidang yang langsung di bawah kendali pemerintah, yaitu
APBN. Dalam hal ini pemerintah melakukan tiga skenario perhitungan dengan
memberikan stimulus berupa anggaran pembangunan. Skenario pertama, paket
stimulus sebesar Rp 3,3 triliun, terdiri dari Rp 2,3 triliun untuk tambahan
anggaran pembangunan dan Rp 1 triliun untuk dana kontijensi sehingga pertumbuhan
ekonomi paling tidak bisa mencapai 4%. Skenario kedua, paket stimulus sekitar Rp
5 triliun terdiri dari Rp 4 triliun untuk tambahan anggaran pembangunan dan Rp 1
triliun untuk dana kontijensi, maka pertumbuhan ekonomi persis seperti apa yang
ditargetkan. Selanjutnya skenario ketiga, paket stimulus sebesar Rp 6 triliun
yang terdiri dari Rp 5 triliun untuk tambahan anggaran pembangunan dan Rp 1
triliun untuk kontijensi.
Perekonomian
Indonesia memang menjadi dilematis pasca tragedi Bali. Setidaknya harapan untuk
menekan defisit ke titik 0% semakin mustahil untuk di capai pada 2004. Upaya
stimulus misalnya, untuk melakukan hal tersebut perlu diupayakan agar
mekanismenya berjalan sesuai dengan koridor konsolidasi fiskal. Kalau kebablasan
maka kita mungkin saha semakin merosot, misalnya seperti pada tahun 1999-2000.
Bila perekonomian kembali seperti tahun tersebut maka biayanya jelas akan lebih
mahal, dalam segi ekonomi di masa yang akan datang. Yang pasti, upaya pemulihan
ekonomi Indonesia tidak akan terhenti pada perdebatan angka
asumsi-asumsi dasar perhitungan RAPBN 2003. Ada yang lebih penting lagi,
yakni menguji asumsi-asumsi tersebut dalam kenyataan.***