Pembangunan
dengan Hutang
Siapun
pasti tahu betul, bahwa salah satu masalah paling pelik Indonesia hingga kini
adalah masalah hutang. Baik hutang luar negeri maupun hutang dalam negeri.
Masalah utang ini belakangan bahkan semakin menyemikan benih-benih pesimistis.
Buktinya opini publik bernuansa resah berkaitan dengan hutang ini kerap muncul,
baik di media cetak, elektronik, forum seminar maupun diskusi internal
kelompok-kelompok LSM.
Masalahnya
adalah jumlah hutang tersebut terus bertambah dari waktu ke waktu. Hutang yang
dimulai sejak Orde Baru tersebut, kini jumlahnya semakin tambun. Berkaitan
dengan ini, data Bank Indonesia menyebutkan saat ini jumlah hutang luar negeri
Indonesia mencapai angka US$ 139 milyar, atau setara dengan Rp 1.330 trilyun
bila memakai kurs Rp 9.500/US$. Sungguh
bukan angka yang kecil, karena angka tersebut hampir 100% dari PDB (Produk
Domestik Bruto Indonesia) selama setahun.
Bila
dilihat dari komposisi peminjamnya, maka 52% (US$ 72 milyar) hutang tersebut
adalah milik pemerintah sedangkan sisanya 48% (US$ 67 milyar) merupakan hutang
swasta.
Persoalan
lain yang menjadi beban Indonesia adalah,tentunya hutang tersebut diperoleh
bukan tanpa kontraprestasi, tidak gratis. Angka US$ 139 milyar tersebut hanya
pokok hutangnya saja. Sementara kita menghadapi beban membayar cicilan pokok
hutang terjadwal, kita juga harus membayar sejumlah kontraprestasi dalam bentuk
bunga secara rutin, yang dibebankan dalam APBN. Untuk ini angkanya juga tidak
kecil misalnya untuk tahun 2001 besarnya Rp 28,4 trilyun.
Alhasil
struktur APBN kita pun benar-benar tak sehat, karena sebagian besar dana yang
seharusnya bisa dialokasikan untuk pembangunan, terpaksa harus digunakan untuk
membayar bunga hutang luar negeri tersebut. Tentu saja ini membuat APBN kita
menjadi kembang kempis. Apalagi di sisi lain kebijakan fiskal yang ekpansif
justru semakin menjauhkan APBN dari surplus. Artinya pemerintah Indonesia tak
mungkin berharap bahwa, baik pokok hutang berikut bunganya dapat diatasi dengan
menggunakan surplus. Lantas yang terjadi biasanya adalah kita selalu mengalami
negatif net capital inflow, sehingga
untuk membayar pokok hutang dan bunga hutang tersebut terpaksa dilakukan dengan
mencari pinjaman-pinajan baru. Pendeknya yang terjadi adalah “gali lubang
tutup lubang,” “pinjam uang bukan untuk pembangunan, tapi membayar hutang.”
Apakah
pinjaman-pinjaman baru cukup memadai untuk membayar kewajiban-kewajiban yang
sedang jatuh tempo tersebut? Jawabnya tidak. Sebagai contoh, fakta menunjukkan,
ketika cicilan pokok dan pembayaran bunga hutang mencapai angka US$ 5,312 milyar
pada tahun 2000 lalu, toh pinjaman baru yang disetujui malah tidak memadai,
yakni hanya US$ 4,194 milyar. Itu kan artinya sama saja dengan menambah hutang
baru. Dan begitulah hal ini terjadi berulang-ulang.
Lantas
apa yang dilakukan pemerintah jika mereka tidak mendapat pinajaman baru untuk
membayar hutang? Tak sulit. Pemerintah biasanya menegoisasikan agar
hutang-hutang yang jatuh tempo dapat dijadwal ulang (rescheduling). Tentu saja hal ini merupakan penyelesaian yang
sangat taktis dan bersifat jangka pendek.
Paling
tidak dimata internasional Indonesia hal itu menunjukkan bahwa Indonesia masih
memiliki iktikad untuk bara hutang, sehingga lembaga-lembaga pemeringkat negara
di dunia seperti Standard and Poor’s (S&P) tidak semakin menurunkan rating
Indonesia, yang sempat masuk level SD (Selective
Devault), sehingga kepercayaan para donor terhadap Indonesia semakin jatuh.
Jika kepercayaan donor jatuh itu akan berimplikasi hutang baru menjadi seret.
Tetapi
hutang tetap saja tidak selesai, karena hanya dipindahkan ke masa depan. Anehnya
pemerintah selalu memandang keberhasilan menegoisasi para kreditur, agar hutang
bisa dijadwal ulang sebagai sebuah prestasi. Tentu saja bagi kreditur itu tidak
menjadi masalah, toh mereka tetap bisa menikmati tambahan bunga dari penjadwalan
ulang tersebut.
Persoalan
hutang Indonesia tidak hanya sampai di situ. Sejak krisis moneter 1997
pemerintah Indonesia dihadapkan pada jenis hutang baru berupa obligasi
pemerintah. Obligasi pemerintah tersebut dikeluarkan untuk menanggulangi
beberapa borok ekonomi seperti BLBI, kredit program, penjaminan dan rekap
bank-bank tak sehat.
Data
yang terhimpun di BPPN menyebutkan, per September 2001 lalu nilai obligasi
pemerintah mencapai angka sekitar
US$ 67 miliar atau Rp 678,27
triliun. Obligasi tersebut antara lain tersebar pada CPI-Indexed Bond (non
tradable) untuk program penjaminan sisitem perbankan sebesar Rp 218,3
trilyun, Fixed-Rate Bond (untuk meningkatkan rasio kecukupan modal perbankan
(CAR) menjadi 4% Rp 185,9 trilyun, Variable-Rate Bond (untuk meningkatkan aktiva
perbankan sehingga CAR-nya menjadi 0% Rp 219,5 trilyun dan Hedge-Bond (Bond yang
akan segera dikonversikan menjadi Fixed Bond atau Variable Bond) sebesar Rp 23,8
trilyun.
Konsekwensi
dari terbitnya obligasi-obligasi pemerintah ini sudah jelas merupakan
beban-beban baru bagi APBN. Karena persis seperti yang terjadi pada hutang luar
negeri, pemerintah pun harus menanggung cicilan dan bunga obligasi tersebut.
Jelas angkanya juga tidak kecil. Dengan total obligasi sebesar Rp 678,27 trilyun
tersebut untuk tahun 2001 lalu, bunga yang harus dibayar pemeritah mencapai
angka Rp 61,2 trilyun. Angka ini praktis jauh di atas bunga hutang luar negeri
yang mencapai angka Rp 28,4 triliun.
Jadi
bila ditotal-total jumlah hutang yang ada, hutang luar negeri plus hutang di
dalam negeri jumlahnya mencapai sekitar Rp 2.000 triliun (hampir dua kali lipat
PDB Indonesia), sementara total beban bunga dari kedua hutang tersebut yang
ditanggung dalam APBN sekitar Rp 89,6 triliun per tahun. Tak satu pun dari
sekian banyak item biaya pembangunan dalam APBN, yang bisa menandingi angka ini.
Artinya ruang untuk aktivitas pembangunan sangat sempit, karena Indonesia
dihimpit hutang luar negeri yang super besar dan upaya untuk melunasinya adalah
sebuah mission imposible.
Pada
awalnya hutang luar negeri dimaksudkan sebagai dana pendamping, selain devisa
yang diperoleh dari penerimaan ekspor atau surplus perdagangan. Namun dalam
perjalanannya, hutang luar negeri sudah menjadi sumber utama biaya pembangunan
dan pemerintah tidak mampu melepaskan diri dari jerat hutang luar negeri ini.
Konsep
hutang tersebut memang bertujuan untuk membiayai pengeluaran kapital atau
menutup gangguan arus kas dalam jangka pendek. Namun kesalahan pengelolaan
hutang telah mengakibatkan masalah keuangan yang serius karena kewajiban hutang
telah melebihi kemampuan untuk membayar kembali (debt equity).
Soal
hutang ini, pemerintah Indonesia harus lebih berhati-hati, belajar dari
pengalaman dan melihat-lihat bagaimana negara lain yang hancur akibat hutang.
Argentina misalnya, ekonomi negara tersebut hancur tatkala posisi hutangnya
mencapai angka US$ 140 milyar, persis seperti kondisi jumlah hutang luar negeri
Indonesia saat ini. Soal apakah Indonesia bisa disamakan dengan Argentina itu
soal lain, tetapi intinya Argentina bisa dijadikan perbandingan.
Paling
tidak untuk sebuah perbandingan, apakah Indonesia saat ini sedang mempercepat
kebangkrutannya atau sudah bergerak ke arah economic
recovery. Argentina “ceroboh” dalam menggunakan dana hutang. Hutang luar
negerinya banyak sementara kemampuan menghasilkan devisanya lemah, alhasil
seperti yang kita ketahui bersama, akhirnya hutang-hutangnya tidak terbayar. Nah
saat ini Indonesia pun mengarah ke sana, hampir 70-80% ekspor sudah digunakan
untuk menutup hutang, di samping dana dari pinjaman baru.
Indonesia
juga bisa melihat bagaimana Jepang, Amerika, Jerman, Inggris dan negara-negara
lain yang memiliki hutang jauh lebih besar dibading Indonesia, bahkan rasionya
jauh lebih besar dibandingkan dengan PDB masing-masing negara tersebut. Jepang
misalnya memiliki rasio hutang 140% dari PDB, dan di Amerika, Jerman atau pun
Inggris rasionya malah lebih tinggi. Perbedaannya dengan Argentina dan Indonesia
adalah, di negara-negara tersebut utang dilakukan terhadap masyarakat domestik
melalui obligasi, bukan terhadap luar negeri. Jadi seandainya pemerintah
negara-negara tersebut bangkrut, perekonomiannnya masih kokoh, karena disangga
sektor swasta. Tidak seperti Indonesia, pemerintah maupun swasta sama saja
“parasit”nya.
Di
sisi lain, penulis agaknya sepakat dengan opini Djamester Simarmata, dalam
bukunya “Membangun Kembali di Atas Puing. ” Kiranya proses feasibility study negara-negara donor atau pun kreditur hendaknya
dilakukan peninjauan ulang untuk selanjutnya disempurnakan.Studi kelayakan harus
bersifat membantu bagi penelaahan profitabilitas dan keberlangsungan suatu
proyek, bukan saja bagi lembaga kreditur tetapi juga termasuk kreditr, sehingga
ada gambaran nyata dan sistematis tentang proyek, berikut tolak ukur
keberhasilannya. Seiring dengan itu, feasibility
study tererbut harus bisa menterjemahkan kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi di masa depan, dengan mengkaji dampak makro, terutama terhadap ekonomi
internasional, yang pada gilirannya tercermin dalam balance of payment selama product
life cycle project.
Pendeknya
tidak seperti yang dilakukan Indonesia selama ini, di mana sebagaian besar
hutang Indonesia tersebut digunakan untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk
sesuatu yang produktif dan provitable. Dan jika hal itu terus berlangsung,
ancaman disintegrasi akan semakin cepat menjadi kenyataan. Sebab pasca
desentralisasi dan otonomi daerah, lambat laun daerah akan sadar, betapa ruginya
terlibat dalam kompetensi menanggung hutang yang di buat Jakarta!
Posisi
Hutang Luar Negeri Indonesia (Dalam
US$ Juta) |
||||||||
|
1999 |
2000 |
2001 |
|||||
|
|
|
Jan |
Peb |
Mar |
Apr |
Mei |
Jun |
Pemerintah |
75.862 |
74.916 |
74.226 |
72.955 |
72.335 |
72.555 |
73.025 |
72.042 |
Swasta |
72.235 |
66.777 |
65.987 |
66.463 |
66.542 |
67.181 |
67.186 |
66.729 |
Total |
148.087 |
141.693 |
140.213 |
140.418 |
138.877 |
139.736 |
140.211 |
138.771 |
Posisi
Obligasi Pemerintah per 31 Desember 2000 |
||||||||
CPI-Indexed
bond - non tradable (program penjaminan perbankan)
Rp 218,3 trilyun |
||||||||
Fixed
Rate bond (untuk meningkatkan CAR perbankan ke 4%)
Rp 185,9 trilyun |
||||||||
Variable
Rate bond (untuk meningkatkan CAR perbankan ke 0%)
Rp 219,5 trilyun |
||||||||
Hedge
Bond (konversi Fixed bond dan Variabel bond)
Rp
23,8 trilyun |
||||||||
Data
:BI dan BPPN |