Amanat
Reformasi Untuk Suksesi Gubsu
Dalam
waktu dekat Sumatera Utara akan melangsungkan suatu pesta demokrasi, yakni
pemilihan gubernur
untuk memimpin pada periode 2003-2008. Pemilihan gubernur kali ini adalah
pemilihan gubernur yang spesial. Paling tidak, dikatakan spesial karena
pemilihan gubernur pertama sejak berakhir rezim orde baru. Hal ini akan menjadi
tolak ukur sejauh mana nilai-nilai demokrasi (democracy values) telah terinternalisasi disemua lapisan masyarakat
Sumut, baik elit politik, cendekiawan, mahasiswa/pelajar dan
masyarakat awam.
Kita
akan menyaksikan, apakah proses pemilihan gubernur kali ini masih diliputi
kecurangan dan KKN atau berjalan sesuai dengan koridor yang diinginkan. Sejauh
ini opini publik yang banyak terlontar dibeberapa media masih memperlihatkan
pesimisme. Masih lebih banyak yang percaya bahwa pemilihan gubernur kali ini,
tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di beberapa daerah, dimana nuansa KKN,
money poliitic masih meracuni.
Pada
saat yang bersamaan, tahun 2003 ini merupakan momentum dimulainya AFTA (Asean
free Trade Area). Berkaitan dengan ini pemilihan gubernur menjadi semakin
strategis. AFTA adalah tantangan sekaligus sebagai peluang bagi Sumatera Utara.
AFTA tak ubahnya sebagai suatu kancah pertarungan multidimensi
dengan hukum rimba, siapa yang piawai adalah yang keluar sebagai
pemenangnya. Kondisi ini jelas membuat medan tempur gubernur yang akan datang
menjadi lebih kompleks.
Posisi
gubernur bukan lagi sekedar posisi politis administratif, akan tetapi menjadi
penentu nasib masyarakat Sumut ke depan. Apalagi pada saat yang sama, konsep
otonomi daerah akan melalui fase trial and
error menuju konsep yang lebih matang. AFTA dan otonomi akan menggiring
Sumut seperti sebuah negara baru yang mandiri, berinteraksi langsung dengan
negara-negara di seluruh dunia.
Sementara
itu di sisi lain implementasi otonomi daerah ternyata telah berdampak pada
terjadinya transformasi sosial. Terdapat perbedaan mencolok yang dihadapi
seorang gubernur pada masa lalu dengan era otonomi daerah sekarang. Dalam era
otonomi daerah sesuai UU No 22/ 1999 tentang Pemerintah Daerah, jika tidak
direvisi, gubernur bukan lagi merupakan atasan Bupati dan Walikota. Pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota tidak terdapat hubungan hierarkis, akibatnya kerap
muncul konflik administratif, kebijakan tumpang tindih
antara gubernur, walikota/bupati yang pada akhirnya menciptakan
kebingungan publik dan dunia usaha.
Sehingga
yang menjadi persoalan berikutnya adalah, bagaimana menemukan sosok gubernur
mendatang yang mampu menjembatani kepentingan antar kabupaten dan kota di daerah
ini.
Berkaitan
dengan berbagai persoalan yang diuraikan di atas, diperlukan kearifan semua
pihak
dalam menyikapi pemilihan pemimpin Sumut ke depan. Melihat fenomena yang
ada, dari apa yang masih diperankan oleh mayoritas anggota DPRD-SU, nampaknya
kita masih tetap terlena dengan paradigma lama, terjebak dengan nama-nama bakal
calon, bukan dalam tataran konsepsi bagaimana Sumatera ke depan.
Seandainya
dalam tataran konsepsi mayarakat Sumut sudah klop, tentu tidak ada kesulitan
lagi untuk menentukan siapa paling tepat untuk memimpin Sumut ke depan dari
sejumlah balon yang ada. Artinya proses pemilihan gubernur dapat dilakukan
dengan lebih objektif dan gubernur tidak diberikan “cek kosong”.
Amanat
Reformasi
Melalui
tulisan ini intinya penulis ingin mengingatkan kepada seluruh lapisan masyarakat
Sumut, terutama DPRD-SU balon-balon gubernur, pada amanat reformasi, yang
diperjuangkan dan ditebus dengan harga mahal oleh mahasiswa 1998 lalu.
Setidaknya
ada beberapa amanat reformasi yang harus segera dituangkan dalam sebuah
kerangka konsep kepimimpinan Sumut ke depan terutama dalam konteks pemilihan
gubernur. Amanat reformasi tersebut
antara lain ; hapuskan KKN, supremasi hukum
dan pemulihan ekonomi. Ketiga pilar reformasi tersebut paling tidak harus
menjadi sandaran indikator
kompetensi gubernur Sumut ke depan.
Pertama,
hapuskan KKN. Gubenur ke depan harus memiliki komitmen tinggi untuk memberantas
seluruh KKN di Sumut. Untuk itu gubernur harus menyelenggarakan pemerintahan good governance dengan cara mewujudkan aparatur daerah yang baik dan
bebas KKN. Prinsip-prinsip good governance
itu sendiri antara lain profesional, transparansi, efisien, efektif,
akuntabilitas, berwawasan ke depan dan lain-lain. Bukan rahasia lagi kalau masih
banyak sistem rekrutment aparat pemerintah (PNS) sarat dengan KKN, misalnya
dengan menyogok oknum-oknum tertentu yang memiliki kompetensi dan kemampuan
meloloskan PNS tersebut.
Bagaimana
oknum PNS tersebut akan bekerja secara profesional sebagai pamong
praja, pola rekrutnya saja sudah tidak benar, sudah barang tentu hal yang
pertama dilakukannya adalah mengembalikan “modal” yang telah dikeluarkannya.
Sumut telah terlanjur memiliki citra negatif,
dan diakronimkan menjadi semua urusan mesti dengan uang tunai. Contoh
lain misalnya untuk menyampaikan LPJ para bupati/walikota, mereka harus
menyediakan uang untuk setiap anggota dewan agar LPJ-nya diterima, lagi-lagi ini
ini sudah tidak rahasia lagi, walaupun tidak seorangpun yang pernah membuktikan
secara yuridis. Untuk memberantas budaya ini, Sumut membutuhkan seorang figur
pemimpin yang bersih dan benar-benar ingin membangun Sumut sebagai daerah yang
menjunjung adat, agama dan berpendidikan.
Kedua,
supremasi hukum. Bagi yang mempunyai indikasi nyata bersalah, pemerintah jangan
ogah-ogahan lagi melaksanakan upaya hukum, melalui instansi penegak hukum yang
berwenang. Adanya kepastian hukum sendiri akan merupakan prasyarat bagi dua
pilar amanat reformasi lainnya. KKN tidak akan bisa dihapuskan bila tidak ada
supremasi hukum, demikian pula halnya dengan pemulihan ekonomi.
Belakangan
ini pemprovsu memang semakin giat melakukan road
show ke luar negeri mengundang para investor
untuk menanamkan modalnya di Sumatera Utara. Akan tetapi hasilnya memang
belum maksimal. Tentu saja hal ini memiliki keterkaitan dengan belum
tergaransinya iklim bisnis yang kondusif di Sumut, lihat saja bagaimana
lambannya pemerintah daerah menangani masalah Indorayon, Allegrindo, Damai Abadi,
Pasific dan lain-lain, ditambah lagi runyamnya masalah pungli yang dimotori oleh
OKP-OKP, masih kentalnya nuansa premanisme yang bahkan ikut diperankan oleh
oknum aparat pemerintah, belum lagi perda-perda yang tumpang tindih yang banyak
mengeksploitasi dunia usaha.
Banyaknya
kasus tanah yang tak terselesaikan menambah panjang daftar fakta penegas belum
ditegakkannya supremasi hukum di Sumut. Misalnya saja persoalan HGU tanah PTNPN
II yang ditunda-tunda, hingga kemudian memicu penggarapan tanah oleh masyarakat
luas, hal ini bisa terjadi karena tidak pastinya hukum. Yang terlihat kemudian
di areal tanah tersebut telah menjadi areal perumahan-perumahan, kebun-kebun
anggota DPRD dan pejabat. Terakhir adalah kasus tanah eks kavaleri yang berada
di padang bulan, sekitar 13 ha tanah masih belum nampak titik terangnya. Kita
harus berani mengakui bahwa kita masih memiliki sistem pemerintahan yang jelek
dan tidak ergonomis, mulai dari tingkat kepala lingkungan hingga presiden
sekalipun.
Ketiga,
pemulihan ekonomi. Saat ini kondisi perekonomian Sumut masih jalan di tempat.
Hal itu tercermin dari laju pertumbuhan ekonomi Sumut periode 1998-2002 tidak
mengalami kemajuan yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi Sumut dalam kurun waktu
tersebut hanya berkisar 1%-2% jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional yang
berkisar 3%-4%. Demikian pula dengan pendapatan perkapita Sumatera Utara pada
2002, dengan menggunakan harga konstan 1993, nilainya hanya mencapai sekitar Rp.
2 juta tidak jauh berbeda dengan nilai pendapatan perkapita tahun 1997. Artinya
tidak ada peningkatan pendapatan per kapita sejak tahun 1997 hingga 2002.
Stagnasi pada pendapatan perkapita ini lebih jauh justru telah mendongkrak
jumlah penduduk miskin Sumut menjadi 1,8 juta (2002). Sementara itu menurut data
BPS Sumut jumlah pengangguran di Sumatera Utara tahun 2002 mencapai 1.9 juta
orang. Pada periode yang sama, transformasi ekonomi Sumut juga menemui jalan
buntu, karena sumbangan sektor pertanian kembali membesar naik menjadi 32%
dibanding 1997 yang mencapai hanya 27%, sementara sektor industri justru turun,
dari 54% pada tahun 1997 menjadi 45% pada tahun 2002. Jelas Sumut tidak
mengalami kemajuan dari sisi ekonomi, bahkan Sumut sedang mengalami perlambatan
bila dibanding dengan beberapa propinsi lain, yang dulunya berada di bawah Sumut.
Penutup
Demikianlah
sekedar beberapa catatan yang mungkin bermanfaat bagi para elit politik Sumut,
cendikiawan, mahasiswa dan masyarakat awam dalam menyongsong suksesi
kepemimpinan gubernur dalam waktu dekat.
Bagaimanapun
nuansa demokrasi yang kita nikmati saat ini lahir berkat gerakan
reformasi. Reformasi telah membebaskan bangsa ini dari pasung otoritarian menuju
kemerdekaan berdemokrasi.
Suksesi
kepemimpinan gubernur tentu merupakan agenda penting dalam menguji konsistensi
gerakan reformasi, apakah Sumut
memang telah melakukan reformasi atau belum. Untuk itu publik harus
menguji dan menilai dan mengawasinya secara besarma-sama. Dan agar tugas
mengawasi dan menjaga arah reformasi ini semakin tajam, beberapa pihak seperti
LSM, mahasiswa dan
pers harus menjadi
pengawal utama.