Ekonomi Indonesia: Demokrasi Ekonomi Atau Eksploitasi EkonomiSritua Arief
Pengantar Isi ceramah ini dimaksudkan untuk mengemukakan observasi mengenai apakah demokrasi ekonomi sebagai suatu misi kemerdekaan Republik Indonesia telah berlangsung dalam proses ekonomi di Indonesia selama ini. Atau sebaliknya, justru eksploitasi ekonomi telah merupakan ciri pokok dalam proses ekonomi Indonesia. Jawaban terhadap kedua aspek rang sangat fundamental dalam kehidupan masyarakat kita ini, saya percaya akan dapat kita jadikan sebagai pegangan untuk perjuangan kita sekalian dalam kurun waktu yang akan datang. Perjuangan ini adalah perjuangan untuk turut serta secara aktif merealisasikan misi kemerdekaan kita yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata. Perjuangan untuk menghadirkan demokrasi ekonomi sebagai misi kemerdekaan adalah merupakan perjuangan yang konstitusional, sehingga kita tidak perlu ragu-ragu dan gentar. Seandainya kita tidak memperjuangkan ini, ragu-ragu, dan bersifat kompromistis, maka kita akan memikul beban sejarah, memikul dosa sejarah. Kita akan menjadi the criminal of the Indonesian History. Ceramah ini saya bagi dalam tiga bagian yaitu: I. Proses Ekonomi di Indonesia II. Sistem Politik Yang Tidak Pro-Rakyat III. Catatan Penutup I. Proses Ekonomi Di Indonesia Baiklah saya awali bagian ini dengan pernyataan almarhum Bung Kamo dan almarhum Bung Hatta mengenai tujuan kemerdekaan di bidang ekonomi dan politik. Ikutilah pernyataan the founding fathers Republik Indonesia ini. Kita mulai dengan pernyataan Bung Karno:
Dari apa yang diuraikan Sukarno ini, Sukarno menganut pendirian bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, haruslah mengandung dua sisi. Sisi yang pertama ialah revolusi nasional untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme asing dan sisi yang kedua ialah revolusi sosial untuk mengkoreksi struktur sosio-ekonomi yang ada didalam masyarakat. Sukarno sangat menyadari adanya kepincangan yang mencolok dalam struktur sosial dimana massa rakyat hidup didalam suatu stelsel yang eksploitatif. Sukarno berpendapat bahwa kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi didalam masyarakat. Hatta secara spesifik mengemukakan pengamatannya mengenai struktur sosial di zaman kolonial Belanda yang telah menjadi dasar pandangannya mengenai tujuan kemerdekaan Indonesia seperti yang telah dikemukakan Sukarno. Ikutilah Hatta:
Strategi pembangunan yang telah dilaksanakan sejak berdirinya Orde Baru sampai saat ini ialah strategi pembangunan yang berlandaskan pemikiran neoklasik Kuno yang menumpukkan pertumbuhan ekonomi sebagai fokus utama pembangunan yaitu memaksimumkan produksi nasional. Faktor netral dalam strategi pembangunan ini ialah faktor modal dan teknologi. Berbagai bentuk rangsangan diberikan kepada kelompok yang paling dinamis di dalam masyarakat yaitu kelompok pengusaha untuk melaksanakan proses produksi dimana faktor modal dan teknologi memegang peranan yang paling menentukan. Pelaksanaan strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan masalah-masalah sosial seperti penyerapan tenaga kerja yang luas, kemiskinan, distribusi pendapatan dan kekayaan, dan dampak teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Juga strategi pembangunan ini sama sekali tidak mempertimbangkan kelembagaan masyarakat yang ada. Dalam hal ini kelembagaan masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang given. Pemikiran yang melandasi strategi pembangunan ini mempostulasikan bahwa di dalam masyarakat akan terjadi suatu proses yang harmonis yang akan menyebarkan manfaat pertumbuhan ekonomi ke seluruh strata masyarakat melalui apa yang disebut mekanisme tetesan ke bawah (trickle-down mechanism). Mekanisme tetesan ke bawah dipercayai akan terjadi dalam situasi kelembagaan masyarakat yang ada, struktur sosial yang ada dan daya beli rakyat yang ada. Ternyata pelaksanaan strategi pembangunan ini tidak menimbulkan tetesan kebawah. Apa yang terjadi ialah tetesan keatas (trickle-up) hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Proses ekonomi Indonesia ditandai dengan ciri yaitu yang kuat bertambah kuat dan yang lemah bertambah lemah. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit usaha besar dengan unit-unit usaha kecil terutama di sektor pertanian. Hubungan yang eksploitatif terjadi antara unit-unit ekonomi formal dengan sektor informal. Hubungan yang eksploitatif terjadi terhadap para konsumen melalui penentuan harga barang diatas kewajaran. Dan hubungan yang eksploitatif terjadi antara pihak pengusaha atau pemodal terhadap kaum buruh. Keseluruhan proses eksploitasi ini menghasilkan apa yang disebut rente ekonomi seperti yang digambarkan dalam diagram berikut: Pertambahan produksi yang diakibatkan oleh peningkatan produktivitas seluruh faktor produksi yang digunakan telah tidak diiringi dengan penentuan tingkat pembayaran yang sejajar secara wajar dengan kenaikan produktivitas faktor-faktor produksi ini. Tingkat upah sebagai pembayaran terhadap faktor buruh telah terbentuk jauh dibawah nilai produktivitas batas faktor buruh ini. Sedangkan faktor produksi yang lain terutama modal menikmati tingkat pembayaran yang berada jauh diatas produktivitas batasnya. DIAGRAM PEMUPUKAN RENTE EKONOMI
Dalam hal ini pihak buruh berada dalam posisi undercompensated sedangkan faktor modal berada dalam posisi overcompensated. Pihak buruh dibayar jauh dibawah produktivitasnya sehingga tingkat upah yang terbentuk mungkin hanya sama dengan nilai subsistence saja atau bahkan dibawah nilai subsistence ini atau dibawah nilai kebutuhan fisik minimum. Dalam hal mi telah terjadi suatu transfer nilai yang berlebihan dari pihak buruh kepada pemilik faktor produksi yang lain. Transfer nilai yang berlebihan ini tak lain adalah refleksi dari suatu proses eksploitasi. Timbul pertanyaan kenapa pihak buruh berada dalam posisi seperti ini? Pihak buruh berada dalam posisi ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, secara sadar atau tidak sadar buruh telah dianggap sebagai suatu kelompok paria atau kelompok kuli oleh pihak berkuasa sehingga mereka tidak dimungkinkan untuk mempunyai suatu posisi tawar yang kuat dalam proses produksi. Kedua, situasi surplus buruh dalam ekonomi secara keseluruhan yang telah mengakibatkan banyaknya orang yang bersedia dibayar murah asal mendapat pekerjaannya secara kelembagaan telah tidak dinetralisir dengan suatu ketentuan yang menjamin tingkat upah minimum yang wajar sehingga tingkat kemakmuran buruh yang minimum tidak dapat dipertahankan. Dalam situasi ini, institutional wage level yang berbentuk berada pada tingkat yang sedemikian rupa rendahnya dan tingkat inilah yang telah dijadikan dasar bagi pihak-pihak yang meminta tenaga buruh dalam menetapkan tingkat upah yang akan dibayarkan kepada buruh dalam proses produksi. Sementara itu, faktor produksi non-buruh terutama modal seperti telah dinyatakan sebelumnya telah menikmati suatu posisi overcompensated dimana pendapatan yang diperoleh oleh faktor produksi ini berada jauh diatas produktivitasnya. Pendapatan yang diperoleh oleh faktor produksi ini jauh berlebihan dari yang seharusnya diperolehnya dalam keadaan proses ekonomi yang wajar yang didukung oleh perangkat kelembagaan yang sempurna atau mendekati sempurna. Komponen berlebihan dalam struktur pendapatan yang diraih oleh faktor produksi ini adalah apa yang telah disebutkan sebelumnya sebagai rente ekonomi. Rente ekonomi ini terbentuk sebagai akibat adanya transfer nilai dari pihak buruh, pengusaha kecil dan konsumen sebagai akibat penetapan harga yang tinggi secara tidak wajar atas barang-barang yang diproduksi. Seperti telah disebutkan sebelumnya tiga bentuk eksploitasi tercermin dalam rente ekonomi ini yaitu eksploitasi terhadap buruh, eksploitasi terhadap pengusaha kecil dan eksploitasi terhadap konsumen. Komponen yang mencerminkan eksploitasi terhadap konsumen secara relatif tinggi dalam situasi kelembagaan pasar monopoli atau oligopoli yang kolusif. Dispensasi-dispensasi khusus yang diperoleh pemilik modal tertentu yang memungkinkan unit-unit produksi yang mereka kendalikan menikmati penghematan biaya secara tidak wajar telah mempertinggi tingkat rente ekonomi. Terjadinya proses eksploitasi disebabkan etika sosial atau moralitas ekonomi telah tidak menjadi landasan dalam hubungan dan proses ekonomi. Terlihat dengan nyata bahwa kita sadar atau tidak sadar telah didominasi oleh pemikiran ekonomi kapitalisme abad ke-19. Ini terbukti dengan tumbuhnya secara kokoh kelas pemupuk rente ekonomi dalam ekonomi Indonesia. Dan kelas pemupuk rente ekonomi ini adalah umumnya para konglomerat. Sistem kapitalisme abad ke-19 ini pada hakekatnya adalah sistem kapitalisme rampok yang merupakan ciri Kapitalisme Muda sesuai dengan definisi Sombart (Hatta, 1953). Kelas pemupuk rente ekonomi menjalin hubunga yang simbiotis dengan elit kekuasaan dan para birokrat. Melalui hubungan yang simbiotis ini terjadilah apa yang disebut Mancur Olson (1982) sebagal distributional coalition. Koalisi ini merupakan suatu jaringan mirip kartel yang bertujuan untuk meraih rente ekonomi semaksimum mungkin dari rakyat banyak yang merupakan konsumen, produsen kecil, dan buruh. Dan rente ekonomi ini didistribusikan kepada anggota-anggota koalisi ini. Oleh karena rente ekonomi mempunyai kecenderungan untuk bertambah besar sebagai akibat tuntutan-tuntutan dari para anggota koalisi bertambah meningkat, maka inilah yang telah menimbulkan ekonomi biaya tinggi di Indonesia. Seiring dengan ini, maka proses eksploitasi terhadap buruh, pengusaha kecil, dan konsumen menjadi bertambah intensif. Ini dapat dibuktikan dengan menurunnya porsi upah buruh dalam nilai keseluruhan nilai tambah sektor industri. Seperti ditunjukkan dalam tabel 3, porsi upah disektor industri dalam keseluruhan nilai tambah sektor ini telah menurun dari rata-rata sebesar 25,6 persen pada periode 1975-1978 menjadi 20,3 persen pada periode 1987-1990. Sementara itu tingkat upah riil buruh disektor industri juga menurun seperti yang ditunjukkan dalam tabel 4. Indeks tingkat upah riil buruh didasarkan atas kebutuhan fisik minimum (KFM) selama periode 1985-1991 misalnya telah turun dari sebesar 103 pada tahun 1985 menjadi sebesar 95 pada tahun 1991. Tidak heran jikalau pada periode ini sampai sekarang tuntutan-tuntutan kaum buruh untuk perbaikan tingkat upahnya terus berlangsung. Eksploitasi terhadap petani, yang dapat dianggap mewakili sebagaian terbesar pengusaha kecil, juga bertambah intensif seperti dibuktikan dengan menurunnya indeks nilai tukar yang diperoleh petani. Indeks nilai tukar petani padi di pulau Jawa dimana sebahagian besar petani Indonesia berada pada periode 1984-1993 telah menurun (dengan tahun dasar 1987 = 100). Di Jawa Barat, menurun dari sebesar 100,5 pada tahun 1984 menjadi sebesar 95 pada tahun 1993. Di D.I. Yogyakarta dan Jawa Timur untuk periode yang sama masing-masing telah menurun dari 100,2 menjadi 96,9 dan dari 101,3 menjadi 94,3. Telah dilaporkan juga selama periode 1977-1987, indeks nilai tukar petani di pulau Jawa telah turun sebesar 2,4 persen di Jawa Barat, sebesar 2,68 persen di Jawa Tengah, sebesar 4,27 persen di D.I. Yogyakarta, dan sebesar 2,83 persen di Jawa Timur (M. Amin Aziz, 1988). Beban konsumen dipercayai bertambah berat melalui harga-harga barang yang terus meningkat. Telah dilaporkan bahwa pajak tak langsung yang dibebankan melalui harga barang, secara proporsional lebih dibebankan kepada golongan penduduk yang berpendapatan rendah. Tabel 1. Porsi Upah Keseluruhan Nilai Tambah Di Sektor Industri, 1975-1978 dan 1987-1990
Sumber: Dihitung dari Tabel Input-Output Indonesia. Tabel 2. Indeks Tingkat Upah Riil Buruh Di Sektor (industri berdasarkan Atas Kebutuhan Fisik Minimum 1984-1991 (1983 =100)
Sumber: Chris Manning (1984). Tabel 3. Indeks Nilai Tukar Petani Padi Di Pulau Jawa, 1984 dan 1993 (1987 = 100)
Sumber: BPS Sebagai akibat proses eksploitasi ekonomi yang telah berlangsung seperti yang diuraikan diatas, maka terbentuklah oligarki ekonomi di dalam masyarakat seperti yang ditunjukkan dalam Diagram 2. Surplus ekonomi yang massif jatuh ketangan segelintir orang di sektor modern sedangkan surplus ekonomi yang mengecil di bagi diantara berpuluh juga rakyat. Sementara itu, eksploitasi ekonomi di dalam negeri juga diiringi oleh eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pihak asing terhadap seluruh bangsa Indonesia. Eksploitasi ekonomi ini dilakukan pihak asing melalui investasi asing dan hutang luar negeri. Situasi ini ditunjukkan dalam Diagram 3 yang disebut Neokolonialisme Ekonomi. DI sektor usaha-usaha kecil non-pertanian perlu dilaporkan dua situasi yang berikut. Pertama, hancurnya ribuan unit-unit usaha kecil dibidang pertekstilan, peternakan dan buku tulis sebagai akibat unit-unit usaha besar menguasai bahan baku dan sementara itu ikut serta beroperasi dibidang yang sama (menguasai industri hulu dan hilir). Kedua, banyaknya penguasaan asing dalam unit-unit usaha keci seperti industri perabot di Cirebon dan Jepara, industri pakaian jadi, pertenunan di Bali dan jasa-jasa perdagangan di Bali. Orang-orang asing dengan berbagai cara menperkuli penduduk pribumi melalui kawin kontrak, penyalahgunaan visa kunjungan dan lain-lain. Ikutilah misalnya laporan harian Nusa Tenggara di Denpasar baru-baru ini: Diagram 2: Oligarki Ekonomi di Indonesia
"Lihatlah deretan toko di Legian, Seminyak samrpai Sanur. Mulai toko baju, pub sampai penyewaan laser disc kini banyak dimilikr orang asing…. Coba hhat di Kuta ini, toko-toko meskipun kecil sudah dimiliki oleh orang asing. Banyak pengusaha Bali yang merasa produk-produk mereka dijiplak oleh para pengusaha using". ( Harian Nusa Tenggara, 18 Februari 1996).Diagram 3: NEOKOLONIALISME EKONOMI DI INDONESIA
Indonesia kembali menjadi tempat yang empuk bagi penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing. Data neraca pembayaran merunjukkan bahwa selama periode 1973-1990 nilai kumulatif arus masuk investasi asing sebesar US$ 5775 juta telah diiringi dengan nilai kumulatif keuntungan investasi asing yang direpatriasi keluar negeri sebesar US$ 58859 juta (IMF, Balance of Payments Yearbook, berbagai tahun). Ini berarti setiap US$ 1 investasi asing yang masuk telah diikuti dengan US$ 10,19 financial resources yang keluar. Sebab utama kenapa ini terjadi antara lain adalah tingginya komponen sumber-sumber keuangan di dalam negeri kita yang telah digunakan untuk membiayai investasi asing. Sumber-sumber keuangan ini diperoleh baik dari cabang-cabang bank asing yang beroperasi di Indonesia maupun dari lembaga-lembaga keuangan lainnya. Dalam konteks ini, Indonesia Yang Merdeka sekarang ini dapat dikatakan merupakan replika dari Indonesia Yang Terjajah pada zaman kolonial Belanda. Indonesia terus merupakan pemasok surplus ekonomi yang setia kepada pihak asing. Indonesia saat ini telah mengalami situasi apa yang disebut Fisher Paradox dalam hubungannya dengan hutang luar negerinya, yaitu situasi semakin banyak cicilan hutang luar negeri dilakukan semakin besar akumulasi hutang luar negerinya. Ini disebabkan cicilan plus bunga hutang luar negeri secara substansial dibiayai oleh hutang baru. Oleh karena nilai cicilan plus bunga hutang luar negeri lebih besar dari nilai hutang baru, maka terjadilah apa yang disebut net transfer sumber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak-pihak kreditor asing. Situasi Fisher Paradox dapat ditunjukkan misalnya dengan membandingkan nilai kumulatif pertambahan hutang luar negeri sektor Pemerintah (jangka menengah dan panjang). Selama periode 1980-1993, sektor Pemerintah di Indonesia telah melakukan pembayaran cicilan hutang luar negeri sebesar US$ 41,4 milyar. Sementara itu, selama periode yang sama, sektor Pemenntah telah menambah hutang luar negerinya sebesar US$ 69,4 milyar (World Bank, 1994). Nilai net transfer keluar negeri yang dilakukan sektor Pemerintah selama periode 1985-1993 misalnya adalah sebesar US$ 7,8 milyar dan selama periode 1994-1998 diperkirakan sebesar US$ 19 milyar (World Bank, 1994). II. Sistem Politik Yang Tidak Pro-Rakyat Sistem politik di Indonesia dapat dianggap mencerminkan suatu elite democracy yang diiringi dengan praktek-praktek kenegaraan atau pemenntahan ala kerajaan Mataram. Dengan berat hati, saya terpaksa menamakan sistem politik dan sistem pemerintahan yang seperti ini sebagai suatu sistem politik dan sistem pemerintahan yang pra-modern. Perangkat pemerintahan merupakan kepanjangan dari rumah tangga pribadi sang penguasa tertinggi sehingga sangat bersifat patrimonial. Elite democracy dengan program utama kestabilan politik berhasil mengembangkan suatu elite economy dengan kekuasaan ekonomi yang besar. Dan elite economy ini yang banyak berkolaborasi dengan pihak asing telah mendorong timbulnya apa yang disebut governance as private enterprise (Kotari, 1976). Dalam situasi seperti ini, sistem politik telah memperlakukan politik dan administrasi negara seperti kegiatan usaha swasta. Perhitungan bisnis swasta telah dijadikan dasar pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan pihak swasta besar menjadi menyatu dengan tujuan pemegang kekuasaan dengan konsekwensinya kepentingan publik tersingkir. Tersendatnya deregulasi pada bidang-bidang bisnis tertentu, perubahan status hutan lindung, upaya-upaya swasta besar untuk merubah Undang-Undang Pokok Agraria, dan pengaruh pihak swasta besar dalam peruntukkan tanah di kota-kota besar dan sekitarnya dapat dijadikan contoh mengenai ini. Elemen-elemen manipulatif menjadi dominan dalam kehidupan politik sementara elemen-elemen yang mengutamakan kebijakan yang populis dikesampingkan. Lembaga perwakilan rakyat menjadi tidak punya kekuatan untuk melakukan kotrol yang efektif terhadap pihak eksekutif sehingga lembaga ini tidak punya hubungan yang organik dengan rakyat yang diwakilinya. Negara menjadi apa yang disebut sebagai suatu Administrative State. Pemerintahan dipenuhi oleh administrator-administrator bukan oleh orang-orang yang punya visi politik jangka jauh yang bekerja atas landasan suatu komitmen ideologi nasional yang bersifat kerakyatan. Sistem politik dalam arti kata yang sebenarnya telah mengalami distorsi yang serius. Sistem politik tidak dapat secara efektif menetapkan arah terhadap admimstrasi negara dan tujuan-tujuan pembangunan yang harus dicapai, mengontrolnya dan mengambil tindakan terhadap penyimpangan. Kekuatan kalangan bisnis besar melalui agen-agennya di pemerintahan telah menimbulkan distorsi terhadap proses pencapaian tujuan-tujuan pembangunan. Alokasi sumber-sumber pembiayaan akan semakin banyak diarahkan terhadap proyek-proyek yang secara prioritas sosial harus menempati posisi terbawah atau tidak menempati posisi sama sekali dalam suasana kemiskinan rakyat yang massif disekitar kita. Proyek-proyek yang secara komersial menguntungkan sangat banyak mengambil porsi sumber-sumber keuangan nasional dengan mengorbankan proyek-proyek yang secara sosial lebih bermanfaat. Sistem sosial dimana administrative state dan kalangan bisnis besar telah tampil sebagai pengendali utama telah tidak memungkinkan tumbuhnya kalangan kelas menengah yang mandiri yang dapat diharapkan menjadi pembaharu masyarakat. Kelas menengah yang tumbuh baik sebagai pengusaha maupun sebagai profesional pada umumnya hanya dapat berkembang melalui jaringan hubungan yang sudah ada antara pihak-pihak dalam administrative state dengan kalangan bisnis besar. Dalam situasi seperti ini kelas menengah ini akhimya terbawa arus menjadi kelompok yang turut membentuk apa yang disebut distributive coalition dalam memperoleh manfaat paling besar dari proses ekonomi. Kelompok-kelompok yang mewakili administrative state, bisnis besar dan keseluruhan kalangan kelas menengah, adalah golongan kecil dari masyarakat kita yang telah sangat bertanggung jawab terhadap merajalelanya konsumerisme dalam masyarakat kita. Konsumerisme yang merajalela inilah antara lain yang telah menyebabkan berlangsungnya terus kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving-investment gap) dalam ekonomi kita. Saya memperoleh kesan bahwa suatu alur pemikiran kanan baru (New Right Thinking) telah mulai berkembang dan mengambil tempat secara sistematis di Indonesia. Golongan kanan baru menghendaki agar campur tangan pemerintah dalam kehidupan sosial-ekonomi seminimum mungkin. Penganut pemikiran kanan baru memandang bahwa sistem demokrasi politik diperlukan sepanjang sistem demokrasi politik ini tidak menghalangi manifestasi kebebasan individu. Menurut pemikiran kanan baru, demokrasi politik bukanlah merupakan tujuan tetapi hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yaitu memaksimumkan kemerdekaan individu. Konsep demokrasi politik menurut pemikiran kanan baru adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar dan yang menjamin tidak adanya kekerasan politik yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat dalam keputusan politik. Golongan kanan baru lebih menyukai suatu sistem demokrasi politik dengan partisipasi luas anggota masyarakat dikhawatirkan akan menampung begitu banyak tuntutan sosial sehingga mengundang campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Golongan kanan baru tidak menginginkan demokrasi politik yang terlampau luas. Mereka mengemukakan bahwa suatu pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila memang diperluakan atau jika terjadi konflik antara demokrasi dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka golongan kanan baru memilih untuk mengorbankan demokrasi. Kelompok penganut paham kanan baru tidak segan-segan akan tampil sebagai pendukung rejim yang represif dan otoriter. III. Catatan Penutup Proses ekonomi di Indonesia sampai saat ini masih jauh dari proses pengikut-sertaan rakyat secara demokratis dalam meraih manfaat yang wajar. Apa yang terjadi adalah bahwa proses ekonomi yang berlangsung adalah merupakan replika proses eksploitasi ekonomi yang telah ada sejak zaman kolonialisme Belanda. Rakyat bamyak telah menjadi korban eksploitasi ekonomi oleh kelompok kuat atas dukungan para anggota elite kekuasaan dan para birokratnya. Aliansi yang kokoh terbentuk antara para anggota elite kekuasaan dan para birokratnya di satu pihak dengan para pengusaha yang memperoleh hak-hak istimewa dilain pihak. Aliansi ini akhimya membentuk kelompok pemupuk rente ekonomi dalam ekonomi Indonsia yang merupakan parasit ekonomi nasional. Sebagai parasit ekonomi nasional terjadilah oligarki ekonomi yang ditopang oleh oligarki politik. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan apa yang telah diformulasikan oleh the founding fathers Republik Indonesia yaitu pelaksanaan demokrasi berkedaulatan rakyat baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Oligarki ekonomi dan oligarki politik ini adalah merupakan status quo yang secara all-out ingm dipertahankan oleh sistem sosial yang ada sekarang. Jaringan kekuasaan ekonomi dan jaringan kekuasaan politik menjadi saling menunjang untuk mempertahankan kelanggengan status quo ini. Ini bermakna bahwa selama situasi status quo ini tidak dikoreksi secara fundamental, maka prospek demokrasi ekonomi di Indonesia pada kurun-kurun waktu yang akan datang akan sangat suram. Upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan posisi ekonomi stratum bawah dalam struktur sosial kita, menurut pendapat saya, sangat bersifat bantuan sinterklas yang tidak akan berhasil meningkatkan posisi ekonomi kelompok sosial ini ke posisi yang lebih tinggi dan tangguh secara fundamental. Ini disebabkan upaya-upaya ini tidak diiringi dengan membersihkan belenggu-belenggu struktural yang terus menghadang mereka dalam suasana dialektik hubungan ekonomi yang bersifat eksploitatif. Deklarasi Bali yang dicetuskan oleh sekelompok konglomerat baru-baru ini hendaklah dilihat dalam konteks ekonomi sinterklas ini dan dalam konteks memperkokoh posisi subordinatif kelompok ekonomi lemah terhadap aktor-aktor ekonomi kuat. Oleh sebab itu, upaya menghadirkan demokrasi ekonomi di tanah air kita adalah merupakan pekerjaan politik. Diperlukan suatu rekonstruksi politik. Sesudah rekonstruksi politik dilakukan dimana berhasil dikembangkan suatu pemerintahan yang betul-betul berideologi yang prorakyat dan berani melakukan reformasi sosial dalam bentuk restruktunsasi asset ekonomi, maka koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat dapat ditumbuhkan menjadi salah satu tiang dalam sistem ekonomi Indonesia sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia. Nilai tukar yang tidak adil yang melanda petani misalnya dapat dikoreksi dengan menghimpun petani dalam koperasi pertanian dan menjual langsung produk-produk yang dihasilkan kepihak konsumen akhir dengan turut menguasai organisasi distribusi. Sementara itu, pembelian keperluan-keperluan petani secara kolektif dilakukan melalui asosiasi-asosiasi koperasi pertanian langsung kepihak-pihak pemasok barang dan juga dengan terjun langsung aktif mengoperasikan kegiatan-kegiatan produksi barang yang dibutuhkan petani. Ini pemecahan ditingkat makro. Dalam kaitan dengan reformasi sosial, adalah mutlak perlu kehadiran apa yang disebut "an effective developmental state" yaitu suatu elite kekuasaan yang mempunyai sifat dan perilaku yang berikut:
Menghadirkan "an effective developmental state" mengandung pengertian mengembalikan ideologi politik sebagai panglima dalam menentukan sifat dan arah pembangunan. Pada waktu akhir-akhir ini, saya merasa sangat kecewa melihat betapa proses erosi ideologi telah berlangsung di Indonesia sehingga proses pembangunan makin lama makin bertolakbelakang dengan ekonomi konstitusi kita (analisa yang mendalam tentang developmental state dapat diikuti dalam tulisan Leftwich, 1995). Untuk menghindarkan agar aparat suatu developmental state tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bersifat destruktif terhadap kepentingan masyarakat banyak, maka suatu sikap budaya baru perlu dikembangkan di kalangan rakyat yaitu sikap budaya untuk tidak rela diganggu oleh salah seorang pendiri Republik Indonesia yaitu Sutan Sjahrir, rakyat Indonesia harus menganut suatu sikap budaya yang tidak menghamba, menyerah kepada keadaan terutama keadaan yang menghimpitnya, dan bersikap berani untuk mematahkan belenggu-belenggu struktural yang memblokkirnya dalam menuju perbaikan seluruh aspek kehidupannya (Sjahrir, 1990). Dalam kaitan ini proses depolitisasi rakyat hendaklah diakhiri. Ada baiknya saya mengutip pemyataan seorang lagi pendiri Republik Indonesia yaitu Bung Hatta: "Yang kita inginkan ialah rakyat yang memiliki kedaulatan, bukan negara yang memiliki kedaulatan" (Mohammad Hatta dalam Harian Merdeka , 27 Oktober 1950).Proses pembangunan yang berdimensi keadilan selain tercermin pada tingkat ekonomi makro haruslah juga tercermin pada tingkat ekonomi mikro. Jikalau tidak, kita akan terperangkap ke dalam suatu sistem ekonomi dimana pemilik modal atau asset material secara sepihak akan menjadi penentu distribusi nilai tambah produk atau jasa yang diproduksi. Oleh sebab itu, sistem ekonomi yang demokratis secara nasional haruslah diikuti dengan terbentuknya unit-unit ekonomi yang demokratis ditingkat mikro (Lihat Bowles dan Gintis (1993) untuk model unit ekonomi yang dernokratis di Amerika Senkat; Ozaki (1991) untuk model unit ekonomi yang demokratis di Jepang; dan Johanssen (1994) untuk model unit ekonomi yang demokratis di Swedia). Jikalau kita telah berhasil menghadirkan suatu elit kekuasaan yang betul-betul "committed" terhadap emansipasi massa rakyat dan massa rakyat yang mengetahui hak-haknya dan berani mempertahankan hak-haknya ini, maka kita dapat menformulasikan suatu strategi pembangunan yang betul-betul prorakyat sesuai dengan azas-azas Pancasila dan UUD 1945. Kita akan dapat menformulasikan perangkat-perangkat kebijaksanaan yang merupakan penjabarkan operasional strategi pembangunan ini yang terdiri dari perangkat kebijaksanaan sosial yang mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan mengenai pemilikan/penguasaan asset ekonomi, tingkat upah, sistem pendidikan, perburuhan, kesejahteraan sosial, kebudayaan, tata-kota dan tata-ruang, perangkat kebijaksanaan ekonomi yang mencakup kebijaksanaan-kebijaksanaan mengenai investasi baik oleh kalangan domestik maupun asing, industnalisasi, pembangunan pertanian, interaksi antara sektor pertanian dengan non-pertanian, pengembangan regional dan kawasan, anggaran negara, moneter, perdagangan luar negeri dan teknologi; serta perangkat kebijaksanaan mengenai sistem kekuasaan dan sistem kontrol sosial yang mencakup struktur kekuasaan, representasi politik administrasi negara, lembaga kontrol sosial (pers, organisasi kemasyarakat, organisasi kekaryaan) dan sistem hukum. Akhirnya perlu dikemukakan disini bahwa pelaksanaan ideologi liberalisasi perdagangan internasional di Indonesia yang disertai pula dengan liberalisasi arus investasi asing akan menimbulkan bertambahnya intensitas eksploitasi asing terhadap ekonomi rakyat Indonesia. Kekuatan ekonomi rakyat akan secara lebih parah tergeser dengan lebih leluasanya aliran masuk investasi asing keseluruh sektor ekonomi termasuk ke sektor usaha kecil dan menengah.
Rakyat Indonesia selain akan memasuki fase ketergantungan yang lebih dahsyat kepada pihak asing juga akan kembali secara sistematis menempati posisi budak di dalam negerinya sendiri. (Lihat Sritua Arief, 1994; model umum mengenai dampak negatif masuknya modal asing terhadap sektor informal atau ekonomi rakyat dapat dilihat dalam Chandra and Khan, 1993). Ideologi kebangsaan akan dihancurkan oleh ideologi globalisasi. Maka adalah merupakan kewajiban kita bersama untuk mempertahankan dan mengembangkan pelaksanaan nasionalisme ekonomi sekarang juga atau tidak sama sekali. It is now or never! |