Upaya Membangun Perlawanan Terhadap Korupsi Dan Ketergantungan Pada Utang Luar NegeriM. Husni Thamrin
Pendahuluan Tatkala nama Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), atau International Monetary Fund (IMF) disinggung, maka yang segera teringat oleh pikiran kita adalah lembaga-lembaga internasional yang memberikan utang luar negeri. Persoalan utang luar negeri ini pun akan segera membawa ingatan kita pada deretan angka berjumlah sekitar USD 150 milliar, yang merupakan total utang luar negeri Indonesia, baik swasta dan publik.2) Dan manakala kita mempelajari lebih jauh persoalan-persoalan tersebut, maka persoalan utang luar negeri adalah ibarat salah satu sisi mata uang yang bersebelahan dengan sisi yang lain, yang bernama Orde Baru. Kisah keterlibatan lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut (BD, ADB, atau IMF) dan persoalan utang luar negeri Indonesia adalah dua persoalan yang memiliki akar sejarah panjang di Republik ini. Meskipun persoalan utang luar negeri juga dialami oleh rezim Orde Lama, namun peminjaman dan campur tangan gila-gilaan dari lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan IMF, terjadi pada era rezim Orde Baru. Dalam perjalanan sejarah Orde Baru, dua persoalan ini mendapat cantelan parasit baru yang bernama korupsi. Guna memahami dan mengambil sikap terhadap lembaga-lembaga keuangan internasional dan utang luar negeri, mau tidak mau kita harus menoleh kebelakang, pada saat lembaga-lemabaga keuangan internasional tersebut dibentuk. Bank Dunia dan IMF adalah lembaga keuangan internasional yang didirikan oleh negara-negara Barat, pemenang Perang Dunia II, yang bertujuan untuk memulihkan perekonomian, terutama bagi negara-negara Eropa Barat, yang hancur akibat perang. Dua lembaga ini, yang kemudian disusul oleh pembentukan World Trade Organization (WTO), lahir dari sebuah pertemuan yang bernama Konferensi tentang Sistem Moneter dan Keuangan di kota Breton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, pada tahun 1944.3) Lembaga-lembaga keuangan internasional ini kemudian akrab dikenal dengan sebutan lembaga-lembaga Bretton Wood. Nuansa Perang Dingin antara negara-negara blok imperialis, yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris, dengan negara-negara komunis yang berada dibawah pengaruh Uni Soviet, agaknya ikut mewarnai latar belakang pendirian Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Mengapa demikian? Pada masa awal berdirinya Bank Dunia dan IMF memang disengaja untuk memulihkan perekonomian negara-negara Eropa Barat yang mengakui kepemimpinan Amerika Serikat. Program pemulihan ekonomi ini kemudian disusul oleh satu paket pemulihan ekonomi jangka panjang yang ditawarkan oleh Amerika Serikat bagi negara-negara Eropa Barat, yang dikenal dengan nama Marshal Plan. Pembentukan koalisi diantara negara-negara Komunis, yang diposisikan sebagai Blok Timur, menimbulkan konsekuensi lain. Negara-negara Blok Timur, yang dipimpin oleh Uni Soviet pada saat itu, memilih menjalankan program pemulihan dan pembangunan model mereka sendiri. Salah satunya adalah program kerjasama ekonomi yang dikenal dengan sebutan Council for Mutual Economic Assistance (CMEA), yang didirikan pada tahun 1949 guna mewadahi kerjasama diantara negara-negara Sosialis.4) Dan pada tahun 1964, negara-negara Sosialis juga mendirikan sebuah lembaga keuangan bagi masyarakat Sosialis internasional, yang berfungsi memberikan bantuan pengembangan pembangunan dan pembagian kerja sosialis internasional (International Socialist Division of Labour). Organisasi tersebut mereka beri nama International Bank for Economic Cooperation (IBEC).5) Berbagai bentuk kerjasama ekonomi ini seolah menjadi tandingan terhadap program-program kerjsama ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara Barat. Tatkala Uni Soviet runtuh, yang diikuti oleh runtuhnya rezim komunis lain di Eropa Timur, runtuh pulalah kerjasama ekonomi ini.6) Sehingga yang tersisa adalah model kerjasama yang dikembangkan oleh Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang dikembangkan dalam wadah Bank Dunia, IMF, maupun lembaga keuangan serupa lainnya seperti Asian Development Bank (ADB). Nuansa inilah yang pada kemudian hari memberikan warna pada proses pemberian pinjaman Bank Dunia ataupun IMF. Walaupun tidak ditulis secara resmi dalam persyaratan kedua lembaga keuangan internasional ini, namun sudah menjadi pengetahuan umum bahwa negara-negara yang menerima utang dari Bank Dunia dan IMF adalah negara-negara yang menyetujui konsep ekonomi pasar dan liberalisasi. Persyaratan-persyaratan inilah yang dikemudian hari seolah menjadi satu paket dengan konsep perdagangan bebas, yang tertuang dalam konsep Uruguay Round dan yang kemudian berkembang menjadi World Trade Organization (WTO). Persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh IMF dan Bank Dunia pada saat suatu negara, seperti Indonesia, mengajukan permohonan pinjaman, adalah suatu pra kondisi yang dibutuhkan oleh liberalisasi perdagangan (free market) dan globalisasi modal, seperti restrukturisasi perbankan, restrukturisasi pasar modal, deregulasi di sector-sektor yang selama ini dikuasia oleh perusahaan negara (seperti BUMN dan BUMD), deregulasi investasi modal asing, desentralisasi (otonomi daerah), dan lain sebagainya. Dengan kata lain, melalui mekanisme utang luar negeri yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut (IMF, Bank Dunia, atau ADB), secara lambat namun pasti para pengagung konsep ekonomi liberal, belakangan ini lebih dikenal dengan sebutan Neo-Klasik, semakin mematangkan konsep one world one trade yang mereka tularkan kepada negara-negara berkembang. Konsep pembentukan kerjasama-kerjsama ekonomi regional, seperti Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) atau North America Free Trade Association (NAFTA), adalah cikal bakal yang akan didiring ke arah konsep perdagangan bebas. Kembali pada persoalan yang dihadapi oleh Indonesia. Tak lama setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965, yang kemudian mendapat legitimasi melalui mandat MPRS pada tahun 1967, ia pun mendirikan sebuah rezim baru bernama Orde Baru. Nama ini sengaja dipilih sebagai symbol antitesis dari rezim Soekarno yang diberi nama Orde Lama. Orde Baru berarti system pemerintahan yang berbeda dan lebih baik dari Orde Lama. Hal ini mengingatkan pula bahwa kata "baru" selalu memiliki konotasi baik, bersih, dan cerah, dibandingkan dengan kata "lama." Sejak masa awal pemerintahan Orde Baru, IMF, Bank Dunia, dan beberapa negara donor menjadi salah satu sumber peminjaman uang, guna membiayai proyek-proyek pembangunan di Indonesia. Proyek-proyek pembangunan tersebut antara lain adalah, bendungan, irigasi, jalan raya, pembukaan lokasi transmigrasi, renovasi wilayah perkotaan, perumahan, dan lain sebagainya.7) Boleh jadi hal tersebut dilandasi rasa terima kasih dan balas budi yang diberikan oleh negara-negara Barat dan IMF serta Bank Dunia atas "jasa" Soeharto melakukan pemberantasan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kekuatan kiri lainnya pada tahun 1965. Berdirinya Orde Baru juga menandai berdirinya suatu orde yang menggantungkan sumber pendanaan pembangunan dari utang luar negeri dan bantuan lembaga-lembaga donor. Meskipun pada orde sebelumnya, Orde Lama, pembangunan pun tergantung pada modal asing dna utang luar negeri, akan tetapi bergantinya kekuasaan ketangan Orde Baru membuat Indonesia semakin terpuruk dalam cengkeraman kekuatan modal asing dan utang.8) Berlawanan dengan masa Orde Lama, dengan serta merta rezim Orde Baru memalingkan mukanya ke negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Jepang, guna kepentingan rehabilitasi dan program pembangunan ekonomi. Dalam suatu pertemuan di Tokyo, tanggal 19-20 September 1966, yang dihadiri oleh negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman Barat, Italia, Belanda, Jepang, Australia, Selandia Baru, Swiss, Kanada, dan IMF, pemerintah Indonesia membuat pernyataan yang menyatakan bahwa prioritas pembangunan akan diberikan pada stabilitasi politik dan rehabilitasi ekonomi.9) Keikutsertaan IMF dan Bank Dunia dalam membantu pemerintah Indonesia membiayai program pembangunannya dengan sendirinya membuka peluang bagi kedua lembaga tersebut untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi Indonesia. Pengaruh Bank Dunia setidak-tidaknya dapat dilihat dari kesungguhan upaya pemerintah Indonesia untuk merumuskan dan menjalankan suatu kebijakan ekonomi yang sejalan dengan visi dan kebijakan IMF dan Bank Dunia. Salah satu kebijakan Bank Dunia yang diikuti oleh pemerintah Indonesia adalah deregulasi di sektor perdagangan dan investasi guna memacu pertumbuhan ekspor. Pertumbuhan ekspor merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Kebijakan-kebijakan besar yang menyangkut program ekonomi banyak didasarkan pada acuan yang diberikan oleh staf-staf ekonomi yang ada di kantor Bank Dunia, Jakarta. Secara tidak langsung, dengan kuatnya pengaruh Bank Dunia maupun IMF terhadap kebijakan ekonomi yang dianut oleh pemerintah Indonesia, maka pengaruh kedua lembaga keuangan internasional tersebut terhadap keputusan-keputusan politik yang akan diambil oleh pemerintah Indonesia pun menjadi kuat. Salah satu konsekuensi dari paket bantuan IMF, sebesar USD 43 milliar, pemerintah Indonesia harus menjalankan adalah privatisasi BUMN. Guna memuluskan program privatisasi tersebut pemerintah tidak hanya membutuhkan suntikan dana, akan tetapi juga bantuan teknis. Oleh karenanya Asian Development Bank (ADB) pun "berpartisipasi" segera memberi bantuan dana sebesar USD 400 juta guna restrukturisasi sector energi. Restrukturisasi sector energi, atau dapat dibaca PLN, merupakan salah satu dari rencana IMF untuk merestrukturisasi sekitar 144 BUMN yang ada di Indonesia. Program tersebut sebenarnya merupakan salah satu anjuran yang diberikan oleh IMF kepada pemerintah Indonesia, sebagai jalan keluar untuk membiayai pembayaran hutang luar negeri Indonesia. Akan tetapi toh program itu sendiri didalam prosesnya telah memunculkan utang baru.10) Pada akhirnya persoalan utang luar negeri, keberadaan lembaga keuangan internasional, dan pembangunan seolah menjadi suatu lingkaran setan yang tak terpecahkan. Bahkan banyak pengamat ekonomi, yang menganut teori modernisasi, developmentalist, atau Neo-Klasik tentunya, beranggapan apakah mungkin melakukan pembangunan tanpa bantuan utang? Atau dengan kalimat lain, apakah mungkin melakukan pembangunan tanpa bantuan utang dari Bank Dunia, IMF, atau ADB? Melakukan kritik terhadap IMF atau Bank Dunia berarti melakukan kritik terhadap model pembangunan yang dianut oleh banyak negara di Asia maupun Amerika Latin. Harus diakui bahwa model pembanguan yang diambil oleh negara-negara tersebut, Indonesia atau Thailand misalnya, telah menghasilkan peningkatan standar kesehatan, pendidikan, dan kehidupan. Akan tetapi pada sisi yang lain, model pembangunan tersebut telah melahirkan jurang yang semakin dalam dan lebar antara si kaya dan si miskin, eksploitasi terhadap buruh, eskploitasi lingkungan, dan hilangnya kontrol masyarakat atas sumber daya alam serta pertumbuhan yang tanpa disertai oleh demokrasi ekonomi dan perluasan partisipasi politik.11) Krisis pada tahun 1997 yang menimpa Indonesia, Thailand, dan Korea Selatan, sebenarnya dapat menjadi pelajaran berharga, bahwa paket model pembangunan yang selama ini disodorkan oleh IMF ataupun Bank Dunia sudah layak dipertanyakan keberhasilannya. Dalam kasus Thailand, meskipun tanda-tanda krisis sudah muncul tiga tahun sebelumnya, namun tetap saja pada tahun 1996 IMF memuji otoritas moneter Thailand atas "kebijakan manajemen makro-ekonomi yang sehat dan konsisten."12) Sikap ini sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan IMF dalam membaca tanda krisis yang sudah muncul di Thailand, salah satunya adalah langkah pemerintah Thailand mendevaluasi Bath pada 2 Juli 1997. IMF dan Bank Dunia agaknya tidak mau menjilat ludah mereka sendiri, setelah pada September 1991 mempromosikan Thailand sebagai model pembangunan di Asia dan menobatkannya sebagai Macan Asia ke Lima.13) Oleh karenanya ketika IMF meminta otoritas moneter Thailand melakukan penyelamatan terhadap perekonomiannya pada Juli 1997, sebenarnya permintaan tersebut adalah permintaan untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh petunjuk IMF sendiri, melalui kebijakan liberlisasi neraca transaksi modal, yang telah mengantarkan Thailand pada masalah yang tidak pernah diperkirakan dan dikhawatirkan oleh IMF sendiri, yaitu pinjaman sector swasta yang melebihi kemampuan mereka untuk mengembalikan.14) Baik IMF maupun Bank Dunia terkesan melepaskan semua tanggungjawab, yang seharusnya dilimpahkan kepada mereka, terhadap ambruknya perekonomian di beberapa negara, yang selama ini menjadi "anak penurut" bagi mereka, seperti Indonesia maupun Thailand. Penyebab krisis yang melanda Indonesia maupun Thailand di tahun 1997 dituduhkan kepada kesalahan pemerintah Indonesia maupun Thailand di sector publik birokrasi pemerintah yang buruk. Sementara utang swasta yang menumpuk, akibat ekspansi gila-gilaan mereka di sector property, real estate, pembangunan lapangan golf, ataupun infra-struktur lainnya (seperti jalan tol) dianggap bukan sebagai penyebab. IMF justru memberikan paket pinjaman kepada Indonesia misalnya, untuk melakukan restrukturisasi perbankan dan membayari utang-utang swasta. Beban pembayaran cicilan dan bunga utang tersebut harus ditanggung oleh masyarakat, yang pada sisi lain harus menghadapi kenaikkan kebutuhan hidup, akibat penghapusan subsidi pemerintah di beberapa sector publik.15) Krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 telah mengakibatkan ketegangan sosial yang dimunculkan oleh berbagai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan angka pengangguran yang kian tinggi. Suatu laporan menyebutkan bahwa sekitar 6,6 juta orang telah kehilangan pekerjaannya sejak krisis dimulai.16) Angka tersebut belum termasuk jumlah angkatan kerja yang belum mendapatkan pekerjaan pada saat krisis mulai merebak, yang diperkirakan ada sekitar 2,5 juta angkatan kerja baru setiap tahunnya. Upaya perbaikan kondisi social-ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah mendapat dukungan paket utang dari Bank Dunia senilai 100 juta dollar AS pada tahun 1998. Paket utang tersebut ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja harian dengan upah rendah bagi sekitar 75 juta orang. Paket tersebut sesunguhnya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan paket pinjaman Bank Dunia hingga tahun 2001, yang berjumlah sebesar 4,5 milliar AS.17) Guna membiayai program Jaring Pengaman Sosial (JPS) saja Bank Dunia menyediakan anggaran sekitar USD 600 juta hingga tahun anggaran 2000.18) Padahal didalam prakteknya program tersebut lebih banyak membiayai proyek-proyek yang bersifat konsumtif dan tak bertahan lama, seperti JPS-OPK Beras. Jumlah tersebut boleh jadi merupakan kompensasi atas kesalahan yang telah oleh Bank Dunia sebelumnya. Namun disisi lain biaya tersebut sebenarnya mencerminkan ketakutan Bank Dunia akan munculnya reaksi keras dari masyarakat akibat krisis yang mereka alami, yang pokok persoalannya akan bermuara pada scenario pembangunan yang telah sama-sama disusun oleh pemerintah Orde Baru, IMF, Bank Dunia, dan negara-negara serta lembaga donor lainnya. Sehingga dengan embel-embel memberikan sedikit bantuan mengatasi kemiskinan yang mucul akibat krisis ekonomi 1997, Bank Dunia mencoba menutupi kesalahannya dan menghindari resiko yang lebih besar. Upaya Untuk Keluar Dari Lingkaran Setan Indonesia selama ini selalu menempatkan utang sebagai salah satu tiang penyangga pembangunan. Kebijakan anggaran belanja berimbang pemerintah Indonesia selalu menempatkan utang luar negeri sebagai komponen penutup kekurangan. Bahkan saat Indonesia sebenarnya mendapat rejeki berlimpah dari oil boom, utang luar negeri toh tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam angaran belanja pemerintah. Padahal di dalam kebijakan ekonominya pemerintah selalu mengatakan bahwa utang luar negeri hanya menjadi pelengkap belaka. Suatu wacana palsu mengenai utang luar negeri inipun acap disebarluaskan oleh aparat pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa program-program yang didanai oleh Bank Dunia misalnya, adalah "bantuan" atau "hibah."19) Pemahaman inilah yang membuat masyarakat memandang program-program tersebut sebagai sebuah "pemberian." Sehingga mereka tidak mempunyai tanggung jawab untuk "mengembalikan." Program-program pengentasan kemiskinan tersebut pada akhirnya justru semakin mencipatakan ketergantungan masyarakat kepada bantuan atau hibah Bank Dunia. Sementara di sisi lain, secara tidak disadari, beban yang harus mereka tanggung karena utang yang semakin menumpuk, semakin berat. Persoalan utang "seolah" merupakan masalah yang pelik bagi pemerintah Indonesia. Belum lama Kwik Kian Gie menduduki jabatannya sebagai Menko Ekuin di tahun 1999, ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah malu untuk berutang lagi. Akan tetapi, tak lama kemudian Kwik meralat ucapannya sendiri dan mengatakan bahwa utang masih diperlukan oleh pemerintah Indonesia. Hanya saja, menurut Kwik, pemerintah bertekad untuk melakukan pengurangan secara bertahap. Melihat sikap ini taklah heran bila ada yang mengatakan bahwa utang luar negeri, bagi pemerintah Indonesia, sudah seperti candu yang berat untuk ditinggalkan. Yang menjadi persoalan adalah, keberanian meminta utang kepada lembaga atau negara donor ini tidak pernah disertai dengan kemampuan untuk menganalisa, apakah bisa mengembalikan utang tersebut atau tidak? Pertanyaan naif sempat terlontar dari orang awam: Lari kemana uang utang yang besar itu, karena toh Indonesia yang digembar-gemborkan sebagai calon "Macan Asia" ikut terimbas krisis juga? Persoalan inilah yang agaknya luput dari perhatian pemerintah sebelum mengagendakan utang luar negeri baru. Selama ini pemerintah tidak pernah mau mempertanggungjawabkan utang luar negeri yang mereka pinjam kepada masyarakat. Kebocoran-kebocoran yang terjadi pada banyak proyek pemerintah, yang dibiayai oleh utang luar negeri, seolah menjadi lahan subur pencarian profit (keuntungan). Sementara beban dari pengembalian uang tersebut harus ditanggung oleh rakyat, melalui kenaikan pajak, kenaikan harga BBM, kenaikan harga listrik, atau dan pengurangan subsidi pendidikan misalnya.20) Proses privatisasi beberapa BUMN yang menyengkut hajat hidup masyarakat banyak, sebagai konsekuensi tanggungan utang yang semakin menumpuk, juga tak disertai dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Dan kadang pemerintah pun kehilangan BUMN yang sebenarnya dapat menjadi salah satu penyumbang pemasukan kas negara.21) Didalam prakteknya, selama pemerintahan Orde Baru, utang luar negeri tersebut tidak tersalurkan dan diperuntukkan sebagaimana mestinya.22) Bank Dunia sendiri di dalam laporan internnya, yang sempat bocor ke tangan publik, tatkala Dennis de Tray masih menjabat sebagai Country Director untuk Indonesia, mengatakan bahwa telah terjadi kebocoran dana bantuan Bank Dunia sebesar 30 persen selama masa pemerintahan Soeharto. Penyimpangan penggunaan dana bantuan Bank Dunia tersebut mungkin hanya salah satu diantara penyimpangan di masa Soeharto. Sudah bukan rahasia lagi bahwa selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru praktek KKN bukan menjadi barang langka. Berbagai penyimpangan tersebut baru terungkap saat Soeharto lengser dari tahtanya. Ditemukan bahwa telah terjadi berbagai penyimpangan di banyak lembaga pemerintah, termasuk di bank-bank BUMN, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), dan Bank Ekspor-Impor (Bank Exim).23) Sudah menjadi rahasia umum pula dan diberitakan dalam beberapa laporan, yang menunjukkan bahwa proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh Bank Dunia banyak pula menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat dan perusakan lingkungan. Contoh yang paling nyata adalah penggundulan hutan yang timbul dalam kerangka land clearing bagi lahan transmigrasi. Banyak proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh Bank Dunia sama sekali tidak mengikut sertakan rakyat didalam perencanaanya. Maka tidaklah heran jika pada masa menjamurnya pembangunan waduk guna irigasi dan proyek pembangkit tenaga listrik, lahan pembangunan yang diambil adalah lahan subur pertanian dan setelah pembangunan selesai masyarakat sama sekali tidak memperoleh keuntungan yang berarti.24) Kebocoran yang terjadi didalam proyek-proyek yang dibangun melalui mekanisme pinjaman Bank Dunia pun sudah menjadi rahasia umum dikalangan Bank Dunia sendiri. Bahkan kebocoran tersebut diakui sendiri oleh instansi bersangkutan dalam setiap kesempatan bertemu dengan NGOs. Akan tetapi penyelesaian persoalan tersebut tidaklah sesederhana dengan meminta pengampunan 30% utang yang diduga telah dikorupsi. Korupsi yang dilakukan terhadap proyek-proyek pembangunan yang mendapat bantuan dari Bank Dunia, atau lembaga donor lainnya tersebut, memang membuat proyek tidak selesai sesuai dengan ketentuan yang semestinya dan daya tahan proyek yang dibangun pun acap kurang dari semestinya. Hal ini bukan saja menimbulkan kerugian waktu, akan tetapi kerusakan-kerusakan yang muncul sesudahnya membuat pemerintah Indonesia perlu meminta utang baru, guna memperbaiki proyek tersebut. Hal tersebut berarti utang baru plus bunga yang semakin membengkak.25) Persoalan yang lebih mendasar adalah, dalam menjalan proyek-proyek yang dibiayai oleh utang luar negeri pemerintah tidak pernah melibatkan masyarakat didalam perencanaannya. Bank Dunia sendiri acap menutup mata terhadap pentingnya masukan yang diberikan oleh masyarakat yang akan terkena proyek tersebut, tentang mau atau tidaknya mereka menerima proyek tersebut. Namun retorika kebocoran ini pun acap dijadikan oleh Bank Dunia sebagai kambing hitam terhadap kegagalan skema pembangunan yang selama ini mereka tawarkan kepada pemerintah Orde Baru. Secara antusias dalam pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI), yang untuk pertama kali diadakan di Indonesia, Bank Dunia menyiapkan satu makalah dengan judul "Controlling Corruption in World Bank-Finance Projects." Dalam makalah yang memang sengaja disiapkan bagi pertemuan CGI tersebut, Bank Dunia mengetengahkan transparansi dan efisiensi sebagai prasyarat bagi proyek-proyek Bank di masa yang akan datang.26) Persoalan tak adanya transparansi dan efisiensi, dengan kata lain pemerintahan yang korup, dijadikan sebagai penyebab kegagalan pembangunan di masa Orde Baru. Dengan kata lain Bank Dunia mengetengahkan tentang pentinya persoalan Good Governance. Persoalan kebocoran atau korupsi dibebankan pada tiadanya good governance yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia selama ini. Padahal konsep good governance ini pun bukanya tiada memiliki kelemahan, yaitu banyak meniru konsep yang sudah mapan diterapkan di negara-negara maju.27) Konsep good governance inilah yang membuat Bank Dunia, ADB, atau IMF memberikan dukungan terhadap munculnya lembaga-lembaga pengawas/anti korupsi, yang mereka anggap akan mendukng upaya mereka menciptakan pemerintahan yang bersih dan efisien.28) Adanya utang luar negeri juga membuat pemerintah tidak serius mengumpulkan pendapatan dari dalam negeri. Beberapa kekurangan yang terjadi di dalam penyusunan RAPBN dianggap oleh pemerintah dapat ditutup dari perolehan pimjaman luar negeri. Bahkan di sisi lain ketergantungan ini pun ikut mempengaruhi keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan terhadap korupsi. Kebocoran pendapat negara, akibat korupsi, yang dapat diperoleh dari keuntungan pendapatan BUMN atau BUMD, toh dianggap oleh pemerintah dapat ditutup dari sumber utang luar negeri. Mungkin suatu gagasan untuk mengkaji ulang komposisi APBN, yang selalu disusun setiap tahun oleh pemerintah dan DPR, cukup menarik untuk disimak. Revrisond Baswir, Direktur IDEA, Yogyakarta, menuliskan bahwa hampir semua kasus korupsi memiliki simpul didalam salah satu pos APBN. Dalam hitungan yang dibuat oleh Revrisond, jumlah uang yang dikorup bahkan bisa menyamai total anggaran yang berjumlah Rp 216 trilliun, APBN anggaran 1999/2000. Bahkan jika korupsi atau kebocoran yang terjadi di pos penerimaan dalam negeri dan belanja rutin pembangunan dapat ditanggulangi, maka jumlahnya hampir menyamai pos pemasukan APBN yang berasal dari utang luar negeri yang berjumlah Rp 77 trilliun.29) Salah satu contoh lain dari kerancuan utang luar negeri adalah program pengentasan kemiskinan yang muncul akibat krisis 1997. Keinginan pemberi pinjaman atau pemerintah untuk memberikan dan menerima utang LN untuk membiayai program kemiskinan adalah lucu. Pertama, pemerintah seolah melepaskan tanggungjawabnya dari persoalan kemiskinan dengan memohon bantuan pembiayaan untuk program tersebut dari lembaga atau negara donor. Yang kedua, diciptakan hubungan ketergantungan kaum miskin terhadap negara. Padahal yang harus dipacu oleh negara adalah kemandirian kaum miskin untuk mengatasi persoalannya. Sementara pemerintah seharusnya hanya memberikan kemudahan usaha, lapangan pekerjaan dan proteksi. Selama ini program JPS lebih banyak disalurkan untuk mencipatakan lapangan pekerjaan yang temporer, misalnya pembangunan saluran air, pembersihan sungai, pembanguan jembatan dan lain sebagainya. Padahal dari uang pinjaman yang berjuta-juta dollar tersebut pemerintah sudah dapat membangun beberapa pabrik industri yang dapat menyerap tenaga kerja permanen. Di sisi lain, program jaring pengaman kemiskinanan tersebut tanpa disadari ikut menularkan ketergantungan kepada uluar negeri kepada rakyat kecil, suatu penyakit yang selama ini secara akut diderita oleh pemerintah. Upaya Menumbuhkan Perlawanan Rakyat Diskursus mengenai utang luar negeri seringkali mengemuka dan menjadi wacana publik manakala sebuah negara mengambil kebijakan untuk berutang. Berbagai perdebatan selalu mewarnai pengambilan kebijakan tersebut, mulai yang bermuatan moral, ideologis, sampai pada pertimbangan masalah efisiensi ekonomi. Salah satu bentuk penolakan yang paling nyata terhadap utang adalah dengan berdirinya Koalisi Anti Utang pada penghujung tahun 1999, yang mengagendakan penghapusan utang lama dan penolakan utang baru sebagai program perjuangan mereka yang utama. Tatkala negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional yang tergabung dalam CGI melakukan sidang yang untuk pertama kalinya diadakan di Indonesia pada Februari 2000, koalisi ini melancarkan aksi demonstrasi besar-besaran, sebagai bentuk penolakan terhadap ketergantungan Indonesia terhadap utang. Bentuk penolakan yang dilakukan oleh KAU mungkin merupakan bentuk penolakan nyata yang nampak kepermukaan, dalam arti diekspos luas oleh media massa. Namun sebenarnya bentuk-bentuk penolakan yang lebih bersifat regional telah terbentuk sejak lama, tatkala masyarakat semakin menjumpai kebobrokan dan tak bergunanya proyek-proyek pembangunan, yang dibiayai oleh Bank Dunia atau lembaga keuangan lainnya, yang ada di daerah mereka masing-masing. Kasus-kasus tuntutan masyarakat terhadap Bank Dunia, termasuk pula terhadap Asian Development Bank, acap dijumpai di Sumatera, Kalimnatan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan bahkan Jawa. Terlepas dari segala kepentingan pemerintah terhadap utang luar negeri, satu hal yang perlu diketengahkan bahwa utang luar negeri yang diajukan oleh pemerintah telah meminta konsekuensi mahal yang harus ditanggung oleh rakyat. Misalkan saja skema program rekapitalisasi perbankan yang didanai oleh IMF telah mensyaratkan swastanisasi, deregulasi, dan pencabutan subsidi, yang pada akhirnya justru lebih menghancurkan perekonomian rakyat ketimbang para konglomerat yang memiliki utang. Permasalahan pengawasan publik selama ini menjadi agenda penting yang diketengahkan sebagai salah satu syarat reformasi. Persoalan pengawasan publik ini menjadi bagain yang tak terpisahkan dari upaya menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan juga kata kunci penting dalam upaya melakukan pemberantasan terhadapa korupsi. Wacana pengawasn publik pun dapat diterapkan dalam program-program pemerintah yang berkaitan dengan utang luar negeri. Secara ringkas pemetaan persoalan yang dapat diketengahkan dalam upaya pengawasan masyakarat adalah, pertama, partisipasi masyarakat dalam pengawasan proyek utang luar negeri. Selama ini bantuan yang berasal dari utang selalu bersentuhan langsung dengan masyarakat, namun pengawasan maupun yang melibatkan masyarakat korban maupun pendamping masyarakat terasa belum efektif. Kedua, proyek-proyek Bank Dunia yang dilakukan terutama yang berhubungan dengan peningkatan sosial ekonomi masyarakat, selama ini belum ditinjau efektivitas dan efisiensinya, dalam arti masyarakat tidak dimintai pendapatnya tentang perlu tidaknya proyek tersebut dijalankan. Ketiga, pelaksanaan proyek-proyek bantuan Bank Dunia tersebut di daerah apakah telah sesuai dengan prosedur dan bagaimana manfaatnya bagi masyarakat banyak. Oleh karenanya pengawasan yang dilakukan harus melibatkan dan juga menjadi suatu bagian yang tak terpisahkan dari upaya pemberdayaan masyarakat. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam bidang pengawasan dan pemantauan utang luar negeri merupakan implementasi dari penguatan rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan kinerja dari negara. Oleh karenanya pendidikan tentang anti utang luar negeri dan bahaya laten yang dimunculkan oleh lembaga-lembaga keuangan interansional perlu disebar luaskan pada jaringan yang ada di masyarakat. Jaringan yang akan terbentuk dari masyarakat sadar inilah yang akan menjadi kekuatan reel dalam upaya mengawasi atau menolak utang luar negeri, ataupun melakukan pemberantasan korupsi. Dalam semua bentuk perlawanan rakyat terhadap tindakan korupsi maupun utang luar negeri, pendirian beberapa lembaga penawas masyakarat atau organisasi anti korupsi tidaklah cukup. Agenda kerja yang harus dibangun adalah melakukan sosialisasi perlawanan terhadap korupsi dan utang luar negeri. Kesadaran kolektif yang akan muncul dari proses sosialisasi inilah yang akan menjadi kekuatan besar untuk menghancurkan korupsi dan ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri. Menggantungkan perlawanan hanya pada organisasi anti korupsi hanya akan memunculkan sebuah gerakan elitis dan mempermudah adanya kooptasi serta kontaminasi. Catatan:
|