Kota-Kota Besar (Bag. 1)Frederick Engels
Akan tetapi, pengorbanan yang telah diberikan untuk semua kemegahan ini segera terlihat jelas. Setelah menyusuri jalan-jalan di ibukota ini selama satu atau dua hari, dengan susah payah mencari jalan di antara putaran arus manusia dan arus kendaraan yang tiada henti, setelah mengunjungi daerah-daerah kumuh kota metropolitan ini, orang akan segera menyadari untuk pertama kalinya bahwa orang-orang london ini telah dipaksa untuk mengorbankan kualitas terbaik dari sifat kemanusiaan mereka, untuk memungkinkan kehadiran semua keajaiban peradaban yang memenuhi kota ini; bahwa seratus kekuatan lain yang tertidur di dalam jiwa mereka terpaksa tidak diaktifkan, telah ditekan, agar sejumlah kecil yang lain dapat dikembangkan secara penuh dan berlipat-ganda karena disatukan dengan kekuatan yang sama dalam diri individu lain. Putaran arus manusia di jalan-jalan itu sendiri sudah merupakan sesuatu yang memuakkan, sesuatu yang tidak dapat diterima oleh manusia. Ratusan ribu manusia yang berasal dari segala kelas dan tingkatan itu, bukankah mereka semua adalah manusia-manusia dengan kualitas dan kekuatan yang sama, dengan keinginan yang sama untuk bahagia? Dan bukankah mereka, pada akhirnya, harus mencari kebahagiaan dengan cara yang sama, dan menggunakan perangkat yang sama? Namun tetap saja mereka saling berdesakan satu sama lain seolah-olah mereka tidak memiliki kesamaan, tidak saling berhubungan, dan satu-satunya kesepakatan di antara mereka adalah kesepakatan yang tidak terucapkan, yaitu agar masing-masing tetap berada di jalur trotoar masing-masing agar tidak menghambat arus dari arah yang berlawanan, sementara tidak seorangpun di antara mereka pernah berpikir untuk saling menghormati satu sama lain bahkan dengan sebuah lirikan pun. Ketidakacuhan yang brutal ini, pengasingan yang tak berperasaan dari masing-masing orang dalam kepentingannya sendiri-sendiri menjadi semakin menjijikkan dan menyakitkan dengan semakin berdesakannya individu-individu ini dalam sebuah ruang yang terbatas. Dan, betapapun seseorang mungkin menyadari bahwa pengasingan individu ini, pencarian diri yang sempit ini adalah hal prinsip di dalam masyarakat modern di manapun, tak pernah ada di mana pun prinsip ini begitu telanjang tak bermalu, begitu disadari, seperti di sini, di kerumunan kota besar ini. Peleburan manusia menjadi sekedar sebuah kesatuan, masing-masing memiliki prinsip dan tujuan sendiri-sendiri, seperti sekumpulan atom, di sini dijalankan pada titiknya yang paling ekstrim. Begitu juga, perang sosial, perang antara satu melawan semua, di sini dinyatakan secara terbuka. Persis seperti dikemukakan dalam buku Stirner terbaru, manusia memandang satu sama lain hanya sebagai objek yang memiliki kegunaan; yang satu mengeksploitasi yang lainnya, dan semuanya berakhir dengan penindasan yang lemah oleh yang kuat, dan segelintir orang yang kuat, yakni kaum kapitalis, mengambil segalanya untuk dirinya sendiri, sementara bagi mayoritas yang lemah, orang-orang miskin, yang tinggal hanyalah kehidupan ala kadarnya. Kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi di London ini terjadi pula di Manchester, Birmingham, Leeds (nama kota-kota di Inggris juga.-Ed.) dan di semua kota-kota besar. Di mana-mana terdapat ketidakpedulian yang biadab dan egoisme keras di satu pihak dan penderitaan tak bernama di lain pihak; di mana-mana terjadi perang sosial, setiap rumah berada dalam keadaan perang, di mana-mana terjadi perampasan timbal balik yang dilindungi oleh hukum, dan semua terjadi tanpa malu-malu dan diakui secara terbuka sehingga orang menjadi ciut di hadapan konsekuensi dari keadaan sosial yang terwujud dengan gamblang di sini, dan hanya dapat bertanya-tanya mengapa seluruh struktur yang gila ini masih saja bertahan. Karena modal, yakni kontrol langsung maupun tak langsung tehadap alat kehidupan dan produksi, adalah senjata yang digunakan dalam perang sosial ini, maka jelas bahwa semua kerugian dari keadaan ini pasti jatuh ke tangan orang miskin. Tak seorang manusiapun peduli padanya. Sekali terdampar di pusaran, ia harus berjuang sebisa mungkin. Kalau ia beruntung bisa mendapatkan pekerjaan, yakni kalau kaum borjuasi bermaksud memperkaya diri dengan memperalatnya, ia akan diberikan sejumlah upah yang tidak cukup bahkan untuk menyatukan badan dan jiwanya; kalau ia tidak berhasil mendapatkan pekerjaan, ia boleh mencuri, kalau tidak takut kepada polisi, atau mati kelaparan, yang dalam hal ini polisi dengan senang hati akan bersedia menjamin bahwa ia mati kelaparan dengan cara yang tenang dan tidak mengganggu orang lain. Selama saya tinggal di Inggris, paling tidak dua atau tiga puluh orang mati karena kelaparan dalam keadaan yang sungguh menjijikkan, dan jarang ada kelompok Jury yang memiliki keberanian untuk mengatakan hal yang sebenarnya dalam perkara ini. Meskipun pernyataan para saksi dalam perkara ini sangat jelas dan tidak dapat dibantah lagi, para Jury yang dipilih dari kaum borjuasi, selalu dapat menemukan pintu belakang untuk melarikan diri dari tuduhan menakutkan tersebut: mati karena kelaparan. Kaum borjuasi tidak berani mengemukakan kebenaran dalam perkara-perkara tersebut sebab hal itu akan berarti mengungkapkan kutukan mereka sendiri. Akan tetapi, kematian secara tidak langsung lebih sering terjadi dibandingkan kematian langsung, sebab kekurangan gizi yang kronis telah menimbulkan suatu penyakit fatal, telah menyebabkan kondisi fisik yang sangat lemah yang penyebabnya sebenarnya bisa dihindari, yang kemudian menimbulkan kondisi yang sangat parah dan berakhir dengan kematian. Buruh-buruh Inggris menamakan hal ini "pembunuhan sosial", dan menuduh seluruh masyarakat Inggris telah melestarikan pelaksanaan kejahatan ini. Apakah mereka salah? Memang betul, hanya beberapa individu saja yang mati kepalaran, namun apakah ada jaminan bagi buruh-buruh ini bahwa giliran mereka tidak akan datang besok? Siapa yang bisa memberi jaminan pekerjaan padanya, siapa yang bisa menjamin hal itu jika tiba-tiba dengan alasan apapun atau tanpa alasan sama sekali tuan atau majikannya memecat dia besok, ia bisa terus menjalani hidupnya bersama keluarga yang bergantung padanya, sampai ia menemukan seseorang lain yang akan "memberinya roti"? Siapa yang bisa menjamin bahwa keinginan untuk bekerja saja sudah cukup untuk memperoleh kerja, bahwa sifat jujur, rajin, hemat dan semua sifat yang dianjurkan oleh kaum borjuasi adalah merupakan jalan baginya menuju kebahagiaan? Tak seorangpun. Ia hanya tahu ia bisa makan hari ini, dan bahwa ia bisa makan atau tidak besok sama sekali tidak tergantung pada dirinya semata. Ia hanya tahu bahwa setiap hembusan angin, setiap tingkah majikannya, atau setiap putaran buruk dari perdagangan bisa melemparkannya kembali ke dalam arus pusaran ganas yang baru saja ditinggalkannya dengan selamat, di mana sangat sulit atau kadang-kadang bahkan tidak mungkin untuk tetap dapat mengangkat kepala di atas air. Ia tahu bahwa walaupun ia saat ini memiliki mata pencaharian hari ini, belum tentu besok ia tetap memilikinya. Sementara itu, mari kita teruskan penyelidikan yang lebih rinci tentang kedudukan yang telah diberikan kepada kelas tak berpunya oleh perang sosial. Mari kita lihat imbalan yang diberikan masyarakat kepada buruh-buruh dalam bentuk tempat tinggal, sandang, pangan, kehidupan macam apa yang telah diberikan kepada mereka yang memberikan sumbangan paling banyak terhadap jelannya kehidupan masyarakat; dan mula-mula, mari kita pertimbangkan aspek tempat tinggal. Setiap kota besar memiliki satu atau lebih daerah kumuh, tempat klas buruh tinggal berdesakan. Memang benar, kemiskinan seringkali hidup di gang-gang yang tersembunyi di sisi tembok-tembok istana orang-orang kaya; tapi pada umumnya, sebuah teritori/daerah yang terpisah telah disediakan untuk mereka, di mana setelah jauh dari penglihatan klas-klas yang lebih berbahagia, mereka boleh berjuang demi hidup semampu mereka. Daerah-daerah kumuh ini tersusun hampir seragam di semua kota-kota besar di Inggris, rumah-rumah terburuk yang terletak di daerah-daerah pemukiman terburuk di setiap kota; biasanya berbentuk gubuk-gubuk bertingkat satu atau dua yang berderet panjang, mungkin dengan ruang bawah tanah yang juga dipakai untuk tempat tinggal, dan hampir selalu dibangun secara tidak beraturan. Rumah-rumah yang terdiri dari tiga atau empat ruangan dan sebuah dapur, di seluruh Inggris, kecuali di beberapa bagian di London, merupakan tempat tinggal yang umum bagi kelas pekerja. Jalan-jalannya biasanya tidak beraspal, kasar, kotor, penuh dengan sampah sisa-sisa sayuran dan kotoran binatang, tanpa saluran pembuangan air ataupun got-got dan dipenuhi bau busuk dan genangan air kotor. Selain itu pertukaran udara segar terhalang oleh metode pembuatan bangunan di seluruh daerah tersebut, dan karena begitu banyaknya manusia yang hidup di sini, berdesakan dalam satu ruang sempit, suasana yang tercipta di tempat tinggal buruh-buruh ini dapat kita bayangkan. Lebih jauh lagi, jalan-jalan di sini juga berfungsi sebagai tempat penjemuran pakaian ketika cuaca sedang cerah; tali-tali terpasang melintang dari rumah ke rumah dan penuh dengan gantungan pakaian basah. Mari kita telusuri lebih jauh beberapa daerah kumuh menurut urutannya. Mula-mula London,2) dan di London lah terletak daerah kumuh St.Giles yang terkenal yang sekarang, akhirnya, akan dilalui oleh beberapa jalan besar. St. Giles terletak di tengah-tengah daerah yang sangat padat di London, dikelilingi oleh jalan raya yang rindang yang merupakan pusat kehidupan santai kota London, berdampingan dengan Jalan Oxford, Trafalgar Square dan The Strand. Daerah ini merupakan kumpulan tidak beraturan dari rumah-rumah berlantai empat, dengan jalan-jalan sempit, berbelok-belok dan kotor, di mana terdapat kehidupan seperti di jalan-jalan utama kota London, kecuali bahwa di sini yang terlihat hanyalah kehidupan manusia klas pekerja. Sebuah pasar sayuran digelar di jalanan, keranjang-keranjang berisi sayuran dan buah-buahan, yang semuanya tentunya sudah jelek dan tidak layak lagi untuk dipakai, makin menghalangi jalan, dan dari sini, selain dari kios-kios penjual ikan, tersebar bau yang sangat menusuk. Rumah-rumah tersebut terisi penuh, dari ruang bawah tanah sampai ke loteng, kotor di dalam maupun di luar, dan begitu jeleknya penampilan daerah ini sehingga dengan memandangnya saja pun sebetulnya manusia enggan untuk tinggal di dalamnya. Tapi semua ini belum apa-apa jika dibandingkan dengan gubuk-buguk di tanah-tanah dan gang-gang sempit yang terletak di antara jalan-jalan, yang hanya dapat dilaui lewat jalan-jalan tertutup yang terletak di antara rumah-rumah, dimana kotoran dan puing-puing yang terserak di sini betul-betul tak tergambarkan. Di sini hampir tidak ada kaca jendela yang masih utuh, sedang semen pada tembok-temboknya sudah luruh, kusen pintu dan jendela longgar dan patah-patah, pintu-pintu terbuat dari potongan papan tua yang disambung jadi satu dengan paku, atau sama sekali tak berpintu di daerah pencuri ini, sebab pintu hampir-hampir tidak diperlukan sebab tidak ada lagi yang bisa dicuri dari rumah ini. Tumpukan sampah dan debu berserakan di segala arah, dan cairan kotor yang dibung keluar dari pintu-pintu mengumpul jadi satu dalam genangan berbau busuk. Di sini hidup orang-orang yang paling miskin dari kaum miskin, buruh-buruh yang memperoleh upah terendah bersama pencuri-pencuri dan korban-korban pelacuran berdesakan jadi satu, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Irlandia, atau keturunan Irlandia, dan mereka yang belum tenggelam dalam kolam pusaran kerusakan moral yang melingkupi mereka, dari hari ke hari semakin dalam terbenam, dari hari ke hari semakin kehilangan kekuatan mereka untuk menolak pengaruh kelaparan, sampah dan lingkungan jahat yang merusak jiwa. Namun St. Giles bukanlah satu-satunya daerah kumuh di London. Di antara jalinan raksana jalan-jalan raya, terdapat ratusan dan bahkan ribuan gang dan petak-petak tanah yang diisi dengan rumah-rumah yang terlalu jelek untuk ditinggali oleh siapapun yang masih dapat mengeluarkan uang untuk memperoleh tempat tinggal yang layak untuk manusia. Di dekat rumah-rumah megah orang-orang kaya, tempat yang mengenaskan yang merupakan cerminan dari kemiskinan yang paling pahit masih sering ditemukan. Begitulah, beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah pemeriksaan oleh petugas pencatat kematian, sebuah daerah yang dekat dengan Portman Square, salah satu daerah terhormat, disebutkan sebagai daerah tempat tinggal dari "kumpulan orang-orang Irlandia yang dirusak jiwanya oleh kemiskinan dan sampah." Demikian pula, dapat kita lihat di jalan-jalan seperti Long Acre, dsb., yang walaupun tidak gemerlapan tapi merupakan daerah-daerah yang "agak terhormat", sejumlah besar gubuk-gubuk bawah tanah yang dari dalamnya bermunculan anak-anak yang tampak kurus dan lemah serta perempuan-perempuan kumal menikmati cahaya matahari. Persis di sebelah Drury Lane Theatre, yang merupakan tater terbesar kedua di london, terletak beberapa jalan yang terburuk di seluruh kota metropolis tsb, yakni Charles Street, King street dan Park Street, dimana terdapat rumah-rumah yang dari ruang bawah tanah hingga langit-langitnya melulu dihuni oleh keluarga miskin. Di daerah paroki St. John dan St. Margareth di tahun 1840, menurut Journal of the Statistical Society, 5.366 keluarga buruh hidup dalam 5.294 "tempat tinggal" (kalaupun bisa dikatakan begitu); laki-laki, perempuan dan anak-anak yang terdampar bersama tanpa perbedaan umur maupun jenis kelamin, terdiri dari 26.830 orang, dan dari jumlah keluarga ini, tiga perempatnya hanya mempunyai satu ruangan saja. Di daerah paroki kaum Aristokrat St. George di Hanover Square, hidup 6.000 orang dalam kondisi yang sama, dan di sini pula, lebih dari duapertiga di antaranya berdesakan dengan tingkat kepadatan satu keluarga dalam satu ruangan. Dan bayangkan bagaimana kemiskinan orang-orang malang ini, yang di antaranya terdapat apara maling yang tidak tahu lagi apa yang akan mereka curi, masih dieksploitasi lagi oleh kelas pemilik tanah dengan cara-cara yang sah menurut hukum! Tempat-tempat tinggal sewaan dengan kondisi sangat buruk di Drury Lane, yang sudah disebutkan di atas, menghasilkan uang sewa sbb: dua ruang bawah tanah, 3 shilling; satu ruang di lantai dasar, 4 shilling; lantai dua, 4 shilling. 6 dime; lantai tiga, 4 shilling; ruang loteng, 3 shilling, untuk seminggu. Dengan demikian para penghuni Charles Street yang kelaparan ini saja setiap tahun mengeluarkan uang untuk sewa rumah sebesar 2.000 poundsterling, dan ke-5.366 keluarga di Westminster yang telah disebutkan di atas membayar uang sewa setiap tahun sebesar 40.000 poundsterling. Distrik paling luas terletak di sebelah timur Menara london di Whitechapel dan Bethnal Green, tempat tinggal umat gereja buruh terbesar di London. Coba kita simak ceramah Pendeta St. Phillips, Mr. G. Alsthon, tentang keadaan parokinya. Ia katakan: "Di paroki ini terdapat 1.400 rumah yang dihuni oleh 2.795 keluarga, atau kira-kira 12.000 orang. Ruang yang dihuni oleh begitu banyak penduduk ini luas tanahnya hanya 400 m2, dan di tempat yang penuh sesak seperti ini, tidak heran bila kita menjumpai seorang pria, istrinya, dengan empat atau lima anaknya, dan terkadang, keempat kakek-nenek, tinggal bersama dalam satu ruangan berukuran 4 m2, dimana mereka makan, tidur, dan bekerja. Saya yakin sebelum Uskup London menghimbau seluruh penduduk london untuk memperhatikan paroki paling miskin ini, orang-orang yang tinggal di daerah West End sama sekali tidak pernah mendengar hal ini, sama seperti mereka tidak pernah mendengar tentang kehidupan suku-suku primitif di Australia atau Pulau-Pulau laut Selatan. Dan apabila kita mencari tahu tentang kemalangan ini, melalui pengamatan pribadi, akan kita temukan ketidakberdayaan dan kesengsaraan yang demikian memilukan hingga kita sebagai sebuah bangsa seharusnya malu bahwa keadaan seperti ini sampai terjadi. Saya pernah mengepalai gereja di dekat Huddersfield selama tiga tahun yaitu semasa keadaan sedang buruk-buruknya, tapi sejak saat itu belum pernah saya temukan ketidakberdayaan total orang miskin seperti di Bethnal Green. Tak satupun kepala keluarga dari sepuluh kelularga yang ada yang mempunyai pakaian lain selain pakaian kerjanya, dan itu pun sudah sangat kusam dan compang-camping; kebanyakan bahkan tidak memiliki penutup tubuh selain potongan kain tersebut, dan tidak pula mempunyai tempat tidur selain setumpukan jerami dan serutan kayu." Deskripsi di atas memberikan gambaran tentang bagian dalam dari gubuk-gubuk ini. Tapi mari kita ikuti dulu pejabat-pejabat Inggris, yang sekali-sekali tersasar ke sini, ke salah satu atau dua rumah buruh-buruh di sini. Pada satu kesempatan pemeriksaan mayat Ann Galway, 45 th. yang diadakan tanggal 14 November 1843 oleh Mr. Carter, petugas kematian dari Surrey, surat-surat kabar menulis rincian berikut ini tentang almarhumah: Ia selama ini tinggal di White lion Court no. 3, Bermondsey Street, London, bersama seorang suami dan anak lelakinya yang berumur 19 tahun dalam sebuah ruangan kecil yang tidak terisi tempat tidur ataupun perkakas lainnya. Ia terbaring kaku di samping anaknya di atas setumpukan bulu ayam yang berserakan menutupi tubuhnya yang hampir telanjang, karena ketiadaan selimut ataupun kain lain yang dapat dipakai untuk menyelimutinya. Bulu-bulu ayam tersebut melekat begitu kuatnya di tubuh mayat sehingga dokter baru bisa melakukan pemeriksaan setelah mayatnya dibersihkan, dan kemudian baru terlihat tubuh yang kurus karena kelaparan dan luka-luka karena gigitan kutu. Sebagian lantai di ruangan ini sudah lepas-lepas dan salah satu lubang yang tercipta di sudut ruangan digunakan sebagai WC oleh keluarga ini. Pada hari Senin, 15 Januari 1844, dua anak laki-laki diseret ke hadapan hakim polisi karena, didorong oleh kondisi kelaparan, telah mencuri dan langsung mnyantap sepotong kaki sapi setengah matang dari sebuah toko. Sang hakim merasa terpanggil untuk menyelidiki lebih jauh kasus tersebut, dan tak lama kemudian menerima laporan dari seorang polisi sbb: ibu dari kedua anak tersebut adalah janda seorang bekas tentara, yang kemudian menjadi polisi, dan telah hidup dalam kemiskinan sejak kematian suaminya, dalam upaya menghidupi kesembilan anaknya. Ia tinggal di Pool's Place no. 2, Quaker Court, Spitalfields, dalam keadaan sangat miskin. Pada waktu polisi tersebut mendatanginya, ia menemukan ibu itu secara harfiah berdesakan dengan enam orang anaknya dalam sebuah ruang belakang yang sempit, tanpa perkakas yang berarti kecuali dua buah kursi beralas anyaman rotan yang tempat duduknya sudah hilang, sebuah meja kecil yang dua kakinya sudah patah, sebuah cangkir yang retak dan sebuah piring kecil. Di perapian, tak sepercik api pun terlihat, dan di salah satu sudut ruangan tertumpuk kain-kain tua yang hanya cukup untuk membuat sebuah rok wanita, yang digunakan sebagai tempat tidur oleh keluarga tersebut. Untuk pakaian tidur, mereka cuma punya baju compang-camping yang mereka pakai setiap hari. Perempuan malang tersebut mengatakan bahwa ia terpaksa menjual tempat tidurnya setahun sebelumnya untuk dapat membeli makanan. Kasur dan selimut ia gadaikan di toko makanan. Pendeknya, semua barang terpaksa dilego demi sesuap nasi. Pak Hakim kemudian memerintahkan agar keluarga perempuan ini menerima jatah ransum makanan bagi orang miskin dalam jumlah cukup besar. Pada Februari 1844, Theresa Bishop, seorang janda berusia 60 tahun diusulkan, bersama anak perempuannya berusia 26 th yang sedang sakit, untuk diperhatikan oleh Pak Hakim di Marlborough Street. Ia tinggal di Brown Street no. 5, Grosvenor Square, dalam sebuah ruang belakang yang tidak lebih besar dari sebuah lemari, tanpa sepotong perkakas rumahpun. Di satu sudut terserak beberapa potong kain tua yang menjadi tempat tidur bagi keduanya, dan sebuah bufet kecil yang berfungsi sebagai meja sekaligus kursi. Sang Ibu memperoleh sedikit penghasilan dari bekerja membersihkan rumah orang. Pemilik rumah mengatakan bahwa mereka sudah hidup seperti itu sejak Mei 1843, sudah mulai sedikit demi sedikit menual atau menggadaikan semua yang mereka miliki, dan tetap belum mampu membayar sewa kamar. Pak Hakim kemudian memerintahkan pemberian uang sebanyak satu Poundsterling dari dana sosial untuk orang miskin. Saya sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa semua klas pekerja London hidup dalam kekurangan seperti ketiga keluarga yang disebutkan di atas. Saya tahu betul bahwa sepuluh keluarga hidup dengan baik sementara satu keluarga lain betul-betul terinjak-injak di bawah kaki masyarakat; tapi saya ingin menegaskan bahwa ribuan rakyat pekerja yang sangat berharga-jauh lebih berharga dan lebih patut dihormati daripada semua orang kaya di London-sungguh-sungguh berada dalam keadaan yang tidak semestinya dialami oleh manusia; dan bahwa setiap kaum proletar, setiap orang tanpa kecuali, mengalami nasib yang terjadi bukan karena kesalahan mereka sendiri, meskipun segala daya upaya telah mereka kerahkan bagi sebuah kehidupan yang layak. Meskipun begitu, mereka yang dapat menemukan tempat berteduh, walaupun seadanya, sudah termasuk beruntung; beruntung dibandingkan dengan mereka yang samasekali tidak punya tempat tinggal. Di London, 50.000 manusia terbangun dari tidur setiap pagi tanpa tahu dimana mereka akan membaringkan tubuh lelah mereka malam berikutnya. Yang paling beruntung dari kumpulan manusia ini, yakni mereka yang berhasil menyimpan satu atau dua pennies hingga malam harinya, masuk ke tempat-tempat penampungan/penginapan, seperti yang banyak terdapat di setiap kota besar, untuk memperoleh tempat tidur. Tapi tempat tidur yang sungguh menyedihkan! Rumah-rumah penginapan ini dipenuhi tempat tidur dari ruang bawah tanah sampai ke loteng; empat, lima, enam tempat tidur dalam satu ruangan; sebanyak yang bisa didesakkan ke dalam satu kamar. Ke atas setiap tempat tidur, empat, lima, enam manusia ditumpuk jadi satu, sebanyak yang bisa ditumpukkan, sehat ataupun sakit, tua atau muda, mabuk atau sadar, laki-laki dan perempuan, siapa saja yang datang lebih dahulu, tanpa ada perbedaan. Lalu pasti terjadi pertengkaran, pukulan, luka, jika kawan setempat tidur ini sepakat, sesuatu yang lebih buruk lagi; pencurian diatur, dan banyak hal dilakukan, hal-hal yang tidak dapat tergambarkan oleh bahasa kita, yang telah berkembang menjadi lebih manusiawi dibandingkan perbuatan-perbuatan kita. Dan bagaimana dengan orang-orang yang tidak mampu membayar tempat bermalam seperti itu? Mereka tidur di mana saja mereka temukan tempat kosong, di lorong-lorong, di emper-emper toko, di sudut-sudut jalan dimana polisi dan bahkan pemilik tanah pun tidak tega membangunkan mereka. Beberapa orang berhasil mencapai tempat-tempat penampungan yang dikelola, di beberapa tempat, oleh badan-badan amal swasta, sementara yang lain tidur di bangku-bangku taman tidak jauh dari jendela Ratu Victoria. Coba kita simak tulisan di London Times di bawah ini: "Terungkap dari laiporan jalannya persidangan di Pengadilan Polisi Marlborough Street yang dimuat dalam kolom kami terbitan kemarin, bahwa rata-rata terdapat lima puluh manusia segala usia, yang berdesakan di taman setiap malam, karena tidak memiliki tempat berteduh lain selain yang diberikan oleh pohon-pohon dan beberapa ceruk yang tercipta di dinding kanal. Dari jumlah ini, kebanyakan adalah gadis-gadis muda yang telah terbujuk oleh tentara-tentara untuk meninggalkan desa mereka dan kemudian ditinggalkan luntang-lantung dengan segala ketidakberdayaan dalam kemiskinan tanpa kawan dan buruknya kejahatan di usia dini. "Ini sungguh mengerikan! Kemiskinan ada di mana-mana. Kepapaan akan menjalar dan mendirikan kerajaannya yang mengerikan di jantung sebuah kota yang megah dan mewah. Di antara ribuan jalan-jalan sempit dan gang-gang kecil sebuah kota metropolitan yang padat penduduk, saya khawatir, akan selalu ada banyak penderitaan-banyak pemandangan yang menyakitkan mata-banyak mengintai tanpa terlihat. "Tapi bahwa di tengah daerah kaya, kesenangan dan mode, di dekat kemegahan St. James, tidak jauh dari keindahan istana Bayswater, diapit oleh daerah pemukiman aristokrat yang lama dan baru, di sebuah distrik dimana peremajaan desain modern yang dilakukan dengan sangat hati-hati telah menolak untuk membuat satu bangunan perumahan untuk kaum miskin; yang, dengan demikian, tampak ditujukan hanya bagi kenikmatan kekayaan, bahwa di sini kemiskinan, dan kelaparan, dan penyakit, dan kejahatan justru mengendap-endap dengan segala kengerian yang ditimbulkannya, melahap tubuh demi tubuh, jiwa demi jiwa! "Sungguh suatu keadaan yang mengerikan! Kenikmatan sebagai sesuatu yang absolut, dimana kenyamanan tubuh, kesenangan intelektual, atau kesenangan keindraan yang lebuh lugu lainnya menjadi pusat keinginan manusia, disandingkan dengan kesengsaraan yang paling menyakitkan! Kekayaan, dari ruang "saloon"nya yang terang benderang, mentertawakan-dengan tawa yang tak berperasaan dan kurang ajar-luka luka kemiskinan yang tidak dikenalnya! Kesenangan, dengan kejam tapi tanpa disadari mengejek rasa sakit yang mengerang di bawah sana! Semua hal yang bertentangan saling mengejek-segala yang bertentangan, kecuali kejahatan yang menggoda dan kejahatan yang tergoda! "Tapi biarlah manusia mengingat satu hal-yaitu bahwa di tengah daerah pemukiman paling anggun di kota terkaya di bumi Tuhan ini, bisa ditemukan, dari malam ke malam, dari musim dingin ke musim dingin berikutnya, perempuan-perempuan-yang muda dalam usia namun tua dalam dosa dan penderitaan-dicampakkan dari masyarakat - MEMBUSUK KARENA KELAPARAN, KOTORAN, DAN PENYAKIT. Biarlah mereka mngingat hal ini, dan belajar darinya bukan untuk berteori melinkan untuk melakukan sesuatu. Tuhan tahu bahwa banyak sekali yang harus dilakukan dewasa ini."3) Telah saya sebutkan di atas tentang adanya tempat bermalam bagi para tunawisma. bagaimana penuh sesaknya tempat-tempat tersebut bisa dilihat dari dua contoh berikut. Sebuah tempat penampungan bagi tunawisma yang baru dibangun di Upper Ogle Street yang berkapasitas 300 orang per malam, sejak dibuka pada 27 Januari s/d 17 maret 1844, telah menampung 2.740 orang untuk satu malam atau lebih; dan meskipun cuaca sudah lebih baik, jumlah pendaftar di tempat penampungan ini maupun di Whitecross Street dan Wapping meningkat pesat serta sejumlah besar tunawisma terpaksa ditolak setiap malam akiba kurangnya jumlah ruangan yang tersedia. Di tempat penampungan lain, di Central Asylum di Playhouse Yard, 460 tempat tidur disediakan setiap malam selama tiga bulan pertama tahun 1844, 6.681 orang diberi naungan dan 96.141 porsi roti dibagikan. Namun komite pengurusnya menyatakan bahwa lembaga ini baru bisa memenuhi tekanan orang-orang miskin tersebut sampai tingkat yang terbatas setelah Eastern Asylum juga dibuka. Mari kita tinggalkan London dan mengamati kota-kota besar lain di ketiga kerajaan sesuai urutannya. Pertama mari kita lihat Dublin, sebuah kota yang bila didekati dari laut tampak mempesona, sama seperti London tampak mengesankan. Teluk Dublin merupakan yang terindah di seluruh Kerajaan Kepulauan Inggris, dan orang-orang Irlandia bahkan membandingkannya dengan keindahan Teluk Napoli. Kotanya pun memiliki pesona yang besar, dan daerah-daerah aristokratnya pun lebih baik dan ditata dengan lebih berselera dibandingkan di kota-kota lain di Inggris. Akan tetapi bila dibandingkan lebih jauh, daerah-daerah miskin di Dublin merupakan yang paling mengerikan dan menjijikkan untuk dilihat di seluruh dunia. Memang benar, watak Irlandia, yang, dalam keadaan tertentu, hanya bisa merasa nyaman dalam kekotoran, terlihat di sini; akan tetapi, karena kita bisa menemukan beribu-ribu orang Irlandia di setiap kota besar di Inggris dan Skotlandia, dan karena setiap penduduk miskin pasti secara perlahan tenggelam ke dalam kekotoran yang sama, keadaan Dublin yang menyedihkan ini bukanlah sesuatu yang istimewa, bukan sesuatu yang aneh dan khas yang hanya ada di Dublin, melainkan sesuatu yang biasa terdapat di semua kota besar. Daerah miskin di Dublin sungguh sangat luas, dan kekumuhannya, keadaan rumah-rumah yang tidak layak huni dan jalan-jalan yang tidak terurus, sungguh tak tergambarkan. Sebuah gambaran tentang bagaimana orang-orang miskin di sini ditempatkan berdesak-desakan dapat dilihat dari kenyataan bahwa, pada tahun 1817, menurut laporan Inspektur Workhouses,4) 1.318 jiwa hidup dalam 52 rumah dengan 390 kamar di Barral Street, dan 1.997 jiwa dalam 71 rumah dengan 393 kamar di sekitar Church street; bahwa: "Di sini and jalan-jalan lain di sekitarnya terdapat jalan-jalan kecil dan gang-gang; kebanyakan ruang bawah tanahnya hanya menrima cahaya dari pintu, sementara di banyak tempat para penghuninya tidup di atas lantai, meskipun kebanyakan dari mereka paling tidak mempunyai mempunyai tempat tidur (tanpa kasur); Nicholson's Court, misalnya berisi dua puluh delapan ruang kecil yang mengenaskan dengan 151 manusia yang berada dalam keadaan sangat kekurangan, sebab hanya ada dua tempat tidur and dua buah selimut di tempat itu." Kemiskinan di Dublin begitu meluas, sehingga satu-satunya lembaga amal, the Mendicity Association, memberikan bantuan kepada 2.500 orang atau satu persen dari keseluruhan penduduk setiap harinya, menerima mereka dan memberi makan di siang hari dan menyuruh mereka pergi malam harinya. Dr. Alison menggambarkan sebuah situasi yang sama di Edinburgh, yang keadaan kotanya yang baik telah menyebabkannya menerima julukan Atena Modern, dan yang daerah aristokratnya di New Town sangat kontras dengan kesengaraan kaum miskin di Old Town. Alison menegaskan bahwa keadaan kaum miskin di Scotlandia, terutama di Edinburgh dan Glasgow, jauh lebih buruk dibandingkan di wilayah lain di ketiga kerajaan, dan bahwa yang paling miskin bukanlah orang Irlandia melainkan orang-orang Scotlandia. Seorang pendeta dari the Old Church of Edinburgh, Dr. Lee, memberi pengakuan pada tahun 1836, di hadapan Komisi Pengajaran Agama, bahwa: "belum pernah ia menyaksikan penderitaan seperti yang ia temukan di dalam parokinya, dimana orang hidup tanpa memiliki sepotong perkakas rumah pun, bahkan tanpa memiliki apa-apa, dimana dua pasang suami istri harus hidup bersama di dalam satu ruangan. Dalam satu hari saja ia sudah mengunjungi tujuh buah rumah yang di dalamnya tidak terdapat tempat tidur, di beberapa di antaranya bahkan tidak memiliki tumpukan jerami untuk tempat tidur. Orang-orang tua berumur delapan puluhan tidur di atas lantai kayu, dan hampir semuanya tidur dengan memakai pakaian yang mereka gunakan di siang harinya. Pada sebuah ruang bawah tanah ia menemukan dua keluarga yang bersala dari sebuah distrik desa Skotlandia; tak lama setelah mereka tergusur ke kota, dua di antara anak-anak mereka telah meninggal, dan yang ketiga sedang sekarat pada saat ia berkunjung. Masing-masing keluarga memiliki setumpuk jerami kotor di satu sudut; selain kedua keluarga itu, ruang bawah tanah ini juga menjadi tempat naungan seekor keledai, dan keadaan ruang tersebut begitu gelap sehingga hampir tidak mungkin membedakan satu orang dengan orang lain bahkan di siang hari. Dr. Lee menyatakan bahwa keadaan tersebut begitu memilukan sehingga dapat membuat hati yang paling keras pun berdarah menyaksikan penderitaan demikian dapat terjadi di sebuah negeri seperti Skotlandia." Dalam Medical and Surgical Journal yang terbit di Edinburgh, Dr. Hennan melaporkan suatu keadaan serupa. Dari Laporan Parlemen,5) jelas terlihat bahwa tempat pemukiman kaum miskin di Edinburgh sangat kotor, seperti yang biasa terjadi pada situasi demikian. Di kaki tempat tidur ayam-ayam berkokoki di waktu fajar, anjing-anjing dan kuda berbagi tempat dengan manusia, dan akibat yang wajar timbul dari keadaan ini adalah udara yang selalu bau busuk, dan lingkungan yang dipenuhi kotoran dan kumpulan kutu busuk dan kutu-kutu binatang. Pembangunan yang sedang berjalan di Edinburgh mempertahankan kondisi yang kejam dan memalukan ini sejauh mungkin. Old Town dibangun di kedua lereng sebuah bukit yang di puncaknya terbentang jalan utama High Street. Keluar dari High Street, akan tampak puluhan gang-gang sempit dan berbelok-belok yang disebut wynds karena banyaknya belokan di jalan ini, dan di kelokan-kelokan inilah terletak distrik proletar di kota ini. Rumah-rumah di kota-kota Skotlandia pada umumnya adalah bangunan-bangunan yang terdiri dari lima atau enam lantai, seperti di Paris, dan berbeda dengan rumah-rumah di Inggris, di mana setiap keluarga, sedapat mungkin memiliki rumah sendiri. Penumpukan manusia di dalam satu areal terbatas menjadi semakin intensif di sini. "Jalan-jalan di sini," demikian dilaporkan sebuah majalah Inggris dalam sebuah artikel tentang kondisi sanitasi kaum buruh di kota-kota, "seringkali begitu sempit sehingga seseorang bisa melangkah dari jendela satu rumah ke jendela rumah di depannya, sementara rumah-rumah dibangun begitu tinggi, lantai demi lantai, sehingga cahaya hampir tidak mampu mencapai halaman ataupun gang di antara rumah-rumah itu. Di bagian kota ini tidak terdapat gorong-gorong ataupun selokan, atau bahkan WC yang seharusnya terdapat dalam setiap rumah. Akibatnya, semua sampah dan kotoran dari sekitar 50.000 manusia dibuang ke dalam got-got setiap malam, sehingga meskipun ada penyapuan jalan, sejumlah besar kotoran kering dan bau busuk tercipta di sini, yang tidak hanya mengganggu pandangan dan penciuman, tapi juga sangat membahayakan kesehatan penduduk daerah ini. Apakah kita perlu heran bahwa di tempat seperti ini semua pertimbangan kesehatan, moral, dan bahkan kesopanan yang paling umum sama sekali diabaikan? Sama sekali tidak. Sebaliknya, semua orang yang lebih mengetahui lebih dekat kondisi penduduk di sini akan dengan jujur memberi kesaksian terhadap tingginya tingkat penyebaran penyakit, kesengasaraan dan demoralisasi yang menimpa daerah ini. Rumah-ruamh orang-orang miskin ini umumnya sangat kotor, dan jelas tidak pernah dibersihkan. Pada umumnya rumah-rumah tersebut terdiri dari satu ruangan yang, karena keadaan ventilasi yang sangat buruk, selalu dalam keadaan dingin akibat jendela-jendela yang patah ataupun tidak terpasang dengan baik, kadang-kadang sangat lembab dan sebagian terletak sedikit lebih rendah dari jalan, selalu hampair tanpa perkakas rumah dan sangat tidak menyenangkan, setumpuk jerami seringkali menjadi tempat tidur bagi seluruh keluarga, dimana laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tidur dalam kebingungan yang memuakkan. Air hanya bisa diperoleh dari pompa umum, dan kesulitan mendapatkannya dengan sendirinya telah mengakibatkan tersebarnya segala kotoran yang mungkin terjadi." Di kota-kota besar pelabuhan lainnya, prospek yang terjadi tidak jauh berbeda. Liverpool, dengan segala jenis perdagangan, kekayaan dan kemewahannya memperlakukan buruh-buruhnya dengan kebiadaban yang sama. Seperlima dari keseluruhan jumlah penduduknya, yaitu lebih dari 45.000 manusia, hidup di tempat-tempat pemukiman ruang bawah tanah yang sempit, gelap, lembab dan berventilasi buruk, 7.862 orang di antaranya terdapat di kota-kota. Di samping tempat-tempatpemukiman bawah tanah ini, terdapat pula 2.270 blok-blok kecil (court), lahan-lahan sempit yang di keempat sisinya dibangun rumah-rumah dengan hanya satu jalan masuk yang sempit dan tertutup, yang biasanya sangat kotor dan dihuni sepenuhnya hanya oleh kaum proletar. Tentang tempat-tempat seperti ini, kita akan memperoleh gambaran yang lebih lengkap pada waktu membicarakan daerah Manchester nanti. Di Bristol sendiri, pada suatu kesempatan kunjungan, dari 2.800 keluarga yang dikunjungi, 46% di antaranya masing-masing hanya menempati satu ruangan. Keadaan yang persis sama juga berlangsung di kota-kota pabrik/industri. Di Nottingham, secara keseluruhan terdapat 11.000 rumah, 7.000 sampai 8.000 di antaranya dibangun rapat saling berbelakangan dengan dinding belakang menyatu sehingga tidak mungkin ada ventilasi, sementara satu buah WC bisanya disediakan untuk beberapa rumah. Selama penelitian yang dilakukan beberapa waktu kemudian, beberapa deret rumah tampak telah dibangun di atas got-got dangkal yang hanya ditutupi papan-papan lantai dasar. Di Leicester, Derby dan Sheffield, keadaan tidak lebih baik. Mengenai Birmingham, artikel diatas yang dikutip dari Artisan menyatakan: "Di daerah kota lama, terdapat banyak daerah yang sangat kumuh, kotor dan terabaikan, penuh dengan kolam air kotor dan tumpukan sampah dan kotoran. Blok-blok perumahan sempit (Court) di Birmingham jumlahnya sangat banyak, mencapai dua ribu blok, dan di sini tinggal jumlah terbesar kaum pekerja kota ini. Blok-blok ini biasanya sempit, berlumpur, dengan ventilasi sangat buruk, tidak memiliki saluran pembuangan (gorong-gorong) dan berisi delapan sampai dua puluh rumah, yang, karena dinding belakangnya sangat rapat, biasanya hanya dapat mempunyai ventilasi dari satu arah saja. Di bagian belakang, di dalam blok ini, bisanya terdapat tumpukan sampah atau yang semacamnya, yang kotornya tidak dapat digambarkan di sini. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa blok-blok yang lebih baru dibangun dengan lebih masuk akal dan dipelihara dengan lebih baik, dan bahkan di blok-blok lama, pondok-pondok yang ada tidak terlalu penuh sesak seperti di Manchester dan Liverpool, dimana Birmingham memperlihatkan tingkat kematian yang jauh lebih kecil, bahkan pada waktu terjadinya suatu epidemi, daripada, misalnya, Wolverhampton, Dudle dan Bilston, yang hanya berjarak beberapa mil saja dari kota itu. Pemukiman ruang bawah tanah tidak dikenal di Birmingham, meskipun beberapa ruang bawah tanah disalahgunakan sebagai ruang kerja di beberapa rumah. Rumah-rumah penampungan bagi kaum proletar terdapat gaka banyak di sini, kebanyakan di blok-blok pemukiman (court) di jantung kota. Hampir semuanya terlihat jorok dan berbau, tempat bernaung para pengemis, maling-maling, gelandangan, dan pelacur-pelacur, yang makan, minum, merokok, dan tidur tanpa sedikitpun mengindahkan kenyamanan atau kesopanan dalam suatu atmosfir yang hanya tertanggungkan oleh makhluk-makhluk rendah ini." Keadaan di Glasgow, dalam banyak hal, serupa dengan keadaan di Edinburgh, dengan jalan-jalan sempit berbelok-belok yang sama, dan rumah-rumah tinggi yang sama. Tentang kota ini, artikel di dalam Artisan menyatakan: "Klas pekerja di sini merupakan 78% dari jumlah keseluruhan penduduk (sekitar 300.000 orang), dan hidup di bagian kota yang melampaui kepapaan dan kekotoran ceruk paling rendah di St. Giles dan Whitechapel, daerah Liberties di Dublin, serta daerah kelokan Edinburgh. Ada beberapa tempat seperti itu di jantung kota, di bagian selatan Trongate, di sebelah Barat Saltmarket, di Calton dan di ujung High Street, labirin tanah-tanah atau kelokan yang tak ada habis-habisnya, yang hampir di setiap belokan terdapat blok-blok kecil (court) dan gang-gang buntu yang terbentuk oleh rumah-rumah bobrok yang berventilasi buruk, bertingkat tinggi dan hampir tanpa sumber air bersih. Tempat-tempat ini secara harfiah dikerubuti manusia. Setiap lantai menampung tiga sampai empat keluarga, yang barangkali terdiri dari dua puluh jiwa. Dalam beberapa kasus setiap lanatai disewakan sebagai tempat-tempat tidur di malam hari, sehingga lima belas sampai dua puluh orang dijejalkan, satu di atas yang lainnya, saya tidak dapat mengatakan ditampung, dalam satu ruangan. Distrik ini menjadi tempat bernaung anggota masyarakat yang paling miskin, tersingkir, dan tak berharga, dan dapat dianggap sebagai sumber epidemi yang menakutkan yang, dimulai di sini, menyebarkan kehancuran atas Glasgow." Sekarang mari kita dengar bagaimana J.C. Symons, Komisioner Pemerintah untuk Penyelidikan atas kondisi pengrajin tangan, mengambarkan bagian kota ini: 6) "Saya sudah pernah melihat kesengsaraan dalam tahapnya yang paling buruk baik di sini maupun di dataran benua (Eropa.-pen.), tapi sampai saya melihat keadaan di Glasgow, saya tidak percaya bahwa begitu banyak kejahatan, penderitaan, dan penyakit dapat hidup di suatu negeri beradab. Di rumah-penginapan di daerah bawah, sepuluh, dua belas, terkadang bahkan dua puluh orang dari kedua jenis kelamin, segala umur dan berbagai tingkat ketelanjangan, tidur tanpa kecuali berdesak-desakan di lantai. Tempat-tempat hunian ini biasanya begitu lembab, jorok dan bobrok, sehingga tak seorangpun ingin menyimpan, bahkan, kudanya di situ." "Kelokan Glasgow dihuni oleh jumlah penduduk yang selalu bervariasi antara 15.00 sampai 30.000 jiwa. Wilayah ini seluruhnya terdiri dari gang-gang sempit dan blok-blok kotak dan di tengah-tengah masing-masing blok terdapat tumpukan kotoran. Meskipun penampilan luar wilayah ini begitu menjijikkan, saya sama sekali tidak siap menyaksikan kesengsaraan dan kejorokan yang terdapat di dalamnya. Di beberapa tempat tidur yang kami kunjungi (Kepala Polisi, Kapten Miller dan Symons) kami dapati selapis penuh manusia terkapar di lantai, seringkali lima belas sampai dua puluh orang, beberapa di antaranya berbaju sedangkan sebagian lagi telanjang, laki-laki dan perempuan tanpa kecuali. Tempat tidur mereka hanyalah setumpukan jerami kusut, dicampur dengan beberapa potong kain perca. Hampir tidak ada perabot rumah, dan satu-satunya tanda bahwa tempat ini layak dihuni oleh manusia hanyalah adanya api yang menyala di perapian. Pencurian dan pelacuran merupakan cara hidup (subsisten) yang utama penduduk di sini. Tak seorangpun yang berusaha membersihkan kandang Augea ini, Pandemonium ini, jalinan kejahatan, kotoran, dan wabah penyakit di pusat kota kedua di kerajaan ini. Penyelidikan yang paling lengkap pun terhadap distrik paling miskin di kota-kota lain tidak pernah mengungkapkan sesuatu yang keadaanya separuh dari keadaan di Glasgow ini, baik dalam intensitas kesehatan moral maupun fisik, atau dalam hal kepadatan penduduknya. Sebagian besar rumah di wilayah ini telah dinyatakan bobrok dan tidak layak huni oleh Pengadilan Perburuhan (the Court of Guild), tapi justru tempat inilah yang paling padat penduduknya, sebab, menurut hukum, siapapun yang tinggal di sini tidak boleh dikenakan uang sewa." Alih bahasa: Nur Rachmi |