ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 
JCB Covers

 

 

 

 

 

 
 

ESAI

Semangka dari Borneo, Kesegaran yang Pedih

(Menyambut Kehadiran Jurnal Cerpen Borneo)

Oleh Sainul Hermawan

 

Telah menetas satu lagi media kreasi prosa dari inkubasi sastra Kalimantan Selatan (Kalsel). Namanya Jurnal Cerpen Borneo (JCB). Judulnya, Bulan Belah Semangka. Dalam edisi perdananya (#01/2005), jurnal ini menghimpun tujuh cerita pendek (cerpen), yaitu cerpen karya Sandi Firly (“Bulan Belah Semangka”), M. Fitran Salam (“Hantu Dundun”), A. Setia Budhy (Gadis Dayak”), Putik Samira (“Bintang Laut”), Ali Syamsudin Arsi (“Menolak Bayang”), M. Rifani Djamhari (“Bulan Sabit Musim Kemarau”), dan Harie Insani Putra (“Kita Boleh Menangis”).

Dalam catatan yang ada di halaman daftar isinya, ada penjelasan singkat bahwa jurnal ini bersifat swakelola, direncanakan dapat konsisten terbit empat kali setahun, dan mengedepankan cerpen-cerpen yang eksploratif pada segi tema, bahasa, dan visi.

Pengertian swakelola, menurut Asa dan Sandi, yang melekat pada maklumat itu berarti bahwa jurnal ini dapat “dilahirkan” berkat kemauan para penulisnya untuk urunan sejumlah dana. Mereka adalah manusia yang percaya bahwa seni adalah jalan menuju manusiawi. Mereka juga mungkin percaya bahwa menulis, dalam arti untuk mendialogkan pemikiran dan pengalaman lewat tulisan, merupakan syarat utama yang diperlukan untuk mengenal peradaban meski hanya secara teoretis. Merekalah barangkali sekelompok manusia yang berpegang pada keyakinan bahwa tulisan, dalam hal ini cerpen, adalah pusaka pemikiran.

Kelahiran jurnal ini sangat tampak tergesa-gesa. Konon, menurut A. S. Arsy, “persalinannya” mengalami “pendarahan” yang perih. Mungkin memang harus demikian karena jurnal ini ingin segera memanggil para penulis Kalsel untuk merayakan prosa. Ketergesa-gesaan itu dapat kita lihat pada ketiadaan informasi tentang apa nama penerbit jurnal ini? Di mana alamat redaksinya?

Ketergesa-gesaan dapat pula kita lihat pada uraian biodata penulis yang tidak ditata dengan rapi, teks identifikasi bulan terbit terlupakan (atau memang sengaja tak ditulis karena dianggap tak penting meski juga penting bagi kepentingan yang lain), dan kehadiran nama penulis yang tak menyertakan identitasnya. Penulis tanpa identitas jelas tak pernah ada dalam ruang yang disebut jurnal. Jurnal biasanya hadir dengan semangat untuk membuka diri. Jadi tak perlu sembunyi jika kita masih punya niat untuk dikenal orang lain. Ditambah lagi dengan cerpen-cerpen yang sebagian masih impor dari Cakrawala Radar Banjarmasin Minggu. Menurut salah satu penegelolanya tidak semua cerpen yang termuat dalam JCB pernah dimuat di Radar Banjarmasin. Cerpen yang belum dimuat Radar Banjarmasin adalah karya Fitran, Harie, dan Rifani.

Kenyataan impor ini agak mengingkari hakikat jurnal ini sebagai media baru bagi kreasi seni kata prosa. Sepanjang pengetahuan saya, jurnal alternatif biasanya menampung karya yang mustahil dimuat halaman koran yang terbatas dan melayani publik pembaca yang luas dan tidak jelas. Jurnal biasanya hadir untuk melayani kebutuhan publik pembaca yang lebih terbatas tetapi jelas. Watak eksploratif, seperti dicita-citakan oleh jurnal ini, harus lebih mengemuka.

Meskipun tampil sederhana, jurnal ini menawarkan ruang kreasi yang sangat berharga. Sambil berproses, hal-hal yang belum maksimal perlu diperbaiki. ISSN dan ISBN perlu diusahakan agar memiliki dampak positif bagi citra jurnal ini. Bukankah sesuatu yang pada akhirnya serius sebenarnya sesuatu yang main-main pada mulanya? Konon, listrik tercipta karena T. A. Edison main-main api di gerbong peti kemas bekas. Bahkan banyak manusia-manusia besar terlahir karena bapak-ibu mereka main-main cinta. Mengubah yang marjinal menjadi fenomenal hanyalah soal waktu yang perlu diasah dengan proses, upaya, strategi-strategi yang istiqomah, ajeg, dan bertujuan.

Sebagai sebuah jurnal, JCB seharusnya, selanjutnya, konsisten dengan lay-out, jika memang JCB dimaksudkan sebagai jurnal yang punya cerpen beda warna dengan cerpen Radar Banjarmasin. Pemilihan huruf (fonts) tampaknya perlu dipikirkan. Aspek visual yang menyertai sederet cerpen dalam JCB sebaiknya menjadi satu kesatuan semiotik. Secara semiotika visual, pemilihan huruf untuk edisi perdana ini masih kurang menawarkan efek segar, sesegar ilustrasi semangka pada sampul mukanya. Sampul edisi perdana ini, saya kira, sudah sangat tepat dan memudahkan untuk mempertahankan konsistensi daripada memilih warna yang lain. Putih, semurni hati pecinta seni.

Saya tidak tahu apakah upaya untuk mengembangkan budaya berfikir kritis melalui menulis sastra yang dilakukan oleh kelompok “marjinal” ini menyentuh perhatian aparat pemerintah yang terkait (seperti Dinas Pendidikan, Dinas Seni dan Budaya). Jika tidak, sungguh keterlaluan dan semakin menegaskan bahwa kita tidak terlalu perduli dengan urusan otak dan hati tetapi lebih suka memuja tubuh tanpa “pikiran” dan ruh. Mestinya, penguasa berduit itu, menyambut upaya rakyatnya yang berduit sedikit tetapi mau melambungkan nama banua ini setinggi langit.

Eksistensi JCB ke depan akan menjawab pertanyaan besar “apakah sastrawan Banjar hanya jago bikin puisi?” Keberadaannya, jika ingin lama dan menyejarah, jelas tak bisa semata-mata digerakkan oleh satu sektor sastra: penulis saja. Prosais, esais, apresiator, kolektor, birokrat, pemegang kebijakan publik yang strategis, dan lembaga pendidikan, harus ikut nimbrung, untuk memainkan perannya masing-masing. Satu pintu menunju peradaban telah diciptakan oleh sekelompok pegiat sastra. Selanjutnya terserah Anda mau memasukinya atau, sebaliknya, mencemooh dan tak mempedulikannya. Tetapi, memilih yang pertama barangkali akan lebih mendekatkan “kita” pada rasa kemanusiaan yang perlu terus direnungkan dalam era sumpek seperti sekarang ini.

Pengelola jurnal ini pun perlu “memperluas pergaulan” dengan mengundang penulis lain di luar Kalsel atau Kalimantan untuk menulis di jurnal ini pada edisi berikutnya. Caranya mudah: tulis press release di Kompas, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Republika, Bali Post, atau via Cybersastra.net. Dengan cara ini kita membuka sparing partner yang positif dengan penulis “luar kampung”. Ada titik acuan yang dapat digunakan untuk melihat kekurangan dan kelebihan “kita”. Di samping itu agar publik penulis cerpen Indonesia, bukan Kalsel saja, mempertimbangkan Kalsel sebagai wilayah prosa yang patut diperhitungkan. Siapa tahu kelak kongres cerpen Indonesia, entah yang ke berapa, dapat dilakukan di sini dan para prosais kita dapat bicara dengan penuh keyakinan dan kesetaraan. Sungguh membanggakan, meski tetap harus berendah hati.

Selamat dan salut untuk seluruh penggagas jurnal ini. Semoga jurnal cerpen ini tidak senasib dengan gelandangan yang makan bulan rasa semangka dalam cerpen Sandi. Semoga nasibnya sebahagia Nur Aidah, dalam cerpen Fitran, yang mendapatkan cinta yang diharapkannya. Semoga selalu tampil segar, sesegar suguhan semangka merah pertama. Beberapa hal yang mungkin dapat mewujudkankannya adalah dengan menjauhi beberapa hal negatif (seperti telah disebutkan di atas)  yang menyertai kelahiran JCB perdana ini. Secara internal, segala aspek positif yang menyangkut proses “persalinan” JCB berikutnya perlu dipersiapkan dengan baik. Secara eksternal, publik sastra perlu menunjukkan simpati yang sungguh-sungguh agar peradaban sastra “kita” (terutama untuk prosa) tak terus pedih, perih, menyayat-nyayat hati.

 

Koran Radar Banjarmasin, 19 Juni 2005

URL: http://www.oocities.org/ejabudaya/esai_semangka_dari_borneo.html

e-mail: sainulh@yahoo.com