Ketika saya masih 
                        menempuh pendidikan sarjana di sebuah uni versitas di 
                        Malang, sekitar 1992, saya punya teman dari Pasuruan, 
                        Jawa Timur, yang selalu antusias menceritakan kharisma 
                        KH Muhammad Zaini Abdul Ghani yang akrab dipanggil Tuan 
                        Guru Sekumpul. Waktu itu saya tak begitu tertarik pada 
                        ceritanya karena apa yang diceritakannya belum menjadi 
                        bagian dari pengalaman historis saya. Namun, dari cara 
                        dia bercerita, saya bisa menyimpulkan betapa emosinya 
                        intim dengan beliau. Pendek kata, dia begitu terpesona 
                        dan selalu terinspirasi untuk meneladani perilaku, 
                        sikap, cara pandang, dan tutur katanya.
                        Ketika ada kontroversi goyang ngebor Inul Daratista, 
                        saya nun jauh di Jawa membaca nama beliau di majalah 
                        nasional dan saya semakin menyadari betapa sempit 
                        pengetahuan saya tentang figur ini. Figur yang 
                        menggemparkan Kalsel bahkan Indonesia dengan caranya 
                        sendiri. Cara yang sama sekali tak populer.
                        Di tengah rencana penampilan goyang ngebor Inul di 
                        empat kota di Kalsel yang sempat dikritik sebagian 
                        ulama, bahkan kemudian diharamkan oleh MUI Kalsel, MUI 
                        Kabupaten Tanah Laut dan Kotabaru, artis asal Pasuruan, 
                        Jatim, itu justru mendapat simpati dari Guru Sekumpul. 
                        Inul mendapat kehormatan menjadi anak angkatnya. Saat 
                        turut hadir pada pengajian rutin ibu-ibu di Kompleks 
                        Sekumpul, Martapura, Sabtu (1/3/2003), setelah menginap 
                        di kediaman keluarga beliau, jamaah terperanjat melihat 
                        Inul hadir dan duduk berdampingan dengan keluarga Tuan 
                        Guru, bahkan didoakan agar tetap tabah dan introspeksi 
                        (Gatra, 4 Maret 2003). Sikapnya yang tak populer 
                        ini, setidaknya mau berseberangan dengan sikap MUI 
                        setempat, semakin membuat saya penasaran pada 
beliau.
                        Apalagi ketika studi ke Banjarmasin, saya punya kawan 
                        dari Sumenep, Madura. Kawan waktu kuliah di pascasarjana 
                        sastra UGM, yang rajin kirim SMS dan titip salam takzim 
                        kepada Guru Sekumpul. Kini tak ada lagi kesempatan untuk 
                        menyampaikannya. Semoga lewat tulisan ini salam murid 
                        beliau yang berada nun jauh di seberang lautan dapat 
                        diterima dengan baik oleh keluarga. Ketakziman orang 
                        kepada beliau mulai dari tempat terdekat sampai terjauh, 
                        mulai dari rakyat melarat sampat pejabat tinggi, mulai 
                        dari orang rasional sampai emosional, mulai dari lokal 
                        sampai nasional, adalah fakta betapa beliau mampu 
                        menembus batas geografis, psikologis, dan sosiologis 
                        manusia. 
                        Saya baru benar-benar mengenal kharisma Guru Ijai di 
                        sini (sekitar delapan bulan) melalui foto-foto beliau 
                        yang dipajang banyak orang di tempat usaha mereka: 
                        wartel, layanan fotokopi, warung makan, salon, toko 
                        kecil dan besar. Dengan melihat bagaimana foto beliau 
                        disikapi sebagian masyarakat Banjar, saya dapat 
                        merasakan betapa kharismatiknya beliau. Konon dari balik 
                        foto-foto itu, ada banyak kisah kehidupan yang dapat 
                        dipelajari. Sampai sejauh ini saya belum tahu pasti, 
                        apakah pernah ada studi antropologi yang komprohensif 
                        mengenai hal ini.
                        Bukan hanya lewat gambar, tetapi juga lewat kabar 
                        yang saya dengar, betapa merasuk dan meresapnya petuah 
                        beliau sehingga pendengar setia dakwahnya tak kuasa 
                        untuk tak menyitir nasihat tatkala mereka 
                        memperbincangkan dan mencari solusi bagi persoalan 
                        hidup. Meski tak dapat menjadi inspirator semua orang, 
                        beliau telah menunjukkan kapasitasnya sebagai 
                        dinamisator masyarakatnya dengan cara yang penuh 
                        kelembutan berperilaku, kesantunan berbahasa, menjauhi 
                        ambisi sesaat dan sesat, dan selalu menebarkan senyum 
                        kedamaian. Kata kabar yang saya dengar, beliau selalu 
                        menegaskan pentingnya penegakan praktik akhlak yang 
                        konkret mulai dari akhlak makan, berbicara, tidur, 
                        berkeluarga, menyikapi hiburan, dan sebagainya.
                        Cerita orang tentang beliau dan bagaimana mereka 
                        memperlakukan foto beliau membuat saya semakin penasaran 
                        dan ingin hadir sekali saja dalam pengajiannya yang 
                        konon tidak pernah sepi bahkan selalu kolosal. Sayang, 
                        keinginan itu mustahil, sebab pada 10 Agustus 2005 
                        beliau bukan hanya kembali dari Singapura ke Martapura. 
                        Tetapi sekaligus kembali ke pangkuan Sang Maha Memiliki 
                        hidup ini. Beliau meninggalkan kita selamanya. 
                        Innalillahi wa innailaihi roji’un. Saya dapat 
                        merasakan duka lara murid setia dan keluarganya. Semoga 
                        semuanya diberi kekuatan, ketabahan, kesabaran, 
                        ketajaman pikiran untuk menempatkan suasana duka ini. 
                        Sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar meratapi 
                        kepergian beliau, adalah kembali tegar dan berusaha 
                        untuk melanjutkan visi dan misi perjuangan beliau yang 
                        belum selesai.
                        Salah satu sikap tubuh beliau yang perlu kita, 
                        sebagai murid beliau, teladani adalah cara mengelola 
                        urat raut wajah. Dari banyak foto beliau yang saya lihat 
                        di banua ini, meskipun beliau adalah laki-laki, 
                        kesan maskulin yang keras, sangar, dan bengis, sama 
                        sekali tak akan kita temukan pada paras beliau yang 
                        teduh, sejuk, dan menenteramkan hati.
                        Saya yakin, meski saya belum pernah bertemu beliau, 
                        beliau berdakwah dengan sikap wajah yang pasti 
                        didasarkan pada keyakinan bahwa wajah yang teduh dan 
                        penuh senyum adalah sarana ibadah yang sangat sederhana, 
                        berharga, penuh pahala, tetapi masih jarang dilakukan 
                        orang.
                        Cara beliau menyikapi kontroversi Inul menyiratkan 
                        keteladanan untuk mengingatkan dua kubu yang 
                        berseberangan, yaitu antara Front Pecinta Inul dan Front 
                        Pembela Iman. Sama-sama FPI-nya tetapi beda 
                        kepentinganya. Sama-sama Islamnya tetapi beda sikap 
                        religiusnya. Dengan caranya sendiri, Guru Sekumpul 
                        mendakwahkan cara menyikapi kesesatan. Sikap Guru 
                        Sekumpul menyiratkan pesan bahwa orang sesat itu jangan 
                        dimarahi, dibenci, dikucilkan, diintimidasi, 
                        ditakut-takuti, didiskriminasi, apalagai 
                        dikriminalisasi, jika si sesat itu memang ingin dibantu 
                        keluar dari kesesatannya. Bukankah orang sesat itu juga 
                        manusia? Orang yang tersesat harus disentuh sisi 
                        batinnya yang paling lembut agar mau mengubah diri dan 
                        kembali ke jalan yang benar.
                        Beliau mampu menempatkan dengan baik bahwa kebencian 
                        pada kesesatan bukan berarti juga membenci manusia yang 
                        sesat itu. Kita harus benci judi, tetapi penjudi sebagai 
                        manusia harus tetap digauli secara wajar dan kalau bisa 
                        kita ajak kembali ke perilaku hidup yang lebih baik. 
                        Kalau tidak bisa, tugas manusia hanya menyampaikan dan 
                        hidayah keimanan itu adalah hak prerogatif Allah 
SWT.
                        Demikian pula ketika Guru Sekumpul menyikapi 
                        kontroversi Aruh Ganal. Dalam makalah Ninuk 
                        Kleden-Probonegoro yang berjudul The Mamanda Theater and 
                        the Redefinition of the Banjar Identity (2002), dia 
                        menulis begini: Guru Ijai advised the Governor and 
                        the organizing committee on the convention: ‘Aruh Ganal 
                        Positif Asalkan Jangan Bahiri-hirian’. Guru Ijai blessed 
                        the grand convention as long as there was no jealousy 
                        among the people. Bahiri-hirian means jealousy among 
                        various groups. For example, between Banjar people 
                        living outside Kalimantan (who were being asked for 
                        their contribution of ideas) and those living in 
                        Banjarmasin; between those sitting and not sitting in 
                        the organizing committee; between those who consider 
                        themselves as indigenous Banjar people and those who are 
                        not indigenous Banjar people.
                        Dari kutipan tersebut, kita bisa menangkap sikap 
                        hidup beliau yang selalu menekankan pentingnya 
                        silaturahim, kesatuan, persatuan, kerukunan, perdamaian, 
                        keadilan, keseimbangan dengan cara menghindari sifat iri 
                        dan dengki.
                        Kisah keteladanan beliau yang juga sempat saya dengar 
                        dan saya ingat terus adalah sikap hidupnya yang 
                        sederhana dan tidak berkenan berlebihan. Bahkan beliau 
                        tidak ragu minta maaf kepada muridnya, tatkala beliau 
                        merasa ada keinginan tulus mereka tak dapat beliau 
                        penuhi. Misalnya, dalam peristiwa menjelang haulan 
                        ke-230 Almarhum Assyekh Assayid Muhammad bin Abdul Karim 
                        Al Qadiry Al Hasani Assamman Al Madany atau Syekk 
                        Samman. Konon, Guru Ijai mendapat tawaran sumbangan dari 
                        umatnya baik berupa uang, beras, sapi maupun lauk-pauk 
                        untuk haulan itu. Tetapi beliau menolak dengan cara yang 
                        cukup santun, dengan mengatakan: "Saya minta maaf, 
                        banyak yang ingin menyumbang untuk haulan Syekh Samman 
                        ini, tetapi semuanya sudah mencukupi." (BPost, 
                        30/03/1998).
                        Dengan cara meneladani yang diajarkan beliau baik 
                        lisan maupun tindakan, adalah alternatif untuk 
                        memposisikan kharisma dan kenangan tentang beliau secara 
                        proporsinal, tidak emosional, dan terhindar dari 
                        pengkultusan. Upaya beliau mencari pengobatan sampai ke 
                        luar negeri, secara tak langsung menyiratkan pesan bahwa 
                        beliau juga bisa berada pada posisi serupa dengan mereka 
                        yang telah merasa menemukan penyembuhan Allah SWT 
                        melalui perantaraan beliau.
                        Warisan beliau yang sangat berharga bagi kita, murid 
                        setianya, adalah keteladanan sikap beliau yang sabar, 
                        terbuka, inklusif, simpatik, sederhana, menyenangkan, 
                        menjaga tutur katanya, dan selalu ringan tangan membantu 
                        menyelesaikan masalah yang dihadapi muridnya. Meski 
                        beliau bukan inspirasi bagi seluruh orang Kalimantan 
                        ataupun Indonesia, beliau telah menunjukkan bagaimana 
                        cara go regional dan go national dengan 
                        cara akhlakul karimah, bukan dengan cara yang 
                        penuh muslihat. Sikap ini yang harus selalu kita kenang 
                        dan lakukan. Innalillahi wa innailaihi 
                        roji’un.
                        Dosen PBSID FKIP Unlam, Tinggal di 
                        Banjarmasin
e-mail: sainulh@yahoo.com