Puisi
Air Mata Terakhir untuk Gie
Cerpen:
F. As’ad
Kutangkap semua yang melayang tentangmu, kurangkum dalam bakul
memoriku, kugerai perlahan menjadi puisi air mata, kemudian ku
persembahkan untukmu. Karena engkau pernah hadir.
Gie, Aku sungguh tak
pernah lupa saat kau pertama kali menginjakkan kaki di halaman
hatiku. Saat aku hampir mampus di kunyah sepi, kau
menghampiriku. Kau datang dengan sejuta cerita dan ceria yang
kau tumpahkan semua di depan mukaku. Kau datang dengan sejuta
tawa dan canda yang tidak pernah habis aku lahap. Aku sangat
mengagumimu.
Aku juga takkan lupa
saat kau bercerita tentang tangis bisu anak jalanan yang
mengais nafasnya di terik aspal. Tentang asap knalpot dan
parfum yang merobek ozon. Tentang jiwa jiwa yang mabuk di
ujung malam dalam pesta. Kau bercerita tentang langit yang
berkabut. Tentang peradaban yang serba absurd. Tentang lalu
lintas yang semrawut. Tentang
wajah negeri yang kusut. Tentang kehidupan urban yang
kalang kabut. Tentang dunia yang semakin sekarat dan keriput.
Tentang…
Kau selalu mempunyai
cerita, dan akupun selalu siap melahapnya. Karena aku sangat
mencintaimu.
“Gie…” Sapaku
ketika kulihat Yahoo Messengermu menyala.
“Hadir…!”
Kebiasaanmu setiap aku sapa. Entah, padahal kita hanya
berjabat tangan di awan, tapi aku merasa telah lama mengenalmu.
Sungguh aneh!
“Lagi ngapain kok
lama baru di jawab…?”
“lagi baca buku
yang baru aku beli tadi siang” Aku seakan mendengar tawa
ceriamu, melihat senyum dan binar matamu. Ingin rasanya aku
menarikmu dari anganku dan kemudian menghadirkanmu dengan
paksa di hadapanku. Arrrgh!
“Buku apa, Gie?”
“Novel karangan
Susanna Tamaro. Judulnya Va’ ove Ti Porta Il Cuore”
“Apa tuh?”
“Artinya, Pergilah
Kemana Hati Membawamu”
“Wow, Keren!”
“Kelak, di saat
begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu
jalan mana yang harus kau ambil. Janganlah memilihnya dengan
asal saja. Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah
nafas dalam dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau
bernafas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apapun
mengalihkan perhatianmu. Tunggulah, dan tunggulah lebih lama
lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.
Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah kemana
hati membawamu”
“Wow, itu untukku
yah?” Pede!
“Itu
kutipan novel tersebut”
“Oooo”
Hm, aku salut
dengan kegilaanmu dengan sastra, walau kamu mengaku sastra
bikin imajimu liar dan juga bikin otakmu sedikit error.
Dasar!
“Pernah baca
bukunya Seno Gumira Adjidarma yang judulnya Sepotong Senja
Untuk Pacarku” Tanyamu sesaat setelah terdiam.
“Belum” Kuakui
aku begitu blo’on tentang sastra.
Kemudian kamu
bercerita tentang Sukab yang berusaha mencuri senja,
memotongnya sebesar ukuran postcard untuk dipersembahkan
kepada pacarnya.
“Aku tidak mampu
memberikan senja untukmu” Godaku.
“Aku tidak suka
senja. Aku suka matahari dan pelangi” Kamu memberikan simbol
senyum di massagemu. Akupun
tersenyum.
“Akan kucungkil
mentari dengan jemari, kemudian kupersembahkan untukmu. Akan
kutambah lingkar pelangi, kemudian kukalungkan ke lehermu”
“Wow, hebat!”
Aku hanya bisa
tersenyum di depan komputer. Soalnya yang aku tulis tadi
adalah puisi jiplakan.
“Kamu juga lagi
ngapain, Yo?”
“Lagi dengerin
lagunya Pistol lan Kembang. Judulnya Ojo Mewek”
“Ih, lagu apa tuh.
Lagu jawa yah? Belum pernah dengar”
“Masa’ sih
gak pernah dengar?”
“Iya”
Aku ngakak sendiri
di depan komputer.
“Itu Guns ‘n
Roses, Don’t Cry”
“Huh, dasar!”
“Kena, loe! Ha..ha…ha…”
“Hi…hi…hi…”
Gie, aku menyukai
semua tentangmu. Kau menyentuh hidupku dengan cara yang beda.
Walau kita bertemu hanya lewat hamburan huruf-huruf dari
jari-jari yang mematuk di keyboard, tapi aku mendapatkan
sesuatu yang istimewa di sana. Kedengarannya sangat aneh. Tapi,
bukankah Kahlil Ghibran Dan May Ziadah pun merajut rasa saat
keduanya belum pernah berjumpa? Seperti katamu, cinta itu
irrasional. Cinta itu absurd. Tak butuh ruang tak butuh
definisi. Walau kata sebagian orang cinta itu seperti tai
kucing. Asem!
Jujur, bersamamu
seperti tak ada mendung yang mampu bergelayut. Karena kamu
selalu mampu menyibaknya dengan caramu. Tapi setelah beberapa
saat kebersamaan kita, ada nyeri yang menusuk pelan. Engkau
yang terpenjara di ruang maya ternyata sangat mewah untuk aku
petik dengan tangan rapuhku. Aku seperti kecoak tolol yang
merindukan matahari.
Aku memutuskan untuk
keluar dari bayanganmu. Tapi itu tak mudah. Semua tentangmu
telah menancap kuat di biji mataku. Di ubun ubunku. Tapi aku
harus bisa keluar, Gie. Harus! Kenyataan bahwa kamu adalah
kembang mewah yang tak mungkin bisa aku petik dengan tangan
kerdilku membuat nyaliku melorot seketika dan aku memilih
untuk mengundurkan diri dari percaturan memperebutkan hatimu.
Aku tidak mempunyai modal apapun untuk dapat mengatrol harga
diriku untuk mampu berdiri tegar di hadapan orang tuamu dan
kemudian berkata “Pak, izinkan saya mempersunting putrimu”
Arrgh!
Dengan
nyeri yang mengigit-gigit aku memberanikan diri mengirimkan
e-mail perpisahan untukmu. Belum sempat kusend e-mail
yang akan aku kirim, aku sudah menerima e-mail yang serupa
darimu. Selamat tinggal,
Tyo.
Tyo, ijinkan Gie
pergi. Gie tidak bisa mengatakannya sekarang. Biarlah waktu
yang menjawab teka-teki ini dan membawanya ke hadapanmu. Suatu
saat kita juga akan saling melupa, dan kitapun merayap di
dunia masing-masing. Maafkan aku.
Anggie
Membingungkan!
Sebuah mixer besar
mengaduk-aduk isi kepalaku. Seribu pertanyaan yang tak mampu
kujawab meraung-raung memenuhi tengkorak kepalaku. Kenapa kamu
tiba-tiba ingin pergi, Gie? Aku kemudian menekatkan diri
datang ke kotamu. Menemuimu. Sebuah kenyataan pahit terpaksa
kutelan. Kamu telah menikah dengan bule kaya dua hari
yang lalu. Inikah alasan kepergianmu, Gie? Akupun kemudian
pergi ke tempat Pingkan, sahabatmu. Aku hanya mematung tak
bernyawa ketika pingkan bilang “Dia tidak pernah serius, Yo”
Gie, ternyata kamu
tidak pernah menganggapku ada. Aku hanyalah bayang bayang sepi
bagimu. Tapi kenapa kamu memberiku mimpi? Aku takut bermimpi.
Karena banyak dari mimpiku yang patah. Ah, aku benar benar
hanya kecoak dungu yang sekedar numpang lewat di celah celah
hidupmu. Padahal aku begitu mencintaimu dengan seluruh nafasku.
Kalaupun aku pernah ingin mengucapkan selamat tinggal, aku
tidak berniat untuk benar benar pergi. Aku hanya butuh sedikit
waktu untuk menganyam kuda semberaniku untuk dapat membawamu
terbang mengikuti jejak jejak awan. Terbang mencungkil mentari
dengan jemari kemudian
mempersembahkannya untukmu. Seperti janjiku.
Air merayap pelan di
kulit wajah. Cengeng! Tidak masalah. Laki-lakipun butuh
menangis.
Akupun pulang dengan
tubuh melayang antara bumi dan awan. Membawa nafas yang masih
tersisa. Kepedihan kembali mengalun.
Kisah
tentangmu berakhir di
sini. Selamat tinggal, Gie.
Aku
Pulang...Tanpa dendam...Kuterima kekalahanku...jreng..jreng...
Pengamen
sialan! Hatiku semakin berdarah darah. Busyeett!
***
Sepi kembali
mengoyak kejam. Berada dalam kamar kos ukuran 3x4 membuat aku
semakin naif dari panggung dunia yang besar. Tak ada cinta,
tak ada kawan.Menyesakkan. Menyebalkan.
Aku hanya terpaku,
mendekap bantal, menatapi guratan guratan kapur di dinding
kamar sambil menyigi memori-memori lapuk. Tiba tiba mataku
hinggap di potret ayah dan bunda yang tersenyum jenaka ke
arahku. Ku dengar ayah berbisik “Nih, lihat! Ayah
mendapatkan bundamu yang baik hati dan shalehah tanpa pacaran”
Aku merasa tersindir.
Maafkan hambaMu Tuhan yang sempat terlupa bahwa ajal, rizki
dan jodoh hanya di tanganMu. Kelak, jika aku ingin mencintai
satu di antara mereka, bukan sekedar karena ingin mendekap dan
memilikinya. Tapi, semoga aku mencintainya karena kerena
kecintaanku kepadaMu. Bersamanya merayapi sisa usia dalam
mengais ridhaMu.
Ya
Allah, tetapkanlah aku di jalanMu.
Mentari
hatiku kembali tersenyum. Ada damai yang menyusup pelan. Tak
ada lagi sepi. Tak ada lagi duri.
(Sepotong cinta untuk jenderalku yang mengajari aku menjadi
orang gila yang ideologis, Pengkhianatyangtelahmusnah”.
Untuk kawanku yang kutemui di ujung persimpangan pencarianku,
tempat berbagi kegilaan, yang namanya ngotot banget ingin di
cantumkan, Rain Fajar. Jar, Hidup adalah teka teki,
jawablah!J Untuk bintangku yang tak pernah kulihat tapi selalu ada, Kamprinkyangnamanyacinta.
Luv u! Untuk saudara yg saya temui saat aku gak punya
siapa siapa di kota ini, Sfirly, makasih
telah mengajarkan aku berlari. Untuk semuanyah keep Revolt Dah!)
|