ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

Puisi Air Mata Terakhir untuk Gie

Cerpen: F. As’ad

 

            Kutangkap semua yang melayang tentangmu, kurangkum dalam bakul memoriku, kugerai perlahan menjadi puisi air mata, kemudian ku persembahkan untukmu. Karena engkau pernah hadir.

            Gie, Aku sungguh tak pernah lupa saat kau pertama kali menginjakkan kaki di halaman hatiku. Saat aku hampir mampus di kunyah sepi, kau menghampiriku. Kau datang dengan sejuta cerita dan ceria yang kau tumpahkan semua di depan mukaku. Kau datang dengan sejuta tawa dan canda yang tidak pernah habis aku lahap. Aku sangat mengagumimu.

            Aku juga takkan lupa saat kau bercerita tentang tangis bisu anak jalanan yang mengais nafasnya di terik aspal. Tentang asap knalpot dan parfum yang merobek ozon. Tentang jiwa jiwa yang mabuk di ujung malam dalam pesta. Kau bercerita tentang langit yang berkabut. Tentang peradaban yang serba absurd. Tentang lalu lintas yang semrawut. Tentang   wajah negeri yang kusut. Tentang kehidupan urban yang kalang kabut. Tentang dunia yang semakin sekarat dan keriput. Tentang…

            Kau selalu mempunyai cerita, dan akupun selalu siap melahapnya. Karena aku sangat mencintaimu.

            “Gie…” Sapaku ketika kulihat Yahoo Messengermu menyala.

            “Hadir…!” Kebiasaanmu setiap aku sapa. Entah, padahal kita hanya berjabat tangan di awan, tapi aku merasa telah lama mengenalmu. Sungguh aneh!

            “Lagi ngapain kok lama baru di jawab…?”

            “lagi baca buku yang baru aku beli tadi siang” Aku seakan mendengar tawa ceriamu, melihat senyum dan binar matamu. Ingin rasanya aku menarikmu dari anganku dan kemudian menghadirkanmu dengan paksa di hadapanku. Arrrgh!

            “Buku apa, Gie?”

            “Novel karangan Susanna Tamaro. Judulnya Va’ ove Ti Porta Il Cuore”

            “Apa tuh?”

            “Artinya, Pergilah Kemana Hati Membawamu”

            “Wow, Keren!”

            “Kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil. Janganlah memilihnya dengan asal saja. Tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah nafas dalam dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu. Tunggulah, dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah kemana hati membawamu”

            “Wow, itu untukku yah?” Pede!

            “Itu kutipan novel tersebut”

            “Oooo”

            Hm, aku salut dengan kegilaanmu dengan sastra, walau kamu mengaku sastra bikin imajimu liar dan juga bikin otakmu sedikit error. Dasar!

            “Pernah baca bukunya Seno Gumira Adjidarma yang judulnya Sepotong Senja Untuk Pacarku” Tanyamu sesaat setelah terdiam.

            “Belum” Kuakui aku begitu blo’on tentang sastra.

            Kemudian kamu bercerita tentang Sukab yang berusaha mencuri senja, memotongnya sebesar ukuran postcard untuk dipersembahkan kepada pacarnya.

            “Aku tidak mampu memberikan senja untukmu” Godaku.

            “Aku tidak suka senja. Aku suka matahari dan pelangi” Kamu memberikan simbol senyum di massagemu.  Akupun tersenyum.

            “Akan kucungkil mentari dengan jemari, kemudian kupersembahkan untukmu. Akan kutambah lingkar pelangi, kemudian kukalungkan ke lehermu”

            “Wow, hebat!”

            Aku hanya bisa tersenyum di depan komputer. Soalnya yang aku tulis tadi adalah puisi jiplakan.

            “Kamu juga lagi ngapain, Yo?”

            “Lagi dengerin lagunya Pistol lan Kembang. Judulnya Ojo Mewek

            “Ih, lagu apa tuh. Lagu jawa yah? Belum pernah dengar”

            Masa’ sih gak pernah dengar?”

            “Iya”

            Aku ngakak sendiri di depan komputer.

            “Itu Guns ‘n Roses, Don’t Cry”

            “Huh, dasar!”

            “Kena, loe! Ha..ha…ha…”

            “Hi…hi…hi…”

            Gie, aku menyukai semua tentangmu. Kau menyentuh hidupku dengan cara yang beda. Walau kita bertemu hanya lewat hamburan huruf-huruf dari jari-jari yang mematuk di keyboard, tapi aku mendapatkan sesuatu yang istimewa di sana. Kedengarannya sangat aneh. Tapi, bukankah Kahlil Ghibran Dan May Ziadah pun merajut rasa saat keduanya belum pernah berjumpa? Seperti katamu, cinta itu irrasional. Cinta itu absurd. Tak butuh ruang tak butuh definisi. Walau kata sebagian orang cinta itu seperti tai kucing. Asem!

            Jujur, bersamamu seperti tak ada mendung yang mampu bergelayut. Karena kamu selalu mampu menyibaknya dengan caramu. Tapi setelah beberapa saat kebersamaan kita, ada nyeri yang menusuk pelan. Engkau yang terpenjara di ruang maya ternyata sangat mewah untuk aku petik dengan tangan rapuhku. Aku seperti kecoak tolol yang merindukan matahari.

            Aku memutuskan untuk keluar dari bayanganmu. Tapi itu tak mudah. Semua tentangmu telah menancap kuat di biji mataku. Di ubun ubunku. Tapi aku harus bisa keluar, Gie. Harus! Kenyataan bahwa kamu adalah kembang mewah yang tak mungkin bisa aku petik dengan tangan kerdilku membuat nyaliku melorot seketika dan aku memilih untuk mengundurkan diri dari percaturan memperebutkan hatimu. Aku tidak mempunyai modal apapun untuk dapat mengatrol harga diriku untuk mampu berdiri tegar di hadapan orang tuamu dan kemudian berkata “Pak, izinkan saya mempersunting putrimu” Arrgh!

            Dengan nyeri yang mengigit-gigit aku memberanikan diri mengirimkan e-mail perpisahan untukmu. Belum sempat kusend e-mail yang akan aku kirim, aku sudah menerima e-mail yang serupa darimu. Selamat  tinggal, Tyo.

            Tyo, ijinkan Gie pergi. Gie tidak bisa mengatakannya sekarang. Biarlah waktu yang menjawab teka-teki ini dan membawanya ke hadapanmu. Suatu saat kita juga akan saling melupa, dan kitapun merayap di dunia masing-masing. Maafkan aku.

          Anggie

            Membingungkan!

            Sebuah mixer besar mengaduk-aduk isi kepalaku. Seribu pertanyaan yang tak mampu kujawab meraung-raung memenuhi tengkorak kepalaku. Kenapa kamu tiba-tiba ingin pergi, Gie? Aku kemudian menekatkan diri datang ke kotamu. Menemuimu. Sebuah kenyataan pahit terpaksa kutelan. Kamu telah menikah dengan bule kaya dua hari yang lalu. Inikah alasan kepergianmu, Gie? Akupun kemudian pergi ke tempat Pingkan, sahabatmu. Aku hanya mematung tak bernyawa ketika pingkan bilang “Dia tidak pernah serius, Yo”

            Gie, ternyata kamu tidak pernah menganggapku ada. Aku hanyalah bayang bayang sepi bagimu. Tapi kenapa kamu memberiku mimpi? Aku takut bermimpi. Karena banyak dari mimpiku yang patah. Ah, aku benar benar hanya kecoak dungu yang sekedar numpang lewat di celah celah hidupmu. Padahal aku begitu mencintaimu dengan seluruh nafasku. Kalaupun aku pernah ingin mengucapkan selamat tinggal, aku tidak berniat untuk benar benar pergi. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk menganyam kuda semberaniku untuk dapat membawamu terbang mengikuti jejak jejak awan. Terbang mencungkil mentari dengan jemari  kemudian mempersembahkannya untukmu. Seperti janjiku.

            Air merayap pelan di kulit wajah. Cengeng! Tidak masalah. Laki-lakipun butuh menangis.

            Akupun pulang dengan tubuh melayang antara bumi dan awan. Membawa nafas yang masih tersisa. Kepedihan kembali mengalun.

Kisah tentangmu berakhir  di sini. Selamat tinggal, Gie.

Aku Pulang...Tanpa dendam...Kuterima kekalahanku...jreng..jreng...

Pengamen sialan! Hatiku semakin berdarah darah. Busyeett!

 

***

            Sepi kembali mengoyak kejam. Berada dalam kamar kos ukuran 3x4 membuat aku semakin naif dari panggung dunia yang besar. Tak ada cinta, tak ada kawan.Menyesakkan. Menyebalkan.

            Aku hanya terpaku, mendekap bantal, menatapi guratan guratan kapur di dinding kamar sambil menyigi memori-memori lapuk. Tiba tiba mataku hinggap di potret ayah dan bunda yang tersenyum jenaka ke arahku. Ku dengar ayah berbisik “Nih, lihat! Ayah mendapatkan bundamu yang baik hati dan shalehah tanpa pacaran” Aku merasa tersindir.       

           Maafkan hambaMu Tuhan yang sempat terlupa bahwa ajal, rizki dan jodoh hanya di tanganMu. Kelak, jika aku ingin mencintai satu di antara mereka, bukan sekedar karena ingin mendekap dan memilikinya. Tapi, semoga aku mencintainya karena kerena kecintaanku kepadaMu. Bersamanya merayapi sisa usia dalam mengais ridhaMu.

Ya Allah, tetapkanlah aku di jalanMu.

Mentari hatiku kembali tersenyum. Ada damai yang menyusup pelan. Tak ada lagi sepi. Tak ada lagi duri.


(Sepotong cinta untuk jenderalku yang mengajari aku menjadi orang gila yang ideologis, Pengkhianatyangtelahmusnah”. Untuk kawanku yang kutemui di ujung persimpangan pencarianku, tempat berbagi kegilaan, yang namanya ngotot banget ingin di cantumkan, Rain Fajar. Jar, Hidup adalah teka teki, jawablah!
J Untuk bintangku yang tak pernah kulihat tapi selalu ada, Kamprinkyangnamanyacinta. Luv u! Untuk saudara yg saya temui saat aku gak punya siapa siapa di kota ini, Sfirly, makasih telah mengajarkan aku berlari. Untuk semuanyah keep Revolt Dah!)

Sejak 5 Oktober 2005