ISI
Salam
Kuliah
Buku
Esai
Cerpen
Makalah
Berita

Links

 

Makalah Mahasiswa

Media

Pengajaran Sastra

Merujuk Website

10 Cerpen

KCPM 2005

(PILIH YANG TERBAIK)

 
 

CERPEN KCPM 2005

 

Tentang Putih dan Kekasihnya

Cerpen: Isnin Ermawati

Mentari merayap turun mengenai genteng rumah lalu pergi ke bawah. Melayang-layang, sinar emasnya jatuh jadi noktah. Pagi ini mataku sulit terbuka, sebenarnya malas yang membuatku sulit untuk bangun dan segera mencuci muka. Tapi “putih” datang lewat jendela, meloncat dan menyergap urat syarafku. Segera aku bangun dan menyapanya. “Selamat pagi?” Kami saling sapa dan hanya dia satu-satunya yang setia mengucapkan selamat pagi untukku. Usai itu aku segera membenahi diri juga alas tidur yang susunannya sudah tak lagi teratur. Bantal dan guling saling acak bagai lukisan abstrak, itulah kadang caraku tidur. Acak tapi segera kemudian aku selalu memiliki kebiasaan untuk segera merapikan. Seperti awalnya begitulah akhirnya.

            “Aku berangkat dulu, jaga dirimu baik-baik,” ucapku keluar meninggalkan senyum kepadanya.

“Tunggu dulu!” cegahnya.

            “Kenapa?”

            “Sepertinya hari ini mentari akan sangat terik sekali, aku takut!!!” keluhnya dengan wajah yang lesu.

            “Begitukah?” aku mengedar pandang ke segala arah, di atas matahari masih berawan, tapi tak apalah. “Sebentar” jawabku sambil lari masuk ke dalam dan segera membuatkan tenda untuknya. “Selesai, semoga kulitmu tidak terbakar oleh sengatan matahari. “Aku berangkat dulu ya?” kukecup keningnya, betapa mesra dia tersenyum padaku. Dan aku sangat senang dengan aroma harum tubuhnya.

            “Cepat pulang, aku menunggumu?” ucapnya setengah berteriak.

            “Ya, pasti!!!” begitu kepastian yang selalu kuberikan karena aku sangat mencintainya. Saat sepi merasuk dalam tubuhku, dia mengeluarkan sepi dengan bahasa yang wangi. Ketika sakit rinduku datang menyerang, dia datang membawakan obat penenang. Dan dia telah meniduri jantungku seperti aku menidurkan lelah diharum wangi tubuhnya.

 

            ***

            Untung jalanan tidak macet. Aku bisa pulang segera. Dia telah menunggu seperti biasa di samping pintu, berdiri mendekati jendela. Dia tersenyum, seakan ada kata yang ingin diucapkannya. Dan aku sudah tahu, dia akan menghiburku. Memberikan wangi tubuhnya agar aku bisa kembali nyaman sedia kala. Dan sudah biasa bagi siapa saja ketika pulang bekerja, terlalu banyak celah untuk membuat tubuh menjadi lelah. Urusan kantor, kawan atau banyak lagi lainnya.

            “Kau lelah?” tanyanya. “Ya. Tentu saja. Bagaimana dengan kau?”

            “Tidak? Berkat tenda yang kau buat tadi pagi.”

            “Rendi, aku kehausan?” keluhnya kemudian.

            “Ups…aku lupa menghidangkannya sejak pagi. Maaf…!!!”

            “Hmm…!” dia tersenyum melihatku kelabakan dari celah jendela. Segera kuambil gembor yang berisi air.  Kuberikan padanya, dia sangat kehausan. Setelah itu dia menari-nari sambil bernyanyi. Aku gembira, tertawa, suka dan bahagia. “Kau senang?”

            “Ya, sekarang rasa hausku telah hilang. Terima kasih Rendi?” ucapnya mengerling manja.

            “Nah.. sekarang aku ingin mandi, dan kau tunggu saja di situ.” Ucapku kembali masuk ke dalam rumah.            

            Mentari mulai menjadi lembayung senja. Langit mulai tertutupi arakan awan berwarna jingga dan dingin mulai menusuk tulang sum-sum tanda malam mulai menjelang tiba. Usai mandi, aku menghempaskan tubuhku di kursi yang empuk. Membaca majalah dan menghirup teh hangat yang paling kusuka ketika lelah.

            “Ren? Sebesar apa cintamu padaku?” Tiba-tiba suara itu kudengar. Suara di balik jendela.

            “Kau?”

            “Ya, aku. Seberapa besar cintamu padaku?”

            “Mengapa kau bertanya seperti itu?”

            “Tidak, aku hanya ingin mengetahui dan mendengarnya langsung dari bahasa hatimu?” ucapnya tersenyum manja.

            “Hmm…besarnya melebihi semua yang ada di dunia ini?” jawab Rendi.

            “Benarkah?” dia terkagum hampir tak mempercayai.

            “Tentu. Aku ingin malam ini kau menemani tidurku dengan sebuah nyanyian.”

            “Aku? Bernyanyi?”

            “Ya. Aku ingin kau bernyanyi untukku.”

            “Baiklah. Sekarang pergilah kau ke kamarmu. Desir angin akan mengantarkan kidung nyanyian ke dekapanmu. Semoga kamu bermimpi indah.” Ucapnya bersungguh-sungguh. Angin terus berhembus di antara embun-embun basah. Wangi mengantarkan aroma tubuh putih yang masih bernyanyi di luar.

            “Selamat tidur Ren…?” ucap putih ketika malam terus merambat pelan.

           

            ***

            Minggu, hari libur yang kutunggu-tunggu. Aku dan putih akan melewati hari ini seperti libur biasanya. Bercanda, menciuminya dan bercerita tentang mimpi yang pernah singgah dalam tidurku.

            “Pagi Putih?”

            “Pagi juga sayangku?” jawabnya mesra.

            Seusai membersihkan badan dan mengganti pakaian aku melangkahkan kaki untuk keluar menemui Putih yang selalu masih ada di sana, samping jendela, di dekat pintu rumah yang kuhuni satu tahun ini.

            “Rendi.. Rendi.. tolong akuuuu?” teriaknya.

            Aku terkejut, was-was dan panik. Sedang terjadi sesuatu pada Putih. Aku segera mempercepat langkah, keluar dan mencari sebab apa Putih berteriak minta tolong kepadaku.

            “Ada apa Putih?” tanyaku masih dengan degup jantung yang tak teratur.

            “Tolong aku, kumbang-kumbang ini ingin menghisap maduku. Aku takut, Ren?” keluhnya.

            “Ohh…mana kumbang itu, mana, sini biar aku peringatkan supaya kumbang itu tidak lagi menganggumu.” Aku melepaskan pakaian lalu mengibaskannya ke sekeliling tubuh Putih. Kumbang-kumbang itu pergi, terbang menjauhi kami. Dari atas kurasakan tetes hujan membasahi kulit wajahku. Dari jauh kulihat awan hitam menggumpal siap menurunkan hujan. “Aduh.. hujan? Aku takut?” keluh Putih saat gemuruh petir memekakkan telinga.

            “Jangan takut? Akan aku temani kau di sini?” pakaian yang tadi kukibaskan segera kugunakan untuk menutupi atas tubuh putih.

            “Kau basah kuyup Ren?”

            “Tak apa! Yang penting kau tidak!” ucapku sambil mengusap wajahku yang terkena tetesan air hujan.

            Putih menghiburku dengan suara merdunya. Tak terasa lama aku berdiri sampai hujan mulai reda.

            “Putih, aku ganti pakaian dulu ya?”

            “Ya!” jawabnya singkat. Tak berapa lama kemudian Putih berteriak lagi.

            “Ren? Cepat kemari? Tolong akuuu?”

            “Ada apa lagi Putih?” tanyaku penuh takut terjadi sesuatu kepada Putih.

            “Mentari sangat terik. Aku kepanasan,” keluhnya seakan tak sanggup menghalau terik yang merayap semakin mengenai tubuh si Putih. Segera saja aku memayunginya dengan badanku yang tegap. Aku berdiri di hadapannya, berhadapan langsung membiarkan tubuhku diterpa sinar matahari yang kurasa semakin panas.

            “Sekarang kau tidak kepanasan lagikan?” tanyaku dengan senyum.

            “Ya, terima kasih?” jawabnya.

            Esok harinya, mentari terlindung oleh gumpalan-gumpalan berwarna putih. Yang terlihat hanyalah benang-benang keemasannya saja. Aku merasa hari ini ada sesuatu yang aku lupakan, namun aku tak tahu apakah itu? Langsung saja aku mengambil handukku dan pergi ke kamar mandi tanpa menghiraukan apa pun. Ketika aku keluar dari kamar mandi, aku mencoba mengingat sesuatu tapi tak banyak yang sempat kuingat. Jam weker menunjukkan pukul 07.30 itu berarti aku harus segera sampai tiba di kantor tempatku bekerja.

 

            ***

            Sepulangnya dari tempat kerja, aku baru ingat kalau pagi tadi aku lupa menyapa Putih. “Marahkah Putih padaku?” semoga saja tidak, aku tergesa-gesa, “Maafkan aku Putih?” Setibanya di teras rumahku, kudapati Putih lunglai lemah. Wajahnya pucat, tubuhnya layu. Tangkainya coklat, banyak daun yang jatuh gugur, di tanah tubuhnya merunduk lemah. “Putihku, ada apa dengan kau?” tanyaku sedih namun tak ada jawaban dari Putih. Langsung saja aku bergegas ke dalam dan mengambil gembor. Kemudian aku menyiraminya.

            “Putih, jawablah?” ucapku.       Karena tak ada jawaban dari Putih, aku menguncang-guncangnya. Tanpa aku sadari tangkainya patah dan Putih jatuh berserakan di atas tanah, menghambur ke segala arah mengikuti gerak angin yang membawanya ke mana suka.

            “Oooohhhhhhh……… Putihku….?”

            “Jangan kau pergi tinggalkan diriku?” ucap Rendi sambil berlari mengejar angin yang meniup helai-helai jasad Putih.

 

            ***

            Setelah kematian Putih, Rendi berdiri di depan sebuah rumah yang halamannya penuh ditumbuhi bunga melati. Orang-orang takut melihat Rendi, pakaiannya compang-camping, kadang menangis sendiri di setiap sudut jalanan.          “Ha, ha, ha…?” ternyata di sini kau Putih?” girang Rendi mendekati melati-melati itu.             “Yang mana Putihku, mana?” tanya Rendi bingung melihat begitu banyak melati.

            “Tiiidaaaakkkkk! Kau bukan Putihku! Kau juga bukan!” ucapnya sambil menghancurnya bunga itu satu persatu.

            “Hei! sedang apa kau?” tanya pemilik rumah. “Kau hancurkan bunga melatiku!” ucap pemilik rumah marah, “Dasar orang GILAAA! Kampret, sialan, gila. Pergi sana!!!” usirnya. Kemudian Rendi pergi sambil bernyanyi “Putihku..oh, putih,” lalu tertawa terbahak-bahak “Ha, ha, ha…” Rendi menangis tersedu-sedu lagi. ****

 

Catatan:

Gembor adalah alat penyiram tanaman, biasanya terbuat dari plastik meskipun juga ada yang terbuat dari besi. Bentuknya seperti

teko namun, lebih besar. Pada ujungnya tertutup dan berlubang-lubang kecil.

 

Sejak 5 Oktober 2005