Tentang
Putih dan Kekasihnya
Cerpen:
Isnin Ermawati
Mentari merayap turun mengenai genteng rumah
lalu pergi ke bawah. Melayang-layang, sinar emasnya jatuh jadi
noktah. Pagi
ini mataku sulit terbuka, sebenarnya malas yang membuatku
sulit untuk bangun dan segera mencuci muka. Tapi
“putih” datang lewat jendela, meloncat dan menyergap urat
syarafku. Segera
aku bangun dan menyapanya. “Selamat pagi?” Kami
saling sapa dan hanya dia satu-satunya yang setia mengucapkan
selamat pagi untukku. Usai itu aku segera membenahi diri juga
alas tidur yang susunannya sudah tak lagi teratur. Bantal
dan guling saling acak bagai lukisan abstrak, itulah kadang
caraku tidur. Acak
tapi segera kemudian aku selalu memiliki kebiasaan untuk
segera merapikan. Seperti awalnya begitulah akhirnya.
“Aku berangkat
dulu, jaga dirimu baik-baik,” ucapku keluar meninggalkan
senyum kepadanya.
“Tunggu
dulu!” cegahnya.
“Kenapa?”
“Sepertinya hari
ini mentari akan sangat terik sekali, aku takut!!!” keluhnya
dengan wajah yang lesu.
“Begitukah?” aku
mengedar pandang ke segala arah, di atas matahari masih
berawan, tapi tak apalah. “Sebentar” jawabku sambil lari
masuk ke dalam dan segera membuatkan tenda untuknya.
“Selesai, semoga kulitmu tidak terbakar oleh sengatan
matahari. “Aku berangkat dulu ya?” kukecup keningnya,
betapa mesra dia tersenyum padaku. Dan aku sangat senang
dengan aroma harum tubuhnya.
“Cepat pulang, aku
menunggumu?” ucapnya setengah berteriak.
“Ya, pasti!!!”
begitu kepastian yang selalu kuberikan karena aku sangat
mencintainya. Saat sepi merasuk dalam tubuhku, dia
mengeluarkan sepi dengan bahasa yang wangi. Ketika sakit
rinduku datang menyerang, dia datang membawakan obat penenang.
Dan dia telah meniduri jantungku seperti aku menidurkan lelah
diharum wangi tubuhnya.
***
Untung jalanan tidak
macet. Aku bisa pulang segera. Dia telah menunggu seperti
biasa di samping pintu, berdiri mendekati jendela. Dia
tersenyum, seakan ada kata yang ingin diucapkannya. Dan aku
sudah tahu, dia akan menghiburku. Memberikan wangi tubuhnya
agar aku bisa kembali nyaman sedia kala. Dan sudah biasa bagi
siapa saja ketika pulang bekerja, terlalu banyak celah untuk
membuat tubuh menjadi lelah. Urusan kantor, kawan atau banyak
lagi lainnya.
“Kau lelah?”
tanyanya. “Ya. Tentu saja. Bagaimana dengan kau?”
“Tidak? Berkat
tenda yang kau buat tadi pagi.”
“Rendi, aku
kehausan?” keluhnya kemudian.
“Ups…aku lupa
menghidangkannya sejak pagi. Maaf…!!!”
“Hmm…!” dia
tersenyum melihatku kelabakan dari celah jendela. Segera
kuambil gembor yang berisi air.
Kuberikan padanya, dia sangat kehausan. Setelah itu dia
menari-nari sambil bernyanyi. Aku gembira, tertawa, suka dan
bahagia. “Kau senang?”
“Ya, sekarang rasa
hausku telah hilang. Terima kasih Rendi?” ucapnya mengerling
manja.
“Nah.. sekarang aku ingin mandi, dan kau tunggu saja di situ.” Ucapku
kembali masuk ke dalam rumah.
Mentari mulai menjadi lembayung senja. Langit mulai
tertutupi arakan awan berwarna jingga dan dingin mulai menusuk
tulang sum-sum tanda malam mulai menjelang tiba. Usai mandi,
aku menghempaskan tubuhku di kursi yang empuk. Membaca majalah
dan menghirup teh hangat yang paling kusuka ketika lelah.
“Ren? Sebesar apa
cintamu padaku?” Tiba-tiba suara itu kudengar. Suara di
balik jendela.
“Kau?”
“Ya, aku. Seberapa
besar cintamu padaku?”
“Mengapa kau
bertanya seperti itu?”
“Tidak, aku hanya
ingin mengetahui dan mendengarnya langsung dari bahasa hatimu?”
ucapnya tersenyum manja.
“Hmm…besarnya
melebihi semua yang ada di dunia ini?” jawab Rendi.
“Benarkah?” dia
terkagum hampir tak mempercayai.
“Tentu. Aku ingin malam ini kau menemani tidurku dengan sebuah nyanyian.”
“Aku? Bernyanyi?”
“Ya. Aku ingin kau
bernyanyi untukku.”
“Baiklah. Sekarang
pergilah kau ke kamarmu. Desir
angin akan mengantarkan kidung nyanyian ke dekapanmu. Semoga
kamu bermimpi indah.” Ucapnya bersungguh-sungguh. Angin
terus berhembus di antara embun-embun basah. Wangi
mengantarkan aroma tubuh putih yang masih bernyanyi di luar.
“Selamat tidur Ren…?”
ucap putih ketika malam terus merambat pelan.
***
Minggu, hari libur
yang kutunggu-tunggu. Aku dan putih akan melewati hari ini seperti libur biasanya. Bercanda,
menciuminya dan bercerita tentang mimpi yang pernah singgah
dalam tidurku.
“Pagi Putih?”
“Pagi juga
sayangku?” jawabnya mesra.
Seusai membersihkan
badan dan mengganti pakaian aku melangkahkan kaki untuk keluar
menemui Putih yang selalu masih ada di sana, samping jendela,
di dekat pintu rumah yang kuhuni satu tahun ini.
“Rendi.. Rendi..
tolong akuuuu?” teriaknya.
Aku terkejut,
was-was dan panik. Sedang
terjadi sesuatu pada Putih. Aku segera mempercepat langkah,
keluar dan mencari sebab apa Putih berteriak minta tolong
kepadaku.
“Ada apa Putih?”
tanyaku masih dengan degup jantung yang tak teratur.
“Tolong aku,
kumbang-kumbang ini ingin menghisap maduku. Aku takut, Ren?”
keluhnya.
“Ohh…mana
kumbang itu, mana, sini biar aku peringatkan supaya kumbang
itu tidak lagi menganggumu.” Aku melepaskan pakaian lalu
mengibaskannya ke sekeliling tubuh Putih. Kumbang-kumbang itu
pergi, terbang menjauhi kami. Dari atas kurasakan tetes hujan
membasahi kulit wajahku. Dari jauh kulihat awan hitam
menggumpal siap menurunkan hujan. “Aduh.. hujan? Aku takut?”
keluh Putih saat gemuruh petir memekakkan telinga.
“Jangan takut?
Akan aku temani kau di sini?” pakaian yang tadi kukibaskan
segera kugunakan untuk menutupi atas tubuh putih.
“Kau basah kuyup
Ren?”
“Tak apa! Yang
penting kau tidak!” ucapku sambil mengusap wajahku yang
terkena tetesan air hujan.
Putih menghiburku dengan suara merdunya. Tak terasa lama aku berdiri
sampai hujan mulai reda.
“Putih, aku ganti
pakaian dulu ya?”
“Ya!” jawabnya
singkat. Tak berapa lama kemudian Putih berteriak lagi.
“Ren? Cepat kemari?
Tolong akuuu?”
“Ada apa lagi
Putih?” tanyaku penuh takut terjadi sesuatu kepada Putih.
“Mentari sangat
terik. Aku kepanasan,” keluhnya seakan tak sanggup menghalau
terik yang merayap semakin mengenai tubuh si Putih. Segera
saja aku memayunginya dengan badanku yang tegap. Aku berdiri
di hadapannya, berhadapan langsung membiarkan tubuhku diterpa
sinar matahari yang kurasa semakin panas.
“Sekarang kau
tidak kepanasan lagikan?” tanyaku dengan senyum.
“Ya, terima kasih?”
jawabnya.
Esok harinya,
mentari terlindung oleh gumpalan-gumpalan berwarna putih. Yang
terlihat hanyalah benang-benang keemasannya saja. Aku merasa
hari ini ada sesuatu yang aku lupakan, namun aku tak tahu
apakah itu? Langsung saja aku mengambil handukku dan pergi ke
kamar mandi tanpa menghiraukan apa pun. Ketika aku keluar dari
kamar mandi, aku mencoba mengingat sesuatu tapi tak banyak
yang sempat kuingat. Jam weker menunjukkan pukul 07.30 itu
berarti aku harus segera sampai tiba di kantor tempatku
bekerja.
***
Sepulangnya dari
tempat kerja, aku baru ingat kalau pagi tadi aku lupa menyapa
Putih. “Marahkah Putih padaku?” semoga saja tidak, aku
tergesa-gesa, “Maafkan aku Putih?” Setibanya di teras
rumahku, kudapati Putih lunglai lemah. Wajahnya pucat,
tubuhnya layu. Tangkainya coklat, banyak daun yang jatuh gugur,
di tanah tubuhnya merunduk lemah. “Putihku, ada apa dengan
kau?” tanyaku sedih namun tak ada jawaban dari Putih.
Langsung saja aku bergegas ke dalam dan mengambil gembor.
Kemudian aku menyiraminya.
“Putih, jawablah?”
ucapku.
Karena tak ada jawaban dari Putih, aku
menguncang-guncangnya. Tanpa aku sadari tangkainya patah dan
Putih jatuh berserakan di atas tanah, menghambur ke segala
arah mengikuti gerak angin yang membawanya ke mana suka.
“Oooohhhhhhh………
Putihku….?”
“Jangan kau pergi
tinggalkan diriku?” ucap Rendi sambil berlari mengejar angin
yang meniup helai-helai jasad Putih.
***
Setelah kematian
Putih, Rendi berdiri di depan sebuah rumah yang halamannya
penuh ditumbuhi bunga melati. Orang-orang
takut melihat Rendi, pakaiannya compang-camping, kadang
menangis sendiri di setiap sudut jalanan.
“Ha, ha, ha…?” ternyata di sini kau Putih?” girang Rendi
mendekati melati-melati itu.
“Yang mana Putihku, mana?” tanya Rendi
bingung melihat begitu banyak melati.
“Tiiidaaaakkkkk!
Kau bukan Putihku! Kau juga bukan!” ucapnya sambil
menghancurnya bunga itu satu persatu.
“Hei! sedang apa
kau?” tanya pemilik rumah. “Kau hancurkan bunga melatiku!”
ucap pemilik rumah marah, “Dasar orang GILAAA! Kampret,
sialan, gila. Pergi sana!!!” usirnya. Kemudian
Rendi pergi sambil bernyanyi “Putihku..oh, putih,” lalu
tertawa terbahak-bahak “Ha, ha, ha…” Rendi
menangis tersedu-sedu lagi. ****
Catatan:
Gembor
adalah alat penyiram tanaman, biasanya terbuat dari plastik
meskipun juga ada yang terbuat dari besi. Bentuknya seperti
teko
namun, lebih besar. Pada ujungnya tertutup dan
berlubang-lubang kecil.
|