Pada 2 Agustus
2005, Banjarmasin Post (BPost) berulang tahun.
Selamat ulang tahun yang ke-34. Jika BPost
percaya bahwa life begins at 40, harian ini perlu
terus melakukan introspeksi di hari bahagianya sebagai
wujud syukur atas karunia bertambahnya usia (baca:
sampai usianya yang ke-34 harian ini masih punya
pembaca). Introspeksi mungkin merupakan salah satu cara
terbaik untuk menyukuri nikmat itu agar kelak langkah
BPost lebih tertata, lebih mantap, dan lebih
bermanfaat bagi seluruh lapisan pembacanya.
Oleh karena itu, memperhatikan pembaca merupakan
elemen terpenting untuk mempertahankan keberadaan harian
ini di tengah arus persaingan industri media yang
semakin beragam. Jika BPost tidak melakukan
redefinisi atas peran yang telah dimainkannya selama
ini, bisa saja pembaca akan beralih ke media yang lebih
memberikan perhatian terhadap mereka. Inilah salah satu
semangat dari konsep jurnalisme yang akhir-akhir ini
dikembangkan banyak media massa di dunia, yakni konsep
jurnalisme sipil (Civil Journalism), yaitu
bagaimana sebuah media lokal dapat menjadi mediasi yang
terarah dan konstruktif untuk memberdayakan masyarakat
pembacanya di tingkat lokal yang sangat spesifik.
Setelah mengamati BPost selama satu bulan
terakhir, kesan utama yang menonjol adalah bahwa harian
ini masih lebih mengedepankan berita politik, bisnis,
olahraga, kriminal, daripada pendidikan, kesenian,
kebudayaan, lingkungan hidup, dan kesehatan masyarakat
lokal. Meskipun berita tentang pendidikan, kesenian,
kebudayaan, lingkungan hidup, dan kesehatan masyarakat
lokal juga ada, cara menghadirkannya tetap bersifat
konvensional, yaitu pemberitaan yang dibangun dengan
cuplikan perkataan narasumber. Kemampuan jurnalisnya
untuk menyintesis informasi masih kurang optimal,
sehingga berita yang disajikan kadang menimbulkan
keresahan bagi sebagian pembacanya. Misalnya dalam kasus
pemberitaan flu burung.
Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan
menu dan cara penyajiannya tersebut: sekadar ikut tren
media yang telah mapan dan menasional atau spekulasi.
Dalam hal ini, BPost sangat perlu melakukan
tracer study untuk menggali data yang akurat
tentang: Apakah menu berita yang selama ini disajikan
memang dibaca atau tidak?
Jika tidak, BPost dapat menanyakan kepada
pembacanya melalui sayembara angket berhadiah tentang
berita apa yang ingin dibaca mereka. Jika ini dilakukan
berarti BPost mau melakukan langkah awal yang
penting dalam prinsip jurnalisme sipil, yaitu berupanya
mempelajari agenda komunitas pembacanya. Jika cara ini
kurang memuaskan, BPost dapat melakukan road
show ke komunitas yang dianggap paling
representatif. Diskusikan dengan komunitas atau publik
kecil tentang: Apakah pemberitaan BPost selama
ini baik; Apakah menu BPost selama ini
benar-benar ingin dibaca masyarakat. Jika hasil
kajiannya ditindaklanjuti, BPost bisa selamat
dari kecenderungan jadi media elit, propagandis,
borjuis, dan selebritis.
Di samping berharap BPost panjang umur,
harapan yang jauh lebih mendasar di ultahnya kali ini
adalah kian memperhatikan kebutuhan berita pembacanya.
Berita verbal atau gambar ilustrasi yang kurang layak
untuk dikonsumsi, sebaiknya tak muncul lagi. Misalnya,
rubrik Celebrity. Kira-kira apa manfaat rubrik
ini untuk masyarakat Kalsel yang dapat mengonsumsi gosip
selebritis hampir setiap hari di hampir semua saluran
televisi dalam tayangan yang lebih hidup?
Selain itu, redaksi BPost harus komunikatif
dengan publik pembacanya. Berkacalah kepada
Kompas, misalnya. Staf redaksi Kompas
tidak pernah malas memberikan informasi tentang status
tulisan yang dikirimkan oleh pembacanya yang ingin
berpartisipasi mengisi ruang berita yang disediakan,
baik melalui email maupun surat. Kalau memang
ternyata staf redaksi BPost terlalu sibuk untuk
melakukan aktivitas yang sangat berharga bagi pembacanya
itu, BPost dapat menggunakan mesin penjawab
email otomatis, yang dapat memberikan konfirmasi
otomatis bahwa tulisan yang dikirim pembaca telah sampai
di inbox email redaksi.
Menyimak isu yang berkembang di tempat kerja saya,
salah satu publik pembaca BPost, banyak yang
mengeluhkan bahwa suara dari publik ini seringkali
diabaikan dan sering pula kurang akurat pemberitaannya.
Kesan ini muncul sebagai akibat dari belum baiknya
sistem Public Relation BPost dengan publik
pembacanya.
Gejala kecil ini dapat kita pakai untuk mengukur
bagaimana keakuratan BPost memberitakan segala
beritanya, dan bagaimana kemampuan komunikasi stafnya
dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada pembaca.
Ini bukan persoalan enteng dan sebaiknya disikapi
serius, karena sekecil apa pun jumlah pembaca itu sangat
berharga bagi media massa yang menggantungkan nasibnya
pada aktivitas membaca.
Apalagi publik di tempat saya berada, bukan sebagai
publik pembaca yang tidak fungsional. BPost harus
lebih memberikan perhatian terhadap kebutuhan berita
kepada kelompok pembaca funsional semacam ini karena di
balik kelompok pembaca ini ada sekian ratus mahasiswa,
keluarga staf pengajar dan karyawan, alumni, dan relasi.
Asumsi kasarnya, pemberitaan tentang publik pembaca
semacam ini memiliki prospek untuk dibaca oleh lebih
banyak kalangan. Implikasinya, pemasang iklan akan
datang ke media yang dibaca banyak orang.
Mengharap BPost menjalankan prinsip jurnalisme
sipil, berarti mengharap harian ini lebih respek
terhadap harkat dan martabat pembacanya. Pembaca
BPost yang nyata tentu bukan mereka yang dapat
membaca harian ini dari luar Kalimantan berkat teknologi
hosting website. Pembaca BPost adalah
masyarakat Kalsel secara khusus dan Kalimantan secara
umum. Oleh karena itu, harian ini harus mampu menjadi
sumber inspirasi masyarakat lokalnya dulu. Suara lokal
harus lebih dikedepankan. Pemikiran lokal harus
dimediasi agar terjadi dinamika pertarungan ide yang
baik. Sebagai media lokal, orientasi pemikiran tak perlu
terlalu mengawang-awang dan jauh dari realitas
keseharian Kalimantan.
Diskusi di ruang opini, misalnya, belum intensif
menjadi ajang masyarakat Kalimantan untuk mendiskusikan
persoalan hidup Kalimantan yang perlu disikapi secara
konseptual ataupun tindakan nyata. Bahkan sering kali
muncul tulisan yang sama sekali asing: topiknya terlalu
melangit dan ditulis oleh penulis nun jauh di luar
Kalimantan.
Jika BPost memang sudi menjalankan prinsip
jurnalisme sipil, ruang opini itu harus dibuka dengan
cara baru. Tawarkan topik diskusi mingguan yang mengajak
pemikir di Kalimantan memikirkan kondisi lingkungan
hidup (mulai dari soal sungai sampai eksploitasi
pertambangan), pendidikan (mulai dari jenjang terendah
sampai tertinggi), seni dan budaya (mulai dari seni
tradisional sampai modern, mulai dari gaya primitif
sampai westernisasi di Kalimantan), dan isu lokal
lainnya. Contoh koran yang sangat baik menjalankan
prinsip jurnalisme lokal semacam ini adalah harian
Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Untuk melihat
kategori rubrikasinya secara online bisa dilihat
di www.kr.co.id.
Penamaan kategori rubrikasi BPost perlu juga
dipertimbangkian untuk diperbaharui, setelah mengkaji
ulang siapa sebenarnya pembaca nyata harian ini.
Penamaan rubrikasi yang ditulis dalam Bahasa Inggris,
seperti Style, Health, Sport Vaganza, dan
Celebrity tampak terlalu mengada-ada, seakan tak
ada padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia untuk
kata-kata itu.
Sebagai media yang cukup senior, BPost perlu
punya friendly URL yang mudah diingat sehingga
untuk membacanya tak perlu repot-repot masuk ke
www.kompas.co.id lebih dahulu dan kemampuan
pengarsipan berita online-nya masih perlu
dibenahi lebih baik lagi. Koran versi online
adalah bagian dari misi mulia jurnalisme sipil, karena
sebagian warga pembacanya diberi kesempatan membaca
tanpa harus membeli versi cetaknya, meski tidak berarti
sama sekali tak mengeluarkan biaya internet untuk
membacanya. Terkait persoalan mendermakan koran,
BPost perlu membagikan koran gratis kepada publik
tertentu, seperti yayasan panti asuhan, dan lembaga
pendidikan yang diselenggarakan secara swadaya.
Demikian ucapan selamat, kritik, saran, dan harapan
saya buat BPost. Kritik bagi jurnalisme sipil
menyiratkan keinginan sekelompok pembaca yang mencoba
berharap membangun kembali kepercayaan terhadap media
yang dikritiknya.
Dosen PBSID FKIP Unlam, tinggal di
Banjarmasin
e-mail:
sainulh@yahoo.com