Rabu, 23 Maret 2005 WACANA

tajuk rencana

Ribuan Nelayan Tidak Melaut

- Ribuan nelayan Desa Sawojajar, Brebes, memilih tidak melaut. Sudah dua pekan mereka memilih menganggur, karena tingginya biaya operasional akibat kenaikan harga BBM. Inilah dampak yang sebenarnya sudah diduga, dan pasti sudah dapat dibayangkan oleh para pengambil keputusan bidang ekonomi. Persoalan kenaikan harga BBM sudah harga mati. Artinya, itulah adanya dan masyarakat harus bersedia menerimanya. Tetapi, faktanya kemudian sangat mencolok bahwa makin banyak saja orang memilih menganggur daripada produksi tetapi tidak menguntungkan. Beberapa saat lalu, para perajin kayu di Cilongok memilih tidak meneruskan usaha karena untuk apa produksi kalau hanya rugi. Dan, tentu masih banyak contoh lain yang nasibnya seperti itu.

- Pikiran rasional pastilah mengatakan bahwa subsidi yang membengkak harus ada jalan keluar. Dan, jalan keluar itu telah dipilih, yakni dengan menaikkan harga BBM. Fakta ini secara rasional bisa diterima oleh mereka yang memiliki informasi lebih, dan mereka datang dari golongan menengah atas. Golongan inilah yang dituding paling banyak menikmati subsidi BBM selama ini. Jika mereka tidak protes, maka tuduhan itu benar. Tetapi, fakta lain juga menunjukkan keadaan yang tidak bisa dianggap sepele, yakni begitu banyak orang memilih menganggur. Jika orang sampai pada pilihan menganggur, sementara di sisi lain orang dengan susah-payah mencari pekerjaan, maka pasti ada yang sangat salah dalam persoalan ini.

- Apa yang salah? Sudah lama BBM ini direncanakan untuk dinaikkan. Sudah cukup panjang diskusi di banyak media, baik pakah cetak maupun elektronik. Mereka yang amat paham atas perilaku penguasa dan perilaku ekonomi, segera melakukan antisipasi dan penyesuaian. Naiklah harga-harga barang justru ketika pengurangan subsidi BBM atau kenaikan harga BBM masih menjadi wacana. Bagi mereka yang amat paham terhadap perilaku republik ini, langkah antisipasi sudah pasti mereka lakukan. Tetapi ini hanya berlaku bagi yang tahu. Yang kurang paham pastilah tidak siap untuk melakukan penyesuaian awal. Maka, ketika harga BBM benar-benar naik, mereka dalam kondisi sama sekali tidak siap. Ketidaksiapan itulah kemudian diwujudkan ke dalam pilihan menganggur.

- Pasokan ke pasar turun karena produksi turun. Beberapa saat kemudian, merambatlah harga. Pelan tetapi pasti, atau sebaliknya langsung terjadi penyesuaian. Ketika harga membaik, secara pelan-pelan para produsen yang dalam hal ini nelayan, atau perajin kayu akan melakukan kegiatan produksi kembali. Artinya, mereka melakukan penyesuaian secara statis, karena harus melakukan melewati penghentian produksi. Jika saja mereka memahami dan menguasai informasi dengan amat baik, mungkin tanpa perlu menghentikan kegiatan produksi penyesuaian secara otomatis bisa mereka lakukan. Begitu mendengar isu akan ada kenaikan harga BBM, mereka sudah siap untuk melakukan penyesuaian dini atas kemungkinan yang akan terjadi.

- Jika kondisinya benar demikian, maka ada yang salah dalam diri pemerintah dalam mengelola dan mengolah informasi terutama menyangkut hal-hal yang strategis. Jika telah diakui bahwa siapa pun presidennya tetap akan menempuh kenaikan harga BBM, mengapa tidak dari awal atau jauh hari informasi itu disampaikan. Jadi, siapa pun presidennya, harga BBM tetap naik. Bukan apa pun partainya, melainkan pilihlah saya apa pun risikonya. Sementara kemungkinan risiko itu tetap disimpan rapat di dalam saku yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dengan dadakan seperti kemarin. Efek dari kebijakan yang dadakan seperti itu juga amat memukul mereka yang secara ekonomis tidak mampu menahan beban. Maka, kasus Cilongok ataupun Sawojajar sangatlah wajar terjadi.

- Atas keadaan seperti itu, ke depan kita berharap kepada pemerintah untuk secara cerdas mengelola informasi yang menyangkut kebijakan strategis. Ini penting agar masyarakat yang akan terkena kebijakan itu secara dini mampu melakukan antisipasi, adaptasi, dan juga siaga penyesuaian. Bahkan, apakah tidak mungkin ditempuh kebijakan kenaikan yang bertahap seperti dalam soal kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan yang dadakan dalam jumlah besar itu tetap memberikan efek psikologis yang besar. Mungkin saja pemerintah beranggapan, karena kenaikan itu sebuah harga mati, toh nanti masyarakat akan menyesuaikan diri. Jika benar ada jalan pikiran seperti ini, sungguh amat berbahaya. Artinya, keadaan abnormal yang mungkin akan terjadi kurang dapat diantisipasi secara tepat dan bijak.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0503/23/opi1.htm