Kamis, 03 Maret 2005
Harapan Nelayan Pun Pupus
Raut muka Ujang Sofyan (45) hari Rabu (2/3) siang itu tampak muram. Ia hanya duduk termangu di dalam perahunya yang ditambatkan di Dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kegigihannya mengarungi ganasnya gelombang samudra selama sekian puluh tahun seolah tak berbekas pada sosoknya.
LELAKI berkulit legam itu tampak kehilangan semangat saat mempersiapkan pelayaran untuk mencari ikan di laut lepas. Dalam benaknya terbayang istrinya tengah menanti uang hasil jerih payahnya mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan menyekolahkan anak mereka.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang diberlakukan pemerintah awal Maret ini telah memupuskan harapannya untuk dapat menghidupi anak dan istrinya secara layak. "Jangankan nabung dan menyekolahkan anak, buat makan saja susahnya minta ampun. Uang tidak ada, ya terpaksa menggadaikan barang yang ada buat makan. Siapa tahu bisa ditebus kalau lagi banyak ikan," tutur Ujang.
Sebelum kenaikan harga BBM, setiap kali melaut yang lamanya tiga sampai empat hari Ujang bisa membawa pulang uang hasil menangkap ikan lebih dari Rp 50.000. "Biasanya hasil penjualan ikan setelah dipotong biaya operasional mencapai Rp 500.000. Separuhnya buat pemilik kapal, sisanya dibagi rata dengan para awak kapal," tuturnya.
Namun, sekarang, itu semua tinggal kenangan. Kenaikan harga solar membuat pendapatannya menurun drastis hingga lebih dari 50 persen. Ini lantaran sebagian besar hasil perolehan ikan tersedot untuk menutup biaya operasional saat melaut. Jika semula biaya operasional sekali melaut sekitar Rp 700.000, kini menjadi lebih dari Rp 1 juta.
Dalam hitungan para pemilik kapal, sebenarnya hasil penjualan ikan tidak lagi menguntungkan akibat kenaikan harga BBM. Biaya operasional melambung, dipicu oleh kenaikan harga solar dari Rp 1.650 per liter menjadi Rp 2.100 per liter. Hal itu diikuti melonjaknya harga minyak tanah yang semula Rp 1.200 per liter menjadi Rp 1.500 per liter, dan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok untuk perbekalan selama melaut.
Kondisi ini masih ditambah menurunnya perolehan ikan lantaran buruknya cuaca di lautan sejak beberapa pekan terakhir. Menurut Ajak, pemilik kapal, dalam kondisi normal, perolehan ikan sekali melaut bisa mencapai lebih dari tiga kuintal. Belakangan ini hasil tangkapan ikan hanya sekitar satu kuintal. Itu pun terbatas, hanya jenis ikan layur yang harganya relatif rendah.
KENAIKAN harga BBM, terutama solar, telah menambah kesengsaraan ribuan nelayan Pelabuhanratu yang selama ini sudah hidup pas-pasan. Penghasilan mereka menurun hingga lebih dari 50 persen lantaran sebagian besar hasil penjualan ikan habis untuk menutup biaya operasional saat melaut. Harta benda pun digadaikan agar asap dapur tetap mengepul.
Ribuan nelayan pun terpaksa tidak melaut. Praktis mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali. Pasalnya, sebagian pemilik kapal memutuskan untuk mengistirahatkan kapal lantaran hasil tangkapan ikan tidak bisa lagi menutupi biaya operasional yang membengkak. Apalagi akhir-akhir ini hasil perolehan ikan terus menurun karena buruknya cuaca di lautan.
Kemarin aktivitas perikanan di Pelabuhanratu tampak lesu. Tidak terdengar teriakan para bakul menawarkan dagangan mereka. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu, yang biasanya dipadati lapak- lapak berisi aneka jenis ikan, pun terlihat lengang.
Ratusan kapal tampak ditambatkan di Dermaga Perikanan Nusantara Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Para nelayan terlihat asyik berbincang-bincang dengan sesama rekan mereka sambil memperbaiki jala dan mesin perahu. Hanya ada satu-dua perahu yang meninggalkan dermaga untuk mencoba peruntungan di laut lepas.
Data Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cabang Pelabuhanratu mencatat, saat ini terdapat 220 kapal yang berlabuh di pelabuhan perikanan itu. Jumlah nelayan di daerah itu sekitar 3.000 orang. Kebutuhan solar para nelayan per hari di daerah perairan Pelabuhanratu mencapai 100 ton.
Sebelum harga solar naik per 1 Maret 2005, 70 persen dari jumlah kapal itu beroperasi. "Setelah harga BBM naik, hanya 30 persen dari total kapal yang beroperasi. Jadi, sekarang ada ribuan nelayan yang terpaksa tidak melaut," ungkap Ketua Seksi Perekonomian dan Pengembangan Usaha HNSI Cabang Pelabuhanratu Badri Suhendi.
Untuk memulihkan kondisi usaha kelautan di perairan Pelabuhanratu, papar Badri, pihaknya mendesak agar pemerintah menurunkan kembali harga solar, dan memberikan subsidi khusus bagi para nelayan. "Kalau kenaikannya hanya 10 persen, mungkin pengaruhnya tidak terlalu besar. Tetapi, sekarang kan kenaikan harga solar sangat tinggi," ujarnya.
Jika kenaikan harga solar ini terus berlanjut, kata Badri lagi, pihaknya memperkirakan makin banyak pengusaha kapal yang gulung tikar dan ribuan nelayan kehilangan mata pencarian.
"Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM membuat para nelayan makin sengsara. Penghasilan mereka menurun karena biaya operasional untuk melaut, seperti biaya pembelian solar, minyak tanah, dan bahan makanan untuk perbekalan meningkat sampai 40 persen," papar Badri.
Sementara itu, lanjutnya, harga ikan di pasar sangat berfluktuasi dan tidak mengikuti kenaikan harga BBM. "Melihat kondisi seperti sekarang, kami menuntut agar subsidi BBM bagi para nelayan tidak dihapus karena itu sama saja dengan mematikan perekonomian para nelayan," ucap Badri.
"Apa sebenarnya mau pemerintah itu? Kami ini sudah susah malah dibuat makin susah," ujar Nuradi (45), seorang nelayan Desa Sialang Buah, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, 60 kilometer timur Medan, Sumatera Utara, kemarin.
Inilah nasib nelayan. Setiap kali harga BBM naik, yang pertama mereka rasakan adalah semakin sulitnya memperoleh penghasilan secara layak. Biaya melaut mereka serta- merta bertambah begitu harga baru BBM diumumkan, sedangkan jumlah tangkapan belum tentu meningkat.
Terbukti, harga solar yang sebelumnya dirasakan sudah mencekik leher nelayan, dijual Rp 2.100 per liter, sekarang melonjak Rp 2.500 per liter. Belum lagi harga kebutuhan pokok yang dibutuhkan selama melaut.
Sebelum kenaikan harga BBM, setiap melaut Nuradi pasti menghabiskan sedikitnya Rp 50.000 untuk belanja beras dan ikan asin. Sejak harga BBM naik, selembar uang bergambar Wage Rudolf Supratman itu tidak lagi cukup untuk kebutuhan makan mereka selama melaut.
Tekad pemerintah menaikkan harga BBM untuk memberikan kompensasi yang lebih besar kepada rakyat miskin ternyata diragukan kalangan nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai. Mereka telah bosan pada janji pemerintah yang akan menyalurkan dana kompensasi BBM secara langsung karena hal itu tak pernah mereka rasakan.
"Tidak mungkin pemerintah bisa benar-benar memberikan bantuannya kepada kami setelah harga BBM naik. Dari program JPS (Jaring Pengaman Sosial), kartu sehat, beras untuk rakyat miskin, apa yang kami terima? Hampir tidak ada," kata Nuradi dari atas kapalnya yang mulai melaju ke tengah laut. (evy rachmawati/ hamzirwan)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/03/utama/1598245.htm