Mengapa Masyarakat (Perlu) Menolak

Kenaikan Harga BBM?

Oleh: Revrisond Baswir

Dewan Pakar Koalisi Anti Utang

Indonesia adalah negara miskin produsen minyak. Produksi minyak Indonesia,

sebagaimana dapat disimak dalam berbagai edisi Nota Keuangan, rata-rata mencapai di

atas satu juta barrel per hari. Tahun 2003 dan 2004 , produksi minyak Indonesia mencapai

1,09 juta barrel dan 1,15 juta barrel per hari. Sedangkan untuk tahun 2005, produksi

minyak Indonesia diproyeksikan mencapai 1,12 juta barrel per hari.

Sebagian produksi minyak Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kualitas dan

harganya jauh lebih tinggi, di ekspor ke negara lain. Sedangkan untuk memenuhi

kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor

minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain.

Hasil ekpor minyak dan gas Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 mencapai

US$15,2 milyar dan US$19,6 milyar. Sedangkan impor minyak dan gas Indonesia untuk

kedua tahun yang sama masing-masing mencapai US$7,8 milyar dan US$11,5 milyar.

Untuk tahun 2005, ekspor dan impor minyak dan gas Indonesia diproyeksikan mencapai

US$19,7 milyar dan US$11,3 milyar.

Menyimak angka-angka tersebut dapat disaksikan betapa hasil ekspor minyak dan

gas Indonesia sejauh ini masih tetap mengalami surplus. Sebab itu, sebagai negara miskin

produsen minyak, sebenarnya sangat wajar bila harga BBM di Indonesia lebih murah

daripada harga BBM di pasar internasional. Harga BBM yang lebih mahal, yang terus

menerus di sesuaikan dengan harga BBM di pasar internasional, tidak hanya akan

memberatkan beban hidup rakyat, tetapi juga akan menghambat mobilitas, dan dengan

demikian akan membatasi peluang rakyat untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

Tetapi pemerintah rupanya memiliki pandangan lain. Dalam pandangan pemerintah,

harga BBM yang lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional, yaitu yang

memperoleh subsidi dari negara, selain akan membebani anggaran negara, juga cenderung

menimbulkan distorsi terhadap bekerjanya mekanisme pasar. Sebagaimana terungkap

2

dalam advetorial sosialisasi pengurangan subsidi BBM yang diterbitkan pemerintah di

berbagai media massa, subsidi BBM diyakini oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya

penyelundupan BBM, pengoplosan BBM, dan merupakan penghambat bagi penggunaan

bahan bakar alternatif.

Sepintas lalu, berbagai alasan pemerintah tersebut memang tampak masuk akal.

Walau pun demikian, sebagai negara miskin produsen minyak, berbagai alasan pemerintah

untuk meniadakan subsidi dan menyesuaikan harga BBM di Indonesia dengan harga BBM

di pasar internasional itu, pada dasarnya cndereung mengada-ada. Mungkin benar bahwa

subsidi BBM cenderung menimbulkan distorsi di pasar. Tapi apa salahnya distorsi pasar,

jika hal tersebut justru bermanfaat untuk meringankan beban hidup rakyat?

Alasan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM, walau pun alasan yang utama

tetap soal pengurangan beban anggaran negara, memang tidak terbatas hanya pada soal

dampak negatif subsidi BBM terhadap bekerjanya mekanimse pasar. Sebagaimana

terungkap dalam advetorial sosialisasi pengurangan subsidi BBM tadi, yang antara lain

diperkuat dengan data yang bersumber dari Bank Dunia, pemerintah juga menyatakan

bahwa subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran dan lebih banyak “dinikmati oleh

golongan mampu dan orang kaya.”

Alasan pemerintah yang terkesan seolah-olah sangat memihak rakyat banyak dan

kaum miskin itu tentu tampak sangat heroik. Lebih-lebih bila dilengkapi dengan embelembel

akan tetap mempertahan subsidi minyak tanah, memberikan subsidi beras, beasiswa,

dan fasilitas kesehatan bagi kaum miskin. Walau pun demikian, hemat saya, berbagai

alasan pemerintah tersebut, selain cenderung mengeksploitir kaum miskin dan memicu

terjadinya pertentangan kelas, secara keseluruhan justru cenderung menyesatkan dan

berisifat manipulatif.

Kesimpulan tersebut tentu tidak saya buat secara serampangan. Saya setidaktidaknya

mencatat lima alasan mendasar yang dapat dan perlu dipergunakan oleh

masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM secara argumentatif. Sebagaimana akan

saya uraikan di bawah ini, kelima alasan tersebut sesungguhnya tidak hanya perlu diketahui

oleh masyarakat, tetapi juga perlu diketahui oleh pemerintah dan parlemen, yaitu sebagai

titik tolak untuk menyusun kebijakan yang lebih berpihak terhadap kepentingan bangsa dan

perbaikan nasib rakyat.

3

Alasan Pertama: Liberalisasi Ekonomi

Kebijakan peniadaan subsidi BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri,

melainkan berkaitan dengan kebijakan besar liberalisasi ekonomi yang saat ini tengah

berlangsung di Indonesia. Secara khusus, kebijakan peniadaan subsidi BBM berkaitan

dengan kebijakan uang ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Konsensus

Washington sebagaimana diperintahkan oleh IMF. Sebagai unsur dari agenda Konsensus

Washington, tujuan utama kebijakan peniadaan subsidi BBM pada dasarnya adalah untuk

memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan dilakukannya unbundling PT Pertamina,

sebagaimana terungkap dalam Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001,

kebijakan tersebut diharapkan dapat merupakan insentif bagi para investor pertambangan

untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama

perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak

dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell,

sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia.

Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan

UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaanperusahaan

multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam

proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.

Dengan demikian, sejalan UU No. 22/2001, yang meniadakan perbedaan antara

perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dengan PT Pertamina, penjualan BBM

dengan harga bersubsidi jelas sangat bertentangan dengan kepentingan bisnis mereka.

Terutama jika dilihat dari sudut hasrat mereka untuk menjadi pengecer BBM di Indonesia,

penjualan BBM dengan harga bersubsidi tentu sangat bertentangan dengan rencana besar

liberalisasi sektor pertambangan dan gas yang telah mereka perjuangkan sejak lama.

Menyimak agenda tersembunyi di balik kebijakan peniadaan subsidi BBM yang

sedang dilakukan pemerintah, lebih-lebih menyusul keluarnya keputusan Mahkamah

Konstitusi yang menghendaki dilakukannya amandemen terhadap UU No. 22/2001, maka

masyarakat sesungguhnya justru memiliki kewajiban untuk menolak peniadaan subsidi dan

kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut pada dasarnya hanyalah unsur dari proses

sistematis untuk meminggirkan rakyat dan merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme.

4

Alasan Kedua: Struktur Ekonomi

Melencengnya sebagian besar manfaat subsidi BBM terhadap anggota masyarakat

golongan mampu dan orang kaya sama sekali bukan kesalahan subsidi BBM, melainkan

lebih erat kaitannya dengan corak struktur perekonomian Indonesia yang memang terlanjur

sudah sangat timpang.

Sebagaimana diketahui, sesuai dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh

Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan kurang dari US$2 atau

sekitar Rp19.000 per hari, saat in masih berjumlah sekitar 60 persen dari jumlah seluruh

penduduk. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp5 milyar, yang secara

keseluruhan meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada berbagai

bank di Indonesia, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya di negeri ini.

Sebab itu, bila dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan,

subsidi kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah itu sendiri, pada dasarnya cenderung

lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh anggota

masyarakat golongan bawah dan orang miskin.

Pertanyaannya, apakah untuk mengakhiri berlanjutnya keberadaan pemerintah yang

cenderung “tidak tepat sasaran” itu kita juga perlu berpikir untuk membubarkan

pemerintah? Jawabannya tentu saja tidak tidak. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah

untuik mencegah berlanjutnya pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, dan

keberadaan pemerintah yang cenderung tidak tepat sasaran tersebut bukanlah meniadakan

pemberian subsidi. Melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap struktur

perekonomian Indonesia yang timpang.

Caranya adalah dengan memerangi korupsi, menghentikan pemberian subsidi

terselubung terhadap sektor perbankan, mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar

bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk

membiaya pendidikan dan kesehatan, dan dengan meningkatkan tarip pajak kendaraan bagi

para pemilik kendaraan pribadi.

Pendek kata, masyarakat perlu menolak pengurangan subsidi dan kenaikan harga

BBM, sebab alasan pemerintah bahwa pemberian subsidi BBM cenderung tidak tepat

sasaran sama sekali tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat dan cenderung bersifat

manipulatif.

5

Alasan Ketiga: Beban Utang

Jika dilihat dari segi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),

membengkaknya defisit dan sangat beratnya beban anggaran negara, pada dasarnya tidak

dapat begitu saja dikaitkan dengan membengkaknya subsidi BBM.

Pembengkakan defisit dan sangat beratnya beban APBN terutama dipicu oleh

sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang

dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Sebagaimana diketahui, pembayaran angsuran

pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai

Rp140 – Rp 150 trilyun setiap tahun.

Sebagaimana tampak dalam APBN 2004, angsuran pokok dan bunga utang dalam

negeri menelan sekitar Rp 30 trilyun dan Rp 44 trilyun. Sedangkan angsuran pokok dan

bunga utang luar negeri menelan sekitar Rp 46 trilyun dan Rp 25 trilyun per tahun. Jumlah

itu, bandingkan dengan volume subsidi BBM yang dalam APBN 2004 hanya dianggarkan

sebesar Rp14,5 trilyun atau setara dengan sepersepuluh anggaran pembayaran angsuran

pokok dan bunga utang, meliputi sekitar sepertiga APBN.

Perlu ditambahkan, pembayaran angsuran pokok dan bungan utang dalam negeri

pada dasarnya adalah subsidi terselubung yang dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik

deposito dengan volume terkecil Rp5 milyar, yang hanya dimiliki oleh sekitar 14.000

orang, sebagaimana saya kemukakan tadi.

Selain itu, sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah, volume subsidi BBM

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tiga tahun terakhir, justru terus menerus

mengalami penurunan. Tahun 2001 volume subsidi BBM masih meliputi 4,7 persen PDB.

Tahun 2002 dan 2003 turun menjadi hanya 1,9 dan 0,7 PDB. Sedang tahun 2004 lalu,

volume subsidi BBM kembali hanya dianggarkan sebesar 0,7 persen PDB.

Artinya, masyarakat memang perlu menolak kenaikan harga BBM, sebab secara de

fracto, relatif terhadap PDB, selama beberapa tahun belakangan ini, subsidi BBM telah

terus menerus mengalami penurunan. Sebab itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat

dijadikan sebagai kambing hitam membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran

negara terutama disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan

pemerintah terhadap sektor perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan

bunga utang dalam negeri setiap tahunnya.

6

Alasan Keempat: Rejeki Nomplok

Kenaikan harga minyak di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan

sebagai alasan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Sebagai negara

produsen dan pengekspor migas, Indonesia sesungguhnya juga memperoleh manfaat dari

kenaikkan harga minyak tersebut. Sebagaimana telah saya singgung pada bagian awal

tulisan ini, proyeksi hasil ekspor migas Indonesia untuk tahun 2005 mencapai US$19,7

milyar. Sedangkan proyeksi biaya impor migas Indonesia hanya mencapai US$11,3 trilyun.

Jika dilihat dari sudut APBN, sejalan dengan meningkatnya harga minyak di pasar

internasional, penerimaan negara dari sektor migas yang meliputi PPh Migas dan

Penerimaan Bukan Pajak Migas, seharusnya juga mengalami peningkatan secara

signifikan. Anehnya, sebagaimana tampak dalam APBN 2005, volume PPh Migas terhadap

PDB justru diproyeksikan turun dari satu persen menjadi 0,5 persen PDB. Sedangkan

Penerimaan Bukan Pajak Migas turun dari 3,8 persen menjadi hanya 1,8 persen PDB.

Hal itu terutama disebabkan oleh sangat rendahnya asumsi harga minyak dalam

APBN 2005. Sebagaimana diketahui, ketika harga minyak di pasar internasional melonjak

melampaui US$50 per barrel, APBN 2005 hanya mengasumsikan harga minyak sebesar

US$24 per barrel. Dengan demikian, pemerintah sesungguhnya diam-diam menikmati

rejeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga minyak di pasar internasional itu.

Sayangnya, kita tidak pernah tahu berapa besarnya rejeki nomplok yang dinikmati

pemerintah dan untuk apa saja uang itu digunakan? Pada hal, sementara itu, kita terus

menerus dikejutkan oleh semakin tingginya peringkat Indonesia sebagai negara juara

korupsi di dunia. Sebagaimana diumumkan oleh Transparency Internationl, peringkat

Indonesia dalam jajaran negara juara korupsi terus meningkat dari urutan ke tujuh pada

2002, menjadi urutan ke enam pada 2003, dan menjadi urutan ke lima pada 2004.

Menyimak hal tersebut, saya kira masyarakat memang wajib menolak kenaikkan

harga BBM, sebab angka-angka mengenai penghasilan negara dari migas dan volume

subsidi BBM cenderung tidak transparan. Sejalan dengan itu, seiring dengan meningkatnya

peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi, volume kebocoran APBN patut dicuriga

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Artinya, daripada menambah beban hidup

rakyat dengan menaikkan harga BBM, jauh lebih masuk akal jika pemerintah

menampakkan kesungguhannya dalam memerangi korupsi dan kebocoran APBN.

7

Alasan Kelima: Kemiskinan dan Pengangguran

Terakhir, pengurangan subsidi BBM sudah dapat dipastikan akan memicu

terjadinya kenaikkan harga berbagai kebutuhan pokok dan biaya hidup rakyat. Hal itu, suka

atau tidak, di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih meliputi 60 persen

penduduk, dan jumlah penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, pasti akan

semakin memperberat beban hidup rakyat.

Sementara itu, sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat sangat

kontraktif, dan susunan tim ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para

ekonom neoliberal pemuja IMF, sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintahan

yang ada sekarang ini memang memiliki tekad untuk mengurangi kemiskinan dan

pengangguran secara sungguh-sungguh.

Alih-alih berusaha keras mengurangi kemiskinan dan pengangguran, pemerintah

justru tampak sangat getol membela kepentingan para kreditor dan investor asing di

Indonesia. Tawaran moratorium dan penghapusan sebagian utang luar negeri yang

dikemukakan oleh negara-negara anggota Paris Club, misalnya, cenderung ditanggapi

dengan dingin oleh pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Jusuf

Anwar, tindakan tersebut dapat menghambat naiknya rating utang Indonesia dan

menurunkan kepercayaan para investor untuk menanamkan modal mereka di sini.

Intinya, sekaligus sebagai penutup tulisan ini, saya tidak hanya menyerukan kepada

masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM. Pada saat yang sama, saya juga

mengajak masyarakat untuk mendesak pemerintah agar segera mengakhiri pelaksanaan

agenda-agenda ekonomi neoliberal di sini, memerangi korupsi dengan memperkarakan

koruptor-koruptor kelas kakap, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap

sektor perbankan, dan berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang

lama Indonesia serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.

Last but not least, menyusul terjadinya gempa dan gelombang tsunami yang

menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa pada 26 Desember lalu, saya kira masyarakat juga

perlu mendesak pemerintah untuk meningkatkan keseriusannya dalam menanggulangi

bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh

Darussallam dan sekitarnya itu. Wallahu a’lam bisawab.

8

Mengapa Masyarakat (Perlu)

Menolak Kenaikan Harga BBM?

1. Penghapusan subsidi BBM adalah bagian dari agenda Konsensus Washington untuk

meliberalkan perekonomian Indonesia. Bersamaan dengan dilakukannya liberalisasi sektor

minyak dan gas sebagaimana terungkap dalam UU Minyak dan Gas No. 22/2001,

penghapusan subsidi BBM sesungguhnya adalah prakondisi bagi masuknya perusahaanperusahaan

multinasional pertambangan minyak dan gas asing ke dalam bisnis eceran

minyak dan gas di Indonesia. Pendek kata, penghapusan subsidi BBM adalah bagian dari

proses sistematis untuk meminggirkan rakyat dan jalan lurus menuju neokolonialisme.

2. Pemberian subsidi BBM sama sekali tidak melenceng kepada golongan mampu dan orang

kaya. Sebaliknya, struktur perekonomian Indonesia lah sesungguhnya yang terlanjur

sangat timpang. Dalam struktur perekonomian yang sangat timpang, jangankan subsidi

BBM, subsidi pendidikan dan kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah

sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh

golongan tidak mampu dan rakyat miskin. Apakah kita juga perlu berpikir untuk

membubarkan pemerintah?

3. Subsidi BBM sama sekali tidak dapat dikambinghitamkan sebagai penyebab defisit APBN.

Sebagaimana terungkap pada berbagai edisi Nota Keuangan, volume subsidi BBM

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun,

yaitu dari 4,7% PDB pada 2001, menjadi 1,9% PDB (2002) dan 0,7% PDB (2003 dan

2004). Defisit APBN terutama disebabkan oleh sangat besarnya beban angsuran pokok

dan bunga utang yang dipikul oleh pemerintah. Jumlahnya mencapai Rp145 triliun atau

sekitar sepertiga volume APBN. Selain itu, sejalan dengan naiknya peringkat Indonesia

sebagai negara juara korupsi, defisit APBN juga dipicu oleh sangat besarnya volume

pembocoran dan pemborosan APBN setiap tahunnya.

4. Kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan

sebagai alasan untuk menghapuskan subsidi BBM. Sebab, akibat kenaikan harga minyak

bumi di pasar internasional, pemerintah sesungguhnya menikmati rejeki nomplok yang

sangat besar jumlahnya. Sebagaimana tampak pada perbandingan ekpor dan impor migas

Indonesia tiga tahun terakhir: US$12,0 milyar dan US$6,0 milyar (2002), US$15,2 milyar

dan US$7,8 milyar (2003), US$19,6 milyar dan US$11,5 milyar (2004), hasil ekspor migas

Indonesia ternyata senantiasa lebih besar dari pengeluaran impor migas setiap tahunnya.

5. Penghapusan subsidi BBM dapat dipastikan akan memicu kenaikkan harga kebutuhan

pokok dan biaya hidup rakyat. Di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih

meliputi 60 persen penduduk, dan penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, hal

itu dapat dipastikan akan semakin memperberat beban hidup rakyat. Sementara itu,

sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat kontraktif, dan susunan tim

ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para ekonom neoliberal pemuja IMF,

sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintah memang memiliki kesungguhan

dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran.

http://www.kau.or.id/file/Mengapa%20Masyarakat%20hrs%20mnlk%20BBM%20_REVRISOND_.pdf

kembali