Hutang luar negeri kita pada tahun 1966 adalah sekitar US$ 2,1 milyar. Dengan jumlah tersebut secara statistik setiap rakyat harus menanggung sebesar US$ 20, jumlah yang amat besar pada saat tersebut. Tetapi akan sangat kecil jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2001 yang membengkak jadi US$ 144 milyar, karena setiap rakyat Indonesia yang berjumlah 200 juta harus menanggung beban hutang sebesar US$ 720 atau Rp 6,8 juta.
Ini akibat tim ekonomi Neoliberalis terus melakukan pinjaman yang non produktif untuk kepentingan majikan mereka, lembaga rentenir dunia seperti IMF, World Bank, dan ADB. Jika pinjaman dilakukan seperlunya untuk hal yang produktif, misalnya eksplorasi dan pengelolaan SDA seperti Migas, maka pinjaman tersebut bisa segera dilunasi dan keuntungan selanjutnya bisa dipakai untuk membiayai APBN.
Paradigma Ekonomi yang Pro Kaum Miskin dan Pro Keadilan: Belajar dari Kesalahan Masa Lalu
oleh HS Dillon
Abstract
Penanggulangan kemiskinan telah menjadi perhatian banyak pihak untuk sekian lama. Tetapi kemiskinan masih menjadi masalah di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Penyebabnya antara lain adalah adanya kekeliruan dalam strategi besar dan kelemahan dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat tidak dibarengi dengan pemerataan, pilihan pinjaman luar negeri untuk sumber pembiayaan dengan paket pola pembangunan dari donor yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumberdaya alam yang kurang hati-hati dan tidak bertanggung jawab, tumbuh suburnya budaya materialistis, lemahnya law enforcement, praktek KKN yang sistemik dan kronis dari aparat, misleading industrialisasi, politik pertanahan yang tidak adil, perencanaan pembangunan yang bersifat top down, pelaksanaan program yang berorientasi keproyekan, liberalisasi perekonomian yang terlalu dini tanpa persiapan yang memadai dan kebijakan pendukung yang kurang memperhatikan kelompok miskin telah meminggirkan rakyat kecil.
Indonesia dilanda krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997 dan kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi yang memaksa Indonesia mencari tambahan pinjaman luar negeri secara substansial. Semakin meningkatnya jumlah hutang tersebut mengakibatkan beban rakyat kecil dan jumlah kelompok miskin semakin bertambah meskipun mereka belum turut menikmati manisnya kue pembangunan. Untuk menanggulangi kemiskinan yang bersifat multidimensi, maka diperlukan perubahan paradigma dengan meredefinisi peran pemerintah. Strategi besar perekonomian juga akan lebih pro kaum miskin dan pro keadilan dengan pendekatan people driven yang mengembangkan pola bottom-up dalam perencanaan dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan.
Penanggulangan kemiskinan telah menjadi prioritas sebagaimana dicantumkan dalam PROPENAS 2001-2004 yang berbentuk undang-undang. Untuk mendukung hal itu, pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) yang mempunyai tugas utama mengembangkan diskursus setara untuk mendorong instansi pemerintah pusat dan daerah, tokoh masyarakat, ornop, perguruan tinggi, lembaga legislatif dan eksekutif serta masyarakat lainnya untuk menerapkan paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan yang menempatkan si miskin menjadi aktor untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri. Fungsi yang akan dijalankan BKPK antara lain mediasi, katalisasi, advokasi, fasilitasi dan koordinasi.
Pendahuluan
Kemiskinan yang membelenggu mayoritas masyarakat kita bukanlah masalah baru. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan bangsa kita dari penjajahan, Belandapun telah meresahkan kemiskinan yang semakin menjadi di Pulau Jawa. Pada saat itu kemiskinan hanya dilihat sebagai akibat dari pertambahan penduduk yang pesat dan tidak dikaitkan dengan kebijakan pola tanam paksa apalagi dengan politik liberal yang menyebabkan masuknya barang industri murah ke daerah perdesaan (Soedjatmoko, 1980).
Setelah lebih dari 50 tahun merdeka, kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah. Periode awal 1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mencapai prestasi yang mengagumkan dalam pengurangan kemiskinan. Akhir 1960-an, lebih dari separuh populasi Indonesia mempunyai tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, dan sekitar pertengahan 1990-an kurang dari 15 % dari populasi dikategorikan sebagai miskin absolut.
Namun demikian, kenyataan obyektif yang masih tergambar adalah lebih dari 70 % rakyat kita hidup di perdesaan, sekitar 50 % dari total angkatan kerja nasional kita menggantungkan nasibnya bekerja di sektor pertanian dan 80 % dari rakyat kita hanya mengenyam pendidikan formal tertinggi setingkat sekolah dasar (SD). Kesenjangan produktivitas antar sektor pertanian dengan industri semakin menganga lebar. Jika pada tahun 1971 rasio produktivitas sektor pertanian terhadap industri masih sekitar 0,45, tahun 1985 turun menjadi 0,33 dan tahun 1997 menjadi hanya 0,20 (BPS, 1999). Kesenjangan produktivitas tersebut diikuti dengan kesenjangan antar golongan rumah tangga, kesenjangan pendapatan per kapita antara desa dan kota, dan lain-lain.
Kondisi di atas semakin diperparah dengan adanya krisis ekonomi yang dimulai pertengahan tahun 1997 dan kemudian diikuti dengan krisis multi-dimensi. Jumlah penduduk miskin yang sebelumnya telah berhasil ditekan menjadi sekitar 22,5 juta (11 %), disinyalir oleh BPS sempat menjadi sekitar 39,4 juta (24%) pada puncak krisis tahun 1998 sebagai akibat dari PHK massal dari kelompok sektor foot-loose industry. Angka tersebut mencapai sekitar 50 juta apabila ditambah dengan kelompok yang rawan untuk jatuh ke kelompok miskin. Dengan berbagai upaya program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan, jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,5 juta (18 %) pada Agustus 1999.
Krisis ekonomi juga dialami beberapa negara lain di kawasan Asia Tenggara dan Timur, tetapi Indonesia mengalami yang terparah dan hingga kini belum terlihat pemulihan yang berarti. Kenyataan ini tidak saja menyingkap kekeliruan strategi dan kesemuan prestasi pembangunan di masa lalu, tetapi juga sekaligus mencerminkan realitas komposisi sumberdaya bangsa dengan segala dimensinya yang seyogyanya digunakan sebagai gambaran seutuhnya yang sebenarnya dalam penyusunan strategi besar pembangunan.
Martin Luther King terkenal dengan ucapannya yaitu you are as strong as the weakest of the people --kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih lemah dan miskin. Ungkapan tersebut dapat dijadikan inspirasi bagi kita semua tentang pentingnya penghapusan kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.
Pelajaran Dari Pola Pembangunan Masa Lalu
Sebagai negara yang baru merdeka, masa pemerintahan Orde Sukarno lebih banyak diwarnai dengan pembinaan kesatuan dan pembangunan karakter bangsa tetapi kurang memperhatikan pembangunan ekonomi sehingga ketika berakhirnya rejim tersebut meninggalkan kekacauan ekonomi yang ditandai dengan hiper-inflasi, kelangkaan barang dan pangan, hutang luar negeri yang banyak dan kemiskinan yang amat mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat tersebut kita belum mempunyai strategi pembangunan besar yang solid.
Orde Suharto, rejim berikutnya, mengerahkan semua usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Hal itu nampak nyata pada hasil yang dicapai pada kurun waktu 1966 – 1968 yang spektakuler dalam pengendalian inflasi. Keberhasilan tersebut dikarenakan antara lain konsentrasi penuh untuk pembenahan ekonomi didalam negeri dan adanya pengendalian hutang luar negeri warisan dari rejim sebelumnya. Pada waktu tersebut, sumberdaya alam masih melimpah dan belum dieksplorasi, adanya sentimen anti komunis dalam era perang dingin sehingga Indonesia sangat mudah mendapatkan sumber hutang baru sebagai sumber pembiayaan dari negara-negara barat.
Strategi besar pembangunan di masa tersebut adalah mencapai pertumbuhan yang cepat dengan melakukan trade-off terhadap pemerataan. Dalam lingkungan atmosfer strategi ini, timbullah budaya konglomerasi yang diharapkan akan menghasilkan trickle down effect kepada lapisan ekonomi di bawahnya. Untuk mencapai pertumbuhan yang cepat tersebut, pembangunan menyandarkan pada pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaan. Pilihan kebijakan tersebut melahirkan bentuk kelembagaan yang amat kokoh di tingkat penguasa pusat tetapi meminggirkan rakyat dan menjadikan Indonesia sebagai negara penghutang terbesar di dunia. Melimpahnya bantuan / hutang luar negeri tersebut seringkali disertai dengan paket pola pelaksanaan pembangunan yang tidak menyentuh dasar kebutuhan riil masyarakat sehingga kurang efektif dan menimbulkan ketergantungan baru (debt trap) dan seringkali jauh dari sifat kemandirian ekonomi.
Pengelolaan sumberdaya alam yang melimpah tidak dilakukan dengan hati-hati dan lebih banyak dilakukan secara tidak bertanggung jawab oleh kelompok yang dekat dengan penguasa sehingga makin meminggirkan posisi rakyat. Pengelolaan sumberdaya alam yang ada seringkali tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga menimbulkan eksklusivisme, kesenjangan yang semakin menganga di segala bidang mengakibatkan sangat berpotensi untuk ancaman disintegrasi. Bencana alam yang akhir-akhir ini seringkali melanda Indonesia antara lain juga disebabkan oleh rusaknya lingkungan, sehingga hal tersebut sangat berpotensi untuk menambah jumlah kemiskinan baru.
Tumbuhnya budaya materialistis, adanya krisis moral dan lemahnya penegakan hukum menyebabkan suburnya praktek KKN yang sistemik dan kronis dari para oknum aparat dan pengusaha yang membawa kebangkrutan negara dan belum pulihnya perekonomian nasional. Akibatnya, kelompok rakyat kecil semakin tidak menikmati hasil pembangunan dan sebaliknya ikut menanggung beban akibat misplanning dan mismanagement dari kebijakan pembangunan itu sendiri.
Kebijakan industrialisasi yang kurang mendasarkan pada kandungan muatan lokal sebagai mesin pertumbuhan menjadikan sektor ini amat tergantung dengan pihak luar, rawan terhadap gejolak moneter internasional dan counter productive terhadap sektor pertanian dan perekonomian perdesaan.
Politik pertanahan yang tidak pro kaum miskin juga semakin melemahkan akses rakyat kecil untuk penguasaan aset, sehingga menjadikan mereka tidak mampu keluar dari ceruk kemiskinan dan bahkan hingga ke generasi berikutnya.
Sementara itu, liberalisasi perekonomian yang terlalu dini tanpa persiapan memadai dan dukungan perangkat kebijakan yang kurang memperhatikan kelompok miskin telah semakin memarjinalkan posisi rakyat kecil. Letter of Intent, Januari 1998 menempatkan sektor pertanian kita menjadi sangat liberal dengan persiapan yang sangat minim, sehingga persaingan di pasar domestik bagi petani kecilpun semakin meningkat yang berakibat semakin sempitnya ruang mereka untuk mencari penghasilan lebih. Keuntungan dari globalisasi tidak dijamin bagi setiap negara yang menerapkannya. Globalisasi disatu sisi membawa perbaikan ekonomi kepada negara yang sudah efisien dan cukup kompetitif dalam pasar internasional, tetapi dapat pula menjadi sangat beresiko tinggi karena dapat menimbulkan ketidak adilan dalam ekonomi, marjinalisasi dan eksplosi sosial. UNDP Human Development Report tahun 1999 menyebutkan bahwa rakyat di 5 negara terkaya didunia menikmati 82 % dari peningkatan ekspor dan 68 % dari foreign direct investment, sebaliknya rakyat di 5 negara termiskin di dunia menikmati hanya sekitar 1 % terhadap kedua komponen tersebut. Melihat penyebab kemiskinan tidak bisa hanya dari faktor penyebab tradisional seperti tidak meratanya akses terhadap pendidikan, bias urban dan lainnya tetapi juga harus dilihat dari segi global inequality dan kompleksitas interaksi antara aset, pasar dan kelembagaan (Machiko Nissanke, 2000). Meningkatnya ketidak adilan dapat memperburuk usaha pengurangan kemiskinan.
Kebijakan depolitisasi rakyat dan perencanaan pembangunan yang bersifat top-down juga menekan kreativitas masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan serta mengurangi sensitivitas terhadap kebutuhan riil disekitarnya terhadap pembangunan.
Pelaksanaan program pembangunan termasuk penanggulangan kemiskinan yang berorientasi keproyekan adalah kurang efektif dan efisien, rawan terhadap kebocoran serta tidak sustainable.
Hal-hal diatas menunjukkan betapa rapuhnya fondasi pembangunan kita di masa lalu. Prof. Sarbini mengemukakan bahwa kita belum mempunyai grand strategy pembangunan yang utuh dan begawan ekonomi, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo telah menghimbau perlunya segera menyusun strategi besar ekonomi pasca krisis yang berorientasi masyarakat.
Pendekatan People Driven Sebagai Strategi Ekonomi Yang Pro Kaum Miskin dan Pro Keadilan
Bung Karno sebagai salah satu founding father bangsa kita terkenal dengan salah satu ucapannya "jangan sekali-sekali melupakan sejarah" dan hal ini penting sekali bagi kita semua karena dari sejarahlah kita dapat belajar kegagalan sebelumnya untuk kemudian menyusun strategi baru yang lebih rasional. Hal ini tepat sekali untuk menggambarkan strategi pembangunan yang akan kita tempuh khususnya untuk penanggulangan kemiskinan karena dari strategi pembangunan yang lalu terbukti bahwa kelompok miskin yang ada telah semakin terpinggirkan dan jumlahnya cenderung bertambah.
Untuk merespon perlunya penyusunan strategi besar ekonomi nasional, kita perlu membebaskan diri dari budaya text book thinking, dan sikap xenophilic terhadap model-model atau paket yang ditawarkan dari para pemberi pinjaman karena dalam program stabilisasi yang ditawarkan mereka seringkali tidak pas dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat kita sehingga justru menambah bobot ketidak adilan dan tidak pro kaum miskin.
Untuk menyamakan pola pikir kita, pertama yang harus kita sepakati dulu tentang hambatan yang menghadang bangsa ini adalah masalah ekonomi politik yang menuntut keberpihakan yang jelas berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang realitas sosio-ekonomi masyarakat kita. Tidak ada salahnya kita belajar dari pengalaman negara lain seperti Malaysia dan Taiwan yang relatif berhasil dalam mengembangkan perekonomian yang ditandai oleh pertumbuhan yang berjalan seiring dengan pemerataan.
Dalam kaitan ini, saya ingin menawarkan suatu pendekatan yang kiranya diharapkan dapat menghasilkan gambaran yang dimaksud, yakni melalui pendekatan yang selalu saya namakan people driven. Pendekatan ini tidak bermaksud menafikkan pendekatan market driven dan technology driven, melainkan bermaksud untuk meluruskan permasalahan selama ini, yang mana kedua pendekatan itu telah terasa semakin menjauh dari realitas kepentingan rakyat yang notabene merupakan tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri.
Sebagai perbandingan, pengalaman di sejumlah negara dengan sektor tersier yang sangat maju sekalipun seperti Amerika Serikat, Canada, Inggris, Perancis, Italia, Belanda, Belgia, Denmark, Swedia dan Australia tetap saja realitas kemiskinan di negara-negara ini rata-rata mencapai 20 % dari penduduknya. Penyebaran kemiskinan tersebut tidak hanya terjadi diantara kaum imigran baru, sehingga hal tersebut dapat menggambarkan bahwa pendekatan pembangunan perekomian yang dilakukan mereka masih mempunyai kelemahan.
Menurut Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi 1998, tatkala kebutuhan untuk reformasi ekonomi memberikan peluang lebih besar bagi pasar bebas, justru pada saat itu sebenarnya pengembangan peluang-peluang sosial yang fundamental (seperti sekolah, pelayanan kesehatan, reformasi tanah dan lainnya) membutuhkan kebijakan publik yang sangat teliti dan sungguh-sungguh yang jauh melintasi cakupan pasar semata. Lebih jauh Sen mengatakan, pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan kebebasan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri, tetapi juga saling mendukung. Hal ini memerlukan kemajemukan kelembagaan yang efektif dimana pasar memainkan peran yang cukup penting, tetapi membutuhkan suplementasi yang sangat kuat dari berbagai sisi (Beyond the Crisis, Development Strategies in Asia, 1999).
Pemikiran Sen ini semestinya membuka cakrawala baru dalam pola pikir puritan kita selama ini, yang pada gilirannya akan dapat mengubah pola tindak kita pula. Pengalaman menunjukkan bahwa menyerahkan sepenuhnya arah investasi semata-mata kepada pasar bebas telah membawa perkembangan ekonomi nasional semakin jauh dari tujuan utama pembangunan.
Berdasarkan itu, marilah kita meletakkan pendekatan people driven sebagai elemen utama dalam menyusun strategi besar ekonomi kita dengan berdasarkan pada kondisi nyata sosial ekonomi kita. Untuk itu kita perlu mendalami lingkungan masyarakat kita secara holistik dan obyektif, memperhatikan kaitan yang satu dengan lainnya dengan pikiran jernih.
Guna menjamin terciptanya fundamental ekonomi yang solid untuk pertumbuhan yang berkelanjutan pada masa mendatang, maka strategi pengembangan kedepan harus didasarkan pada kekuatan sumberdaya domestik. Selagi kita merupakan masyarakat agraris dengan jumlah penduduk yang sangat besar, maka peningkatan produktivitas pertanian tidak boleh terlepas dari proses peningkatan penghasilan petani, usaha kecil dan menengah (UKM) dan upah buruh serta pembangunan perdesaan. Dari sinilah titik tolak kita dalam mengelola pembentukan modal domestik. Dengan demikian, setiap tahapan transformasi struktural akan dapat dilalui dengan baik, menuju masyarakat industri dan jasa dengan nilai tambah yang tinggi secara proporsional kelak. Kita harus mampu merakit kebijakan dan kelembangan sedemikian rupa sehingga pola pembentukan modal senantiasa terarah pada peningkatan produktivitas mayoritas warga bangsa.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetap merupakan sasaran utama, tetapi yang lebih penting adalah menetapkan sumber dari pertumbuhan karena pilihan tersebut akan menyangkut keberdayaan pelaku utama ekonomi seperti petani, buruh, dan UKM. Elemen strategis untuk mendukung hal tersebut antara lain paradigma pembangunan yang bermuara pada otonomi rakyat, transformasi kelembagaan ekstraktif menjadi kelembagaan yang representatif, infrastruktur fisik dan sosial yang mensenyawakan kota - dengan perekonomian perdesaan, pasar modal di perdesaan yang dapat dijangkau semua orang, dan politik pertanahan yang lebih adil bagi penduduk setempat.
Yang tidak kalah penting adalah dukungan pendidikan yang secara konsisten untuk mengantarkan bangsa menuju tataran yang lebih tinggi, pilihan teknologi yang memihak rakyat banyak dan ramah lingkungan, program industrialisasi yang memberikan nilai tambah untuk petani dan buruh serta kebijakan fiskal dan moneter yang benar-benar merefleksikan keadilan yang jauh lebih besar di semua matra kehidupan ekonomi.
Sementara itu, tantangan pelaksanaan paradigma baru khususnya pelaksanaan program pembangunan adalah "sulitnya" merubah sikap aparat dan sebagian masyarakat yang masih berorientasi keproyekan. Oleh karena itu strategi pembangunan kedepan perlu juga dilengkapi dengan manajemen resiko untuk menyingkirkan hambatan-hambatan yang ada.
Debt Relief Sebagai Tambahan Alternatif Untuk Mempercepat Penanggulangan Kemiskinan
Saat ini, jumlah total hutang luar negeri Indonesia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta telah mencapai US$ 144 milyar, yang hampir mendekati dengan jumlah GDP kita sebesar US$ 160 milyar. Penggunaan hutang tersebut lebih banyak untuk pembangunan non-tradable goods yang dampaknya kurang dirasakan oleh rakyat kecil. Awal tahun 2000, hutang pemerintah (berasal dari luar dan dalam negeri) mencapai US$ 134 milyar, naik sebesar US$ 81 milyar atau jika dilihat dalam persentase dengan GDP telah naik dari 23 % menjadi 83 % dalam waktu 2,5 tahun dari tahun 1997 sebelum krisis. Kondisi tersebut menempatkan pemerintah Indonesia sebagai satu-satunya yang mengalami lonjakan jumlah hutang yang sangat besar dalam waktu singkat setelah PD II (Jeffrey Winters, 2000). Hutang yang amat besar tersebut berarti semakin menambah beban rakyat kecil yang belum ikut menikmati manisnya kue pembangunan.
Selain konsentrasi penuh pada pengelolaan pembangunan yang menempatkan rakyat sebagai aktor dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, strategi kita keluar perlu juga dilengkapi dengan pemikiran upaya penanggulangan hutang luar negeri kita yang teramat besar. Beban cicilan hutang yang menyerap hingga 40 % dari revenue pemerintah kita sangat menguras potensi ekonomi kita. Dengan asumsi yang paling optimistik, beban utang pemerintah kita akan menjadi 67 % dari GDP dalam lima tahun dan turun menjadi 46 % dari pada sepuluh tahun kemudian. Jadi pada tahun 2010, beban hutang pemerintah tetap masih dua kali lipat daripada beban sebelum krisis tahun 1997 yaitu sebesar 23% (Jeffrey Winters, 2000). Beban hutang tersebut harus ditanggung oleh seluruh rakyat yang sebagian diantaranya berstatus miskin, sehingga rasanya tidak adil jika kelompok yang belum menikmati pembangunan juga harus turut bertanggung jawab.
Hutang luar negeri kita pada tahun 1966 adalah sekitar US$ 2,1 milyar. Dengan jumlah tersebut secara statistik setiap rakyat harus menanggung sebesar US$ 20, jumlah yang amat besar pada saat tersebut. Tetapi akan sangat kecil jika dibandingkan dengan kondisi pada akhir 1999, karena setiap rakyat Indonesia harus menanggung beban hutang sebesar US$ 725.
Lebih lanjut Winters menawarkan beberapa pilihan untuk mengurangi beban hutang yang teramat besar antara lain pertama mengajukan debt relief atau charity berdasarkan pada kemiskinan dan ketidak-mampuan untuk membayar cicilan tersebut. Pilihan kedua, mengajukan claim bahwa sebagian besar hutang kita adalah odious debt sehingga menjadi tidak legitimate dan untuk itu Indonesia layak mendapat keringanan hutang. Pilihan berikutnya adalah mengajukan permintaan pengurangan hutang berdasarkan perilaku illegal dari para kreditor khususnya dari kelompok bank pembangunan multilateral. Hal ini untuk merespon kampanye Jubilee 2000 yang dimotori oleh Pemerintah Jerman dalam G-8 untuk menghapuskan sebagian hutang dari negara-negara miskin. Hambatannya adalah meskipun hutang pemerintah kita sudah sedemikian tinggi, sampai saat ini donor tidak melihat bahwa Indonesia adalah salah satu dari HIPC (heavily indebted poor countries). Selain itu hutang luar negeri Indonesia tersebar pada banyak kreditor yang tidak seluruhnya tergabung dalam "Paris Club", sehingga akan memerlukan negosiasi yang banyak.
Pada masa awal orde baru, Pemerintah Indonesia sudah mempunyai pengalaman peringanan beban hutang luar negeri warisan orde lama yang dibuat sebelum tahun 1966 hingga separuhnya (Alexandra Hoffert, 2001). Solusi yang disepakati pada tahun 1970 adalah: a). pembayaran kembali dalam jangka 30 tahun, b). bunga dibayar pada 15 tahun paruh waktu kedua, c). revisi rencana pembayaran setelah 10 tahun, d). pilihan bagi Indonesia untuk menunda sebagian dari kewajiban pembayaran hutang pokok dan mengalihkannya pada 8 tahun terakhir masa pembayaran -- deferral clause dan e). tidak ada diskriminasi terhadap donor dan jenis hutang. Keberhasilan dari negosiasi tersebut telah berkontribusi pada hasil pembangunan yang dicapai oleh Orde Baru pada awal dekade pemerintahannya.
Tujuan utama dari debt relief adalah pengurangan kemiskinan sehingga konsep pengajuannya harus disusun secara comprehensive yang berisi country specific strategies untuk penanggulangan kemiskinan (poverty reduction strategic paper - PRSP). Kompleksitas penyebab kemiskinan harus dikenali dengan baik sehingga semua kebijakan dapat memfokuskan pada tujuan penghapusan kemiskinan. Dana yang tersedia dari keringanan hutang tersebut dan kontribusi donor harus digunakan untuk mencapai tujuan akhir yaitu penghapusan kemiskinan. Tantangannya adalah benarkah dana hasil dari debt relief tersebut akan sampai kepada kelompok miskin. Untuk itu diperlukan 3 prinsip: good governance, transparansi dalam kegiatan pemerintah dan partisipasi aktif dari rakyat dalam pengambilan keputusan politis.
Peran dan Kebijakan BKPK
Penanggulangan kemiskinan telah menjadi prioritas tertinggi dan hal ini dimuat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000 - 2004. Sejalan dengan itu, pemerintah telah membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 42 dan 43 tahun 2001 tanggal 27 Maret 2001.
Tujuan utama BKPK adalah mendorong pemerintah dan masyarakat agar menerapkan paradigma baru dalam penanggulangan kemiskinan yang menempatkan si miskin menjadi aktor untuk menanggulangi kemiskinannya sendiri. Untuk itu BKPK akan terus melakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman terhadap kebutuhan, hambatan dan peluang yang dihadapi oleh si miskin baik kepada si miskin sendiri, masyarakat maupun pemerintah.
Fungsi yang akan dijalankan oleh BKPK adalah koordinasi, katalisasi, mediasi, advokasi dan fasilitasi. BKPK mengembangkan diskursus setara kepada stakeholders dan akan terlibat aktif dalam proses perencanaan strategis penanggulangan kemiskinan yang dilakukan melalui pembahasan, analisis dan konsultasi lintas sektoral, lintas tingkatan pemerintahan, lintas organisasi diantara pihak-pihak yang berkepentingan (stake-holders) dan dilakukan secara terbuka dan transparan.
BKPK akan mendorong pembentukan fora untuk membahas perkembangan dan usulan perbaikan strategi penanggulangan kemiskinan yang diwakili oleh pemerintah daerah, LSM, perguruan tinggi, dan swasta yang akan mengadakan pertemuan secara berkala.
Untuk kepentingan si miskin, BKPK mengadakan advokasi kepada DPR dan lembaga pemerintah baik melalui media massa dan organisasi kemasyarakatan. Untuk itu, BKPK mensosialisasikan elemen sukses untuk penanggulangan kemiskinan di tingkat nasional yang terdiri dari: reformasi struktural yang memfokuskan pada kompleksitas penyebab kemiskinan di lokalita; formulasi kebijakan keuangan dan ekonomi yang berorientasi kemiskinan; formulasi ekonomi makro yang stabil dan memadai bagi tumbuhnya si miskin untuk menolong dirinya sendiri (self-help); mendorong partisipasi si miskin dalam proses pengambilan keputusan; serta penjaminan layanan sosial dasar dan sistem keamanan sosial.
Program prioritas penanggulangan kemiskinan dalam Propenas yaitu pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan usaha bagi kelompok miskin dengan target: a. tercapainya keamanan dan stabilitas bagi aktivitas perekonomian skala kecil; b. tercapainya peningkatan dan pengembangan sarana dan kualitas kesehatan serta pelayanan pendidikan; dan c. tercapainya peningkatan produktivitas. Pelaksanaan program tersebut adalah dengan meningkatkan kerjasama antar sektor dan kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah, lembaga kemasyarakatan serta kelompok masyarakat miskin.
Tiga pilar utama dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yaitu: pertama mengembangkan kesempatan-kesempatan ekonomi bagi kelompok masyarakat miskin; kedua memberdayakan kapasitas dan kemampuan kelompok masyarakat miskin dan ketiga, meningkatkan kualitas jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat yang tergolong sangat miskin.
Penutup
Penanggulangan kemiskinan memerlukan strategi besar yang bersifat holistik dengan program yang saling mendukung satu dengan lainnya sehingga upaya pemahaman terhadap penyebab kemiskinan perlu dilakukan dengan baik. Sebagai dasar utama untuk menyusun strategi besar pembangunan nasional tersebut adalah politik ekonomi yang berpihak terhadap kaum miskin dan berkeadilan. Adapun yang menjadi elemen utama dalam strategi besar tersebut adalah pendekatan people driven dimana rakyat akan menjadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan politis. Untuk mensukseskan hal itu diperlukan pelaksanaan perubahan paradigma yang meredefinisi peran pemerintah yang akan lebih memberi otonomi pada rakyat, adanya transformasi kelembagaan dari yang bersifat represif menjadi representatif, dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan.
Mengingat hutang pemerintah kita yang sangat besar dan setiap rakyat harus ikut menanggungnya padahal sebagian dari mereka adalah kaum miskin yang tidak mengetahui pemanfaatan dari hutang tersebut, maka hal tersebut menyentuh rasa keadilan kita. Oleh karenanya upaya permintaan debt relief dari para donor perlu ditempuh sebagai upaya alternatif untuk lebih mempercepat pengurangan kemiskinan.
Dalam upaya memperjuangkan kepentingan kelompok miskin tersebut, pemerintah telah membentuk BKPK yang akan mengembangkan diskursus setara kepada semua stakeholders tentang perlunya menjadikan si miskin menjadi aktor utama untuk menanggulangi kemiskinannya. BKPK akan menjalankan fungsi mediasi, katalisasi, advokasi, fasilitasi dan koordinasi.
Yogyakarta, 19 Juni 2001
BADAN KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN
http://www.infid.be/infidforum2001-dillon-econparad-ind.html