Jumat, 17 Desember 2004
Kemiskinan Memaksa Ibu Bunuh Diri Bersama Dua Anaknya
MAHFUD (32) tampak lemas. Masih amat segar dari ingatannya kematian Jasih (istrinya) dan Galuh Permana, anaknya yang baru berusia empat tahun, ia kembali harus menghadapi kenyataan pahit.
Kamis (16/12) sekitar pukul 09.00, Galang Ramadhan (6) putra pertamanya juga menyusul ibu dan adiknya. Galang meninggal dalam kesakitan yang sangat akibat luka bakar di sekujur tubuhnya.
"Saya masih ingat kemarin (Rabu) jam 18.00 ia masih sadar dan bisa bicara. Dia bilang kalau Galang mau sembuh, Galang sayang sama papa. Galang takut sama mama. Setelah itu saya peluk dia," cerita Mahfud dengan isak tertahan di ruang tunggu kamar mayat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, kemarin.
Bagi lelaki asal Desa Panambangan, Kecamatan Sindang Laut, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ini meninggalnya Galang, Galuh, dan Jasih berarti hilangnya harapan, kebanggaan, sekaligus citra dirinya.
"Saya enggak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Semua yang dekat dengan saya diambil. Saya bingung," keluh Mahfud dengan air mata berurai.
Mahfud memang sangat pantas bersedih. Rabu dini hari lalu, Jasih membakar diri bersama kedua anaknya di rumah kontrakan mereka di Jalan Lagoa Gang III, Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Jasih bunuh diri dengan cara menyiramkan minyak tanah ke tempat tidur dan ke tubuh dirinya dan kedua anaknya. Saat itu kedua anaknya tengah tidur. Galuh yang saat itu tengah sakit dan tak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa ketika api melahap tubuhnya yang kurus itu.
Sedangkan Galang masih sempat terbangun dan berlari menyelamatkan diri. Meski demikian, seluruh tubuhnya melepuh akibat luka bakar yang sangat serius. Sehari kemudian, dia pun menyusul kepergian ibu dan adik kesayangannya di tengah deraan kemiskinan.
YANG paling membuat Mahfud terpukul, mereka bunuh diri ketika ditinggal pergi bekerja sebagai kuli alat berat di Pelabuhan Tanjung Priok. Mahfud sendiri saat dikabari tetangganya mengira Galuh, putra keduanya yang meninggal.
Pasalnya kondisi Galuh sudah kritis akibat kanker otak yang dideritanya selama setahun, dan mulai menyerang hebat tiga bulan lalu. Begitu mendengar kalau ada anaknya yang meninggal, saat itu Galuh mencoba tawakal
Saat itu dia berpikir bahwa itulah jalan yang dikehendaki Tuhan. Apalagi, sebagai orang tua dia dan Jasih sudah berusaha maksimal untuk menyembuhkan sakit kanker otak yang diderita anaknya itu.
"Sejak tiga bulan lalu, dokter meminta supaya anak saya diobati seminggu sekali. Tapi saya tidak mampu karena setiap berobat butuh uang Rp 300.000. Saya hanya bisa membawa sebulan sekali," kata Mahfud.
Uang sebesar Rp 300.000 itu pun sudah dikumpulkan dengan susah payah dalam waktu sebulan. Bayangkan saja, sebagai kuli pelabuhan yang sehari-hari bekerja sebagai pengendali cran, Mahfud hanya mendapatkan bayaran tidak lebih dari Rp 500.000.
Dalam kondisi sepi, penghasilannya bisa lebih kecil lagi. Namun, kalau pas ada borongan bongkar muat dengan kapasitas banyak, ia mungkin bisa mendapatkan tambahan. Itu pun jarang sekali.
Uang sebesar itu ia gunakan untuk membiayai dua anak dan seorang istri. Meski sudah berkelana di Jakarta sejak sepuluh tahun lalu, kehidupan Mahfud tidak juga berubah lebih baik. Buktinya, hingga saat ini dia hanya mampu mengontrak rumah petak dengan harga sewa Rp 2 juta per tahun.
."Sulit nyari uang. Mungkin tidak hanya saya, tetapi semua orang tahu. Nyari uang itu sulit," kata Mahfud berkali-kali.
Meskipun sulit mendapatkan uang, Mahfud tidak cepat menyerah. Terpaan derita yang mereka alami dengan sakitnya Galuh, membuat mereka harus lebih ketat mengencangkan ikat pinggang. Hanya satu keinginan mereka ketika itu, ingin agar Galuh bisa sembuh dari sakitnya.
Ia sudah berkali-kali mengingatkan istrinya untuk sabar menghadapi cobaan ini. Karena itu, sama sekali tidak terlintas atau terbayang dalam pikirannya kalau istrinya menempuh jalan bunuh diri.
Mahfud sendiri tidak bisa menyatakan seperti apa perilaku istrinya sehari-hari. Demikian pula dengan pengalamannya selama menjalani hidup dengan Jasih. Setiap kali ditanya masalah tersebut, air mata Mahfud menetes. Beban berat mendadak membayang dalam pikirannya. "Saya enggak bisa ngomong itu, enggak bisa," kata Mahfud kembali menangis.
Mahfud menceritakan, pada Rabu petang itu saat dia berangkat bekerja, kehidupan rumah tangganya mengalir seperti biasa. Jasih juga tidak berbicara apa-apa. Entah pikiran semacam apa yang dirasakan Jasih ketika itu sehingga dia memilih bunuh diri, dan membawa serta dua anaknya.
Namun yang pasti, Mahfud menyatakan memang selama ini Jasih sering mengeluh mengenai kesehatan anak keduanya. Ia pun mengeluhkan besarnya biaya yang harus ditanggung, di tengah kemiskinan yang selalu menderanya.
Di Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya, tidak hanya Jasih yang nekat bunuh diri karena terjepit kesulitan ekonomi. Pada 2 Agustus lalu, Suwarni (34), ibu rumah tangga yang tengah hamil empat bulan, tewas setelah menelan racun serangga di kamar mandi rumah kontrakannya di Kampung Pinggir Rawa RT 03 RW 03, Bekasi Jaya, Bekasi Timur. Kepada suaminya pelaku sempat mengeluhkan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Sehingga mereka tak mampu membiayai sekolah anak perempuan mereka yang baru lulus sekolah dasar (SD).
Sehari kemudian, Sari (21), ditemukan tewas tergantung di tiang pintu kamar kontrakannya dengan sehelai kain sarung di Kampung Panembong Kaler, Desa Mekarsari, Kecamatan Cianjur Kota. Pelaku diduga nekat mengakhiri hidupnya karena tak tahan menghadapi kesulitan ekonomi rumah tangganya.
Masih pada bulan yang sama, Sulaeman (21), warga RT 010 RW 009 Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, tewas gantung diri di plafon kamar tidurnya dengan menggunakan seprai warna merah bermotif kembang-Kembang. Pelaku diduga mengalami tekanan batin karena dikeluarkan dari pekerjaannya.
Suherman (32) juga ditemukan tewas tergantung di rumah orangtuanya di Jalan Banteng RT 02 RW 02, Kranji, Bekasi Barat pada September lalu. Bapak satu anak yang sudah menganggur satu tahun itu nekat mengakhiri hidupnya meskipun istrinya sedang hamil tiga bulan.
Sawijan (42), warga Wringinjajar RT 3 RW 1, Mranggen, Demak, nekat bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta api (KA) yang sedang lewat di kawasan Brumbung-Jamus. pada 9 November lalu. Pelaku diduga stres karena terlilit utang arisan kepada sejumlah orang.
Kemiskinan merupakan ancaman serius di Jakarta. Orang bisa berbuat apa saja dengan alasan itu. Pemerintah seharusnya bekerja lebih giat dan lebih hirau kepada mereka, apalagi kalau sudah menyangkut masalah kesehatan.
Bagaimana pun, mereka adalah warga Indonesia, saudara kita. (HERMAS EFENDI PRABOWO)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/17/utama/1444219.htm