Mimbar Pikiran Rakyat

Haruskah Pendidikan Mahal Diterapkan?

Oleh WIDIA YURNALIS

DUNIA pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari nasib guru, gedung sekolah yang roboh, uang sekolah yang mahal, hingga masalah komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi.

Ketika pendidikan dihargai sangat mahal, maka protes pun melayang dari berbagai pihak. Bagaimanapun, saat pendidikan mahal diterapkan, akan timbul rasa ketidakadilan dalam masyarakat, terutama bagi kaum papa.

Sebagai sebuah media pembebasan, pendidikan semestinya menjadi milik tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Negara harus menyediakan sarana-sarana pendidikan, termasuk memberikan subsidi memadai agar rakyat memperoleh kesempatan belajar. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memperhatikan pendidikan bagi mereka yang kurang secara finansial.

Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kemudian diserahkan kepada pihak swasta.

Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis. Biaya pendidikan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) mulai dari Rp 45 juta hingga 1 miliar menjadi faktanya.

Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi.

Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi. Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang.

Kedua, privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi, kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus menyediakan pendidikan secara massal.

Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak.

Privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk mengenyam pendidikan.

Komersialisasi bukan solusi

Keadilan dalam memperoleh pendidikan di Indonesia memang belum merata. Padahal, dengan menempatkan pendidikan mahal akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai media pembebasan manusia dari cengkeraman kemiskinan.

Hal itu terjadi karena komersialisasi akan mereduksi hakikat pendidikan dan kemanusiaan itu sendiri. Selain itu, proses komersialisasi juga akan "meminggirkan" kalangan tak mampu tapi berbakat. Ini akan menyingkirkan mereka dalam pergaulan di perguruan tinggi yang kelak didominasi oleh anak-anak yang orang tuanya berduit. Universitas akan makin elitis, menyeramkan, dan eksklusif.

Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (BHMN) itu menjadi momok. Mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Mengapa di Indonesia tidak? Formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu.

Tidak bisa disangkal bahwa kontroversi komersialisasi pendidikan yang marak akhir-akhir ini merupakan salah satu kesalahan fatal negara dalam menangani masalah pendidikan. Mestinya, sebelum melepas beberapa perguruan tinggi dengan status BHMN, pemerintah lebih dulu menyiapkan rambu-rambu yang jelas agar tidak kebablasan.

Selain itu, pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk mengembangkan jaminan sosial pendidikan untuk keluarga miskin secara melembaga dan berkelanjutan dengan tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang. Pemerintah harus berkomitmen untuk tetap ambil bagian dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan cuci tangan pemerintah. Dengan komitmen dan manajemen profesional, dana pendidikan dapat dimobilisasi dari berbagai sumber.

Dengan kenyataan seperti ini, pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah sampai saat ini belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Jalur khusus yang sudah diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi hanyalah salah satu bukti betapa jati diri kampus telah tereduksi dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin. Jika kecenderungan itu tidak dibendung, maka beberapa tahun nanti akan lahir sarjana-sarjana yang money oriented. ***

Penulis mahasiswi Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/26/1102.htm

Kembali