Sekolah Bukan untuk Orang Miskin

Sumber : Kompas, 3 April 2004

NY Jubaedah (37) sangat menyesal anaknya harus putus sekolah. Ia telah bekerja keras untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Pagi hari ia menjadi tukang cuci dan setrika, siang berjualan es kelapa muda dan menjaga warung rokok sampai malam. Akan tetapi, musim hujan di awal tahun ini membuat ia apes. Pemasukan begitu kecil sehingga anak perempuannya, Kurniasih (16), menunggak membayar uang sekolah selama dua bulan. Sejak itu Kurniasih tidak mau lagi bersekolah.

"EMAK sedih sekali, anak emak enggak sekolah lagi. Emak berjanji akan membayar tunggakan uang sekolah setelah dapat arisan, namun ia telanjur malu. Padahal, emak berjuang sendiri sejak ia kecil supaya bisa terus sekolah," kata Jubaedah saat menunggui warung kecilnya di pinggiran lapangan sepak bola di perumahan karyawan Departemen Keuangan di Kampungbulak, Ciputat, Tangerang.

Lulus sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), Kurniasih meneruskan ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Al Fajar di Kedaung, Ciputat. Sekolah yang terletak di tengah perkampungan itu bergerak di kalangan masyarakat menengah bawah. Sekolah tersebut tidak memungut sumbangan pembangunan, kecuali uang pendaftaran sebesar Rp 150.000. Uang itu didapat Kurniasih setelah emaknya menjual satu-satunya perhiasan kalung hasil tabungannya.

Kurniasih sempat mengikuti ulangan semester pertama di kelas satu. Akan tetapi, semester kedua hanya ia ikuti selama dua bulan. Ia akhirnya putus sekolah karena orangtuanya tidak mampu memenuhi kewajiban membayar uang sekolah sebesar Rp 45.000. Waktu itu Jubaedah memang tidak punya uang. Untuk bayar listrik pun terpaksa menunggak. Adik Kurniasih di kelas tiga sekolah dasar (SD) juga harus membayar uang sekolah Rp 12.500, belum lagi uang renang dan tetek-bengek lainnya.

"Bagi emak, pendidikan anak nomor satu. Biar emak enggak sekolah, paling tidak Kurniasih bisa dapat ijazah sampai SMEA," kata Jubaedah.

Harapan Jubaedah kini pupus sudah. Pendidikan di negara ini tidak berpihak kepada orang-orang tak punya. Saat ditemui, Kurniasih menyatakan sudah menutup pintu untuk kembali ke sekolah yang sama.

"Malu," katanya.

Ia mengaku lebih memilih bekerja di pabrik konfeksi sehabis pemilihan umum 5 April ini. Ia merasa yakin, andai kata ia bisa mengantongi ijazah SMK, ia akan mendapat pekerjaan yang lebih baik.

"Maunya sih sekolah sambil kerja," kata Kurniasih.

PENDIDIKAN yang makin mahal juga kian merisaukan Turniyanto (44), buruh usaha batu bata di Desa Ngestiharjo, yang terletak di perbatasan Kabupaten Bantul dengan Kota Yogyakarta. Soalnya, pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi negeri makin mahal. Turniyanto masih kebingungan apakah akan melepas sejengkal tanahnya untuk keperluan pendidikan anak perempuannya, Fajar (18), atau tidak. Kepada orangtuanya, Fajar telah menyatakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Prestasi belajarnya pun tidak meragukan.

Sejak kelas satu SD sampai sekarang, pelajar kelas III di program ekonomi pada SMK Negeri 1 Yogyakarta ini selalu berada di jajaran atas di kelasnya. Kalau tidak di peringkat pertama, paling tidak di peringkat kedua. Nilai rata-rata semester lalu hampir delapan. Tiga tahun lalu kakaknya putus sekolah di semester IV SMK karena beberapa bulan menunggak uang sekolah. Saat itu Turniyanto sedang sakit keras.

Ibu Fajar menerima pekerjaan menjahit borongan di rumah. Namun, penghasilannya juga tidak seberapa. Bekerja hingga larut malam, paling-paling sang ibu hanya bisa menyelesaikan 50 potong kerudung. Tiap lembar jahitan kerudung diupah Rp 200. Total penghasilannya tak lebih dari Rp 10.000 per hari.

Uang masuk ke SMK negeri tidak kurang dari Rp 360.000. Uang sekolahnya sekitar Rp 35.000 per bulan. Sementara adiknya, Ratri, yang masih duduk di SLTA, harus membayar uang sekolah Rp 39.000 per bulan. Tidak ada dispensasi potongan uang sekolah buat mereka. Adiknya yang paling kecil, yang bersekolah di sebuah SD swasta, justru mendapat keringanan membayar uang sekolah Rp 11.000 per bulan.

"Untuk mendapat dispensasi uang sekolah di negeri harus menunjukkan surat miskin dari RT/RW. Paling-paling hanya terpaut Rp 2.000, tak sesuai dengan kesusahan mengurusnya," kata Turniyanto.

***

PENDIDIKAN yang berkualitas untuk masyarakat bawah sampai saat ini belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi masyarakat miskin. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Bersembunyi di balik surat miskin, institusi pendidikan negeri mulai menutup akses bagi orang miskin guna memperoleh pendidikan yang baik. Jangan ditanya lagi hak anak-anak dari golongan miskin yang tidak berprestasi.

Tidak heran apabila untuk kalangan superkaya dan golongan menengah atas, sekolah-sekolah swasta berlomba menawarkan pelayanan pendidikan. Sebaliknya, di bagian ekor bermunculan pula sekolah-sekolah swasta untuk masyarakat bawah. Akibat dana tidak mencukupi, tidak pernah disubsidi pemerintah, sekolah itu berjalan apa adanya. Tanpa kualitas, ijazah sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), sekolah kejuruan, atau sarjana tidak menjanjikan perubahan apa-apa.

Tulus Sugiarto, Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Tamansiswa, Playen, Gunungkidul, risau dengan perkembangan pendidikan yang ada saat ini. Di satu pihak masyarakat mulai sadar akan pentingnya pendidikan, tetapi di lain pihak pendidikan makin mahal dan setelah lulus pun belum tentu memperoleh pekerjaan. Banyak lulusan SMA atau sarjana, kata Tulus, kembali ke desa, menganggur dan tak mau bekerja.

"Pendidikan di desa mulai lumpuh. Masyarakat mulai bertanya-tanya apa gunanya sekolah berat-berat karena setelah sekolah toh akan kembali jadi petani biasa. Sekarang mulai banyak orangtua yang berpikir asal anaknya lulus SD saja. Yang penting bisa membaca dan menulis," kata Tulus.

Menurut Suyudanta, Direktur Yayasan Kanisus Cabang Yogyakarta, pendidikan harus menjawab persoalan seperti itu. "Yang diperlukan bukanlah pendidikan yang tinggi, tetapi pendidikan untuk hidup. Apa gunanya pendidikan tinggi bila tidak ada gunanya untuk hidup," kata Suyudanta.

Pendidikan untuk hidup tidak mungkin tanpa kualitas. Kualitas identik dengan biaya. Masalahnya, siapa yang harus membayar? (P Bambang Wisudo)

 

Kembali