Elsham News
Service,
06 September 2006
Kapan Papua Membangun?
Yorrys Th Raweyai
Rakyat Aceh patut berbahagia dengan apa yang
terjadi dalam setahun terakhir ini, utamanya
menyangkut resolusi damai dan politik
ketatanegaraan terkait kasus Aceh. Khususnya
dalam hubungan propinsi tersebut dengan
Jakarta.
Tepat satu tahun yang lalu, satu terobosan
bernama Memorandum of Understanding (MoU)
antara Pemerintah RI dan GAM ditandatangani di
Helsinki setelah sebelumnya dilakukan 5 kali
perundingan informal. Bagai lokomotif kereta
api, MoU mampu menarik rangkaian gerbong
perubahan yang manfaatnya segera dapat
dirasakan oleh warga Aceh, yakni penghentian
kekerasan, penyerahan senjata GAM dan
penarikan pasukan TNI/Polri non-organik dari
Aceh, amnesti dan kompensasi untuk mantan
anggota GAM, dan terakhir pengesahan
Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang
akan menjadi pengawal proses lebih lanjut.
Ratusan ribu warga yang memadati halaman
Masjid Baiturrahman Banda Aceh memperingati
setahun MoU beberapa waktu lalu
mengekspresikan kebahagiaan yang juga ikut
kita rasakan.
Meskipun masih terdapat kekurangan di
sana-sini, namun situasi Aceh berangsur
membaik tahap demi tahap. Akhir tahun ini
provinsi ini akan menggelar pilkada-hampir
bersamaan untuk propinsi dan
kabupaten-kabupaten-yang akan menjadi momentum
politik terpenting bagi Aceh di masa depan.
Eksponen GAM kemungkinan akan mengikuti
momentum tersebut, dan hal ini akan menjadi
batu ujian bagi resolusi damai di Aceh.
Dengan semua prestasi membanggakan ini, tidak
salah sebutan beberapa kalangan setahun lalu
bahwa MoU Helsinki telah menjadi kado bagi
untuk ulang tahun Indonesia yang ke-60 (tahun
2005). Dan jika kita mengikuti perkembangan
Aceh selama setahun ini, tidak salah pula
menyebut bahwa hingga peringatan proklamasi
kemerdekaan RI yang ke-61 di tahun 2006 ini,
kado masih berasal dari Aceh.
Ingatan kita melayang ke belahan NKRI yang
paling timur, wilayah penerima otonomi khusus
yang lain, yakni Papua. Sama dengan Aceh,
wilayah inipun memiliki masa lalu yang kelam.
Namun berbeda dari Aceh yang telah menunjukkan
perubahan yang signifikan, proses penataan
Papua nampaknya lebih banyak jalan di tempat.
Hubungan Jakarta dan Papua masih didominasi
oleh mis-interpretasi dan distrust yang sangat
mengganggu pemulihan dan pembangunan Papua.
Saat disahkannya UU No 21/2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Propinsi Papua pada tanggal 21
November 2001, masyarakat Papua menyambut masa
depannya dengan suka cita. Namun dalam
perjalanannya, bayangan indah itu seolah sirna
secara perlahan. Otonomi khusus dijalankan
setengah hati sehingga menafikan kaidah
lex-specialis yang mendasarinya.
Hal ini masih diperparah oleh minimnya dialog
antara Jakarta dan Papua. Masing-masing
berdiri pada posisinya sendiri dengan
persepsinya sendiri-sendiri. Jakarta dan Papua
ibarat dua kelompok manusia yang sibuk
bermonolog dan saling mencurigai niat satu
sama lain.
Moratorium Politik Papua
Kentalnya nuansa politik adalah salah satu
penghalang utama dari pelaksanaan Otsus dan
pembangunan kembali Papua. Nuansa politik ini
berkembang di kedua pihak, Jakarta dan Papua,
bahkan menjangkiti seluruh stake holder.
Pemerintah pusat misalnya masih menyimpan
ketakutan tentang bahaya separatisme Papua dan
sangat sering terjebak dalam ketakutannya
sendiri.
Di sisi lain berbagai kalangan pemimpin Papua,
termasuk DPRP dan MRP, terlalu sering
menggunakan kaca mata politik mencurigai
setiap langkah pemerintah pusat. Kondisi ini-
lah sesungguhnya yang membuat kemacetan
pelaksanaan Otsus selama ini.
Nuansa politik yang terlalu kental juga
menyebabkan minimnya produk Perdasi/Perdasus.
Padahal Perdasi/ Perdasus adalah instrumen
yang seharusnya menjabarkan implementasi UU
Otsus.
Akibatnya pemerintah daerah tidak memiliki
aturan yang memadai dalam melaksanakan
pembangunan dalam kerangka UU Otonomi khusus.
Pemerintah daerah merasa tidak memiliki
panduan yang cukup sekaligus standar evaluasi
pelaksanaan pembangunan. Tidak mengherankan
apabila kebocoran dana Otsus diperkirakan
sangat besar. Faktanya, sejak pelaksanaan UU
Otsus kesejahteraan masyarakat Papua tidak
mengalami peningkatan berarti.
Dari sinilah pentingnya semua pihak menurunkan
tensi politik dalam setiap langkahnya.
Moratorium politik dibutuhkan agar setiap
pihak dapat mengurus tugasnya masing-masing
secara benar dan bertanggungjawab.
Depdagri dapat mengelola urusan nasionalnya,
Pemda Papua dapat berkonsentrasi mengelola
pembangunan yang bisa menyentuh rakyat, DPRP
dapat memfokuskan diri pada pembuatan
rancangan Perdasi dan Perdasus, sekaligus
mengawasi kinerja Pemda, MRP segera
meningkatkan kinerjanya dalam meng- kaji dan
menyetujui Perdasi dan Perdasus.
Adalah sangat ironis kita menyaksikan move
politik demikian gencar dilakukan, sementara
sektor-sektor pembangunan terbengkalai. Dana
Otsus senilai 12 triliun rupiah yang
dibagi-bagi kepada pemerintahan provinsi dan
kabupaten tanpa mempertimbangkan urgensi
pembangunan, dan lebih didominasi oleh biaya
birokrasi dan aparatur pemerintah.
Di masa depan seluruh stakeholder Papua harus
dapat memastikan bahwa sebagian besar dana
Otsus dapat menyentuh langsung kepentingan
rakyat Papua.
Pandangan
Terhadap hal ini, penting dikutip di sini
pandangan Gubernur Papua Barnabas Suebu yang
kurang lebih terdiri dari dua hal. Pertama,
yang lebih dibutuhkan di Papua saat ini adalah
sebuah audit atau evaluasi menyeluruh atas
penyelengggaraan Otonomi Khusus di Papua
selama ini.
Audit ini tentunya bukan hanya ditujukan
kepada pejabat dan birokrat di Papua, tetapi
juga di Jakarta (Departemen Dalam Negeri).
Melalui audit inilah kita bisa mengetahui
sejauhmana capaian Otsus selama ini dan dimana
letak penyimpangannya.
Kedua, seluruh stake holder menyangkut masalah
Papua harus bersedia duduk bersama baik dalam
kerangka evaluasi Otsus maupun revisi Otsus
(seandainya diperlukan). Stake holder ini
adalah: pemerintah pusat (Depdagri), DPR, DPD,
Pemda Papua, Pemda Irjabar, DPRP, DPRD
Irjabar, MRP, DAP, representasi pemimpin
agama, LSM, dan unsur perguruan tinggi di
Papua. Kesediaan untuk duduk bersama akan
menguji sejauhmana seluruh stake holder dapat
membangun trust dan kebersamaan.
Pandangan Barnabas untuk melibatkan banyak
pihak dalam membicarakan masalah Papua sudah
selayaknya diperhatikan karena
ketidakpercayaan sudah mulai menyebar, bukan
saja antara masyarakat Papua dengan pemerintah
Pusat, tetapi juga antara masyarakat Papua
sendiri.
Dengan melibatkan seluruh stake holder Papua,
rasa keprihatinan atas kondisi masyarakat
Papua dapat dibangkitkan. Pada saat itu
pembangunan yang sesungguhnya dimulai.
Penulis adalah Anggota DPR Daerah Pemilihan
Papua
Source |