Istri saya memakai chinchin

 

Oleh: Budiadi van Kobe

 

Banyak hal menarik yang membekas dalam kontemplasi saya sejak saya harus membagi kehidupan menjadi dua alam yang berbeda, Jepang dan Indonesia (dan Jawa). Saya menyukai dialog antarbudaya, jadi di benak saya selalu berkecamuk keinginan membandingkan budaya Jepang dan Indonesia. Dan yang paling menarik dan dengan biaya yang murah adalah merenung-renungkan keunikan bahasa di antara dua alam itu. Dan jika Anda menguasai keunikan-keunikan itu, maka seolah-olah memegang salah satu kunci sukses berkomunikasi dengan orang Jepang.

 

Indonesia wa meishi ga NAS(H)I, sakana wa IKAN!” kata saya mengajarkan dua istilah bahasa Indonesia kepada seorang kenalan, mochiron orang Jepang. Si kenalan ini tentu kaget, masa di Indonesia tidak ada nasi dan makan ikan tidak boleh. Dia tahu bahwa sebagian besar orang Indonesia makan nasi. Dia juga sedikit tahu bahwa orang tertentu tidak boleh makan daging binatang tertentu, yakni babi untuk orang Islam dan daging sapi buat orang Hindu. Tapi, kata-kata saya menjadi kejutan baru buat dia. Padahal maksud saya untuk mencairkan suasana, dengan membuat joke itu. Anda yang tahu bahasa Jepang, tentu segera menangkap maksud saya. Arti harfiah kalimat di atas adalah “Di Indonesia tidak ada nasi, dan makan ikan tidak boleh.” Padahal maksud saya, “Di Indonesia meishi (makanan utama) adalah nasi, dan sakana disebut ikan.” Catatan, ikan dalam bahasa modern Jepang adalah singkatan dari ikanai, artinya tidak boleh. Setelah saya jelaskan maknanya, barulah suasana cair dan pembicaraan lancar. Anda pengin mengadopsi cara ini? Silakan.

 

Yang kedua ini, maaf agak porno. Sewaktu tinggal di Kyoto, teman saya yang sering ke Indonesia bertanya, “Apa artinya chinchin dalam bahasa Indonesia?” Dengan lugu saya jawab, “Yubiwa (cincin).” Padahal, chinchin dalam bahasa Jepang berarti, maaf, alat kelamin (lelaki). Maka, kalau tidak berhati-hati berbicara bahasa Indonesia di Jepang, atau mencampur kedua bahasa itu dengan ceroboh, bisa membuat kemaluan, eh maksud saya membuat malu. Coba Anda artikan (misalnya Anda menjadi orang Jepang), “Istri saya memakai chinchin milik saya.”………

 

Saya juga tertarik ketika mengetahui bahwa bahasa Jepang juga mengakomodir kata ulang, persis seperti bahasa kita. Contohnya adalah chouchou untuk kupu-kupu. Sebagian orang cukup menyebutnya dengan chou saja, dan kita juga ada yang menyebut kupu saja (terutama orang Jawa). Untuk bintang atau cahaya yang kelap-kelip, orang menyebutnya kira-kira. Untuk permukaan benda yang kasar, kresek-kresek, orang Jepang mengatakan kasa-kasa. Langkah-langkah gajah yang berjalan berat, gedebag-gedebug, mereka menyebutnya dozun-dozun. Daaaaan lain-lain.

 

Mencari persamaan, itulah kata-kata yang harus dipegang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Sebaliknya, jika setiap berkomunikasi dengan orang lain diawali dengan perasaan beda kelas, beda bangsa, beda agama, beda suku dan lain-lainnya, maka pasti pembicaraan akan mandeg alias buntu. Jadi apa persamaan Anda dengan Pak Suzuki? Sama-sama naik Honda, kan.

 

 

 

Kobe, 21 September 2004

………………………………..

mochiron : tentu saja