Pengalaman, Latihan, dan Menulis dengan Hati
oleh
Aswi
Yus R. Ismail (cerpenis yang kini menjadi anggota Majelis Penulis FLP)
mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah dunia, yaitu dunia yang
fleksibel--tanpa ukuran dan kriteria nilai. Karenanya,
setiap pengarang sah-sah saja untuk membentuk dunia cerpennya seperti apa.
Dan lebih jauh lagi, setiap pembaca pun boleh dan sah untuk mengapresiasinya
dari pendekatan apa pun. Karena dunia cerpen punya kebebasan yang ‘unlimited’,
maka tidak ada ukuran baku untuk membuat sebuah cerpen. Modal utama untuk
membuat cerpen hanya satu, yaitu pengalaman. Dan pengalaman ini maknanya
luas, bukan hanya pengalaman pribadi.
Metode pelatihan yang paling
tepat diterapkan untuk orang dewasa adalah pengalaman, karena proses belajar
orang dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman masa lalunya dan
daya pikirnya. Dalam pelaksanaannya, metode pelatihan ini diformulasikan
dalam suatu materi melalui proses terstruktur, yaitu suatu rangkaian
kegiatan yang tersusun secara sistematis dengan suatu tujuan tertentu. Kita
sebut saja tahapan ini menjadi 5M, yaitu Mengalami, Mengungkapkan, Mengolah,
Menyimpulkan, dan Menerapkan.
Berbicara tentang
pengalaman, saya akan mengambil sebuah kisah Ismail Marahimin dalam bukunya
“Menulis Secara Populer”. Konon, pada zaman dahulu di negeri Cina, orang
yang ingin menjadi pelukis akan diberi sebuah lukisan yang sudah jadi dan
baik, biasanya yang dibuat oleh seorang ‘master’, yaitu seorang ahli melukis
atau pelukis terkenal. Sang calon pelukis disuruh meniru lukisan ‘master’
tadi, sampai sebisa-bisanya, dan semirip mungkin. Sesudah berpuluh-puluh
kali mencoba, sang murid akan mendapat sebuah lukisan ‘master’ baru yang
lain lagi untuk ditiru. Begitulah seterusnya sampai sang calon pelukis itu
bisa melukis sendiri, dan mulai menemukan bentuk yang khas yang sesuai
dengan kepribadiannya. Metode ini dinamakan ‘copy the master’, yang
artinya meniru lukisan seorang ahli. Pelajaran menulis pun mengenal metode
tersebut, disamping ada pula pelajaran semu melalui kaidah-kaidah yang harus
dihapalkan (belajar menulis melalui kaidah-kaidah adalah seperti belajar
berenang di darat, dan menghapalkan tidaklah membuat kita pintar, malahan
cenderung mematikan kreativitas).
Berenang dan Berlatihlah
Ada yang mengatakan bahwa
menulis itu gampang: ‘mulai saja, nanti kan bisa sendiri’. Pernyataan ini
ada benarnya. Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak kita jumpai orang yang
bisa berenang tanpa pernah belajar. Namun kalau kita lacak riwayat hidup
mereka yang bisa berenang tanpa belajar ini, akan terbukti bahwa mereka
mestinya adalah orang-orang yang tinggal dekat danau, sungai, laut, atau
orang-orang yang menghabiskan banyak waktunya di air. Mereka bisa berenang
tanpa disengaja, mungkin tanpa sadar, karena menirukan teman-temannya.
Jadi, bahwa menulis itu
gampang pun demikian halnya, yaitu orang yang ingin menulis itu haruslah
rajin melakukan latihan, menirukan tulisan-tulisan yang sudah jadi. Tanpa
latihan seperti ini, suruhlah orang yang tidak pernah masuk air menceburkan
dirinya ke danau, dan lihat apakah dia lantas bisa berenang begitu saja.
Oleh karena itu, disamping banyak membaca, untuk latar belakang informasi
dan kepekaan-kepekaan (disamping tentu saja melihat-lihat dan berkenalan
dengan berbagai model yang dapat dijadikan ‘master’), seorang calon penulis
harus pula banyak latihan. Dengan demikian menulis itu bisa menjadi
kebiasaan yang memberikan kenikmatan tersendiri.
John Steinbeck, pengarang
ternama yang pernah mendapatkan hadiah Nobel di bidang sastra, sering
memulai harinya dengan menulis. Namun menjelang siang hari, ketika ia telah
menyelesaikan tulisannya itu, tiba-tiba ia langsung meremas kertas itu dan
melemparnya begitu saja ke dalam keranjang sampah. Keesokan paginya ia mulai
menulis lagi. Dan seperti yang sudah-sudah, setelah selesai ia langsung
meremas kertas itu dan melemparkannya ke dalam keranjang sampah. Ia
melakukan hal itu terus sampai beberapa hari. Sampai akhirnya ia menulis
lagi dan setelah selesai ia tidak lagi meremasnya lalu melemparkannya ke
dalam keranjang sampah, tetapi naskah itu disimpannya rapi ke dalam map. Apa
sebenarnya yang terjadi?
John Mills, aktor Inggris
yang kebetulan pernah tinggal bersebelahan dengannya, menanyakan hal itu
padanya. John Steinbeck hanya tersenyum dan menjawab bahwa kertas-kertas
yang dibuang itu hanya sekadar pemanasan saja. Istilahnya ‘warming up’.
Dan hasil tulisannya yang sebenarnya adalah yang telah ia simpan dengan rapi
di dalam map. Lalu, apa yang ia tulis pada kertas ‘pemanasan’ itu? Ternyata
ia menulis tentang keadaan kamarnya, letak meja, kursi, angin yang
menggerakkan gordin jendela, buku-buku yang berserakan, aktivitas
orang-orang di luar, dan lain sebagainya.
Bisa Anda bayangkan
bagaimana seorang John Steinbeck begitu perhatian dengan latihan-latihan
itu? Seorang penulis yang sudah punya nama masih menuliskan hal-hal
sederhana di sekitarnya hanya untuk berlatih. Hal-hal sederhana yang kadang
kita abaikan karena dianggap tidak menarik. Tapi bagi John Steinbeck, hal
itu sangatlah penting karena jika ia tidak bisa menggambarkan keadaan yang
sederhana dan nyata itu, maka ia tidak akan bisa menuliskan suatu cerita
yang bersifat imajinasi.
Menulis dengan Hati
Kenapa harus menulis dengan
hati? Jawabnya, karena isi cerita yang ingin kita sampaikan dapat dicerna
oleh pembaca. Atau apa yang kita rasakan, juga dapat dirasakan oleh pembaca.
Spesifiknya, kita menulis untuk dakwah. Dan dakwah, bagaimanapun juga harus
kita upayakan untuk mampu menyentuh hati objek dakwah (dalam dunia
kepenulisan berarti pembaca). Bahkan, dapat memberikan kesadaran baru yang
selanjutnya akan menggerakkan suatu perubahan yang positif.
Berdasarkan hal tersebut di
atas, maka saya mencoba mencorat-coret pengalaman menulis dengan perasaan
hati yang terdalam, yaitu merumuskan kiat-kiat menulis. Karena kiat-kiat ini
berasal dari pengalaman saya pribadi, tidak usah heran jika berbeda dengan
pendapat orang lain. Yang jelas kita saling mengisi untuk memajukan dunia
kepenulisan ini. 6 Be Writer adalah kiat-kiat yang saya sodorkan,
yaitu:
-
Be Majority:
Cara
termudah untuk menuangkan sebuah peristiwa ke dalam suatu tulisan adalah
dengan menuliskan sesuatu yang umum-umum saja. Peristiwa-peristiwa biasa
yang kita alami bisa kita tuangkan, misalnya ketika bangun pagi, membaca
koran atau majalah, perjalanan ke sekolah/kampus/kantor, dll. Ingat!
Langkah kerja awal seorang penulis adalah menulis, bukan berpikir.
-
Be Creative:
Dari sebuah tulisan yang umum itu, kita coba kerucutkan menjadi lebih
spesifik. Ide-ide spektakuler biasanya akan muncul dari sesuatu yang biasa
itu, atau kalau pikiran kita lebih kreatif, kita bisa memikirkan cerita
yang lebih unik atau mungkin berbeda dari yang pernah ada.
-
Be Simple:
Sederhanalah dalam bercerita. Lebih baik menggunakan kata-kata yang mudah
dipahami oleh pembaca daripada menggunakan kata-kata yang “nyentrik”.
Kecuali jika ceritanya harus didukung oleh kata-kata tersebut dan bisa
meningkatkan kualitas cerita. Sederhana di sini juga bisa berarti dalam
pemilihan tema, agar kita tidak selalu terjebak dalam pemilihan tema yang
selalu “wah”. Keep It Simple and Straightforward (KISS). Jaga agar
tetap sederhana dan langsung, yang berarti menemukan sesuatu mengenai
pembaca sebelum Anda menulis.
-
Be The Story:
Pengarang dan tokoh cerita adalah dua karakter yang berbeda. Dalam
menuliskan seorang tokoh, jadikan diri Anda (penulis) sebagai tokoh
tersebut. Meleburlah. Dan untuk melebur, seperti kata Muhammad Diponegoro,
berimajinasilah setinggi mungkin.
-
Be Nothing:
Jangan merasa puas dengan apa yang telah ditulis. Baca lagi dan koreksi.
Kalau perlu jadilah “Si Raja Tega” untuk mengoreksi dan membantai tulisan
kita sendiri. Atau bisa juga, minta dikoreksi oleh orang lain yang kita
kenal. Jangan pernah bangga dengan apa yang Anda pernah buat. Kelemahan
beberapa penulis adalah sudah merasa cukup dengan apa yang sudah
dihasilkan. Teruslah berusaha membuat karya yang lebih baik lagi.
-
Be Your Self:
Ingat! Pengalaman tiap orang berbeda, dan dunia menulis (sama dengan
dunia lainnya) selalu mempunyai dua kutub yang saling berlawanan. Ada yang
pro, dan ada yang kontra. Penulis yang memiliki karakter lebih disukai
daripada yang tidak. Yang penting, semangatlah dalam menulis, apalagi
dakwah. Wallahu’alam.
|