.

 

FLP Wilayah Jawa Barat
RUBRIK CERPEN
FLP Wilayah Jawa Barat

FLP Wilayah Jawa Barat

 

Galau
oleh Lina Rosliana

“Ma, Wa Tar kenapa belum datang juga ya? Janjinya kan bulan puasa ini katanya mau datang cepet-cepet...,” Gino mengeluh sambil mengais-ngais pasir dengan ujung ranting bakau kering yang ditemukannya di tepian tambak.

Warsih menghentikan pekerjaannya menjalin jala milik Kang Mardi, suaminya. Ditebarkan pandangannya ke arah jembatan, berharap Yu Tarsinah tiba-tiba muncul membawa beberapa gembolan besar yang biasa dibawanya dalam becak Marmo.

“Ma! Gino jadi pake baju lebaran, ndak?” rengeknya tidak puas karena omongannya yang pertama tidak mendapat tanggapan.

Warsih mengembuskan napas beratnya, seakan baru saja menurunkan beban dua karung beras dari punggungnya. Diingatnya jumlah uang yang berhasil dikumpulkannya selama empat bulan terakhir ini. Hasil penjualan ikan tangkapan Kang Mardi dari laut tidak banyak, karena ia harus berbagi hasil dengan pemilik perahu yang disewanya. Beruntung Kiman dan Kimun, dua anak kembar sulungnya sudah bisa diajaknya melaut sehingga ia tidak harus menyewa tenaga lagi untuk membantu pekerjaannya. Hasil tangkapan ikan belakangan ini agak sulit, karena harus bersaing dengan kapal-kapal besar dengan peralatan yang jauh lebih modern.

Gino mulai kesal dengan sikap diam emaknya. Dia melempar ranting bakaunya jauh ke tengah tambak. “Uh, Emak! Gino kan sudah bilang sama temen-temen, lebaran ini Gino mau pakai baju lebaran yang baru.”

“Iya... iya… sabar! Wa Tar pasti datang,” bujuk Warsih berusaha menenangkan anaknya. Meski dia sendiri tidak yakin dengan ucapannya barusan. Warsih mulai gelisah dengan ketidakmunculan kakak satu-satunya itu. Kemanakah Yu Tarsinah? Biasanya dia pulang tiga bulan sekali. Ini sudah bulan kelima sejak kepulangannya terakhir.

Kehadiran Yu Tar betul-betul sangat diharapkan oleh hampir seluruh warga perkampungan nelayan miskin di pantai utara Laut Jawa ini. Dagangan pakaian bekasnya selalu nyaris habis diserbu. Meskipun harganya sangat murah, tapi kualitasnya masih cukup bagus. Yu Tar pintar memilih barang sehingga layak untuk dijual lagi. Jarang sekali ada pembeli yang protes karena tidak puas. Kalaupun ada cacat sedikit, biasanya di tempat yang tersembunyi, jadi luput dari perhatian. Ya … maklumlah, barang bekas.

Waktu terakhir Yu Tar datang, sengaja Warsih menahan keinginannya memborong pakaian seperti yang lain. Dia ingin menabung dulu agar bisa membeli lebih banyak untuk menghadapi lebaran tahun ini. Lima anaknya tentu lebih membutuhkan pakaian itu di saat lebaran dibandingkan hari lainnya.

Satu surat dari Yu Tar mereka terima sebulan lalu. Isinya mengabarkan beberapa pesanan sudah berhasil dibelinya. Yu Tar berjanji akan cepat pulang jika sudah terkumpul semua. Warsih membayangkan beberapa pesanan yang sudah dititipkannya untuk dibawa Yu Tar jika datang nanti. Warsih merasa tenang membaca surat Yu Tar. Tapi itu sebulan lalu. Waktu merayap seperti bergegas. Kini lebaran tinggal seminggu lagi. Beberapa tetangganya sudah mulai tidak sabar menunggu kedatangan Yu Tar. Dan akhirnya sebagian dari mereka mulai membeli pakaian baru. “Kelamaan, Yu. Keburu bada…,” begitu yang biasa ia dengar.

Tiga hari menjelang Lebaran, Yu Tar masih belum muncul. Jangankan orangnya, suratnya pun tidak. Warsih semakin gelisah, apa lagi kini sudah semakin banyak anak-anak tetangganya yang memamerkan baju barunya. Kadang Warsih sengaja datang ke jembatan hanya untuk memastikan bahwa Yu Tar memang belum datang. Malam hari ia bimbang memandang ketiga anaknya yang tidur tumpang tindih di balai-balai rendah di tengah rumahnya. Dibayangkannya rupa Kang Mardi dengan kedua anak kembarnya yang sedang bertarung melawan ganasnya alam di laut lepas sana. Dengan galau ia menimang-nimang kaleng bekas susu yang penuh terisi uang tabungannya. Ah, mudah-mudahan cukuplah untuk membeli masing-masing satu stel pakaian. Tidak perlu dengan sepatu baru. Bagian itu mudah-mudahan luput dari perhatian orang. Warsih mencoba menepis bayangan tentang beberapa pesanannya kepada Yu Tar. Lalu bagaimana jika Yu Tar betul-betul datang membawakan seluruh pesanannya? Ah, bisa saja dia katakan, terlalu lama menunggu takut lebaran keburu lewat.

Ya, itu mungkin satu-satunya alasan yang paling tepat. Karena itu juga yang pasti akan dikemukakan juga oleh tetangga-tetangganya. Apa lagi? Warsih tidak sampai hati membayangkan semburat kekecewaan di wajah Yu Tar karena dagangannya nanti tidak laku. Mungkin Yu Tar sudah menghabiskan seluruh uang simpanannya untuk memenuhi pesanan mereka. Mungkin ia sudah bersusah payah bolak-balik mencarikan pakaian-pakaian yang masih bagus. Atau mungkin juga, Yu Tar kesulitan mengepak barang karena begitu banyaknya. Mungkin Yu Tar sedang menunggu keberangkatan trafelnya. Atau justru malah tidak kebagian, sehingga harus ikut berjejal dengan orang-orang yang akan mudik juga? Warsih pun tertidur membawa pertanyaan yang tak terjawab. 

* * * * *

Di Bandung, lebih dari setengah perjalanan bulan Ramadhan ini, Tarsinah habiskan untuk mengumpulkan pakaian-pakaian bekas pesanan sanak keluarganya. Tidak cukup satu dua hari waktu yang dihabiskannya untuk berburu. Apa lagi sekarang para PKL itu baru saja dipindahkan pemerintah ke belakang pasar Gede Bage. Jadi, kini kelompok PKL itu terbagi di dua tempat berjarak tiga puluh menit menggunakan angkot. Mau tidak mau Tarsinah harus mendatangi keduanya karena tidak semua barang bisa diperolehnya hanya dari satu tempat saja. Jadi Tarsinah harus bolak balik mendatangi kedua tempat itu. Tidak peduli lapar dan haus, ia berebut dengan calon pembeli lain untuk mendapatkan barang yang bagus.

Tiga hari menjelang Lebaran, barulah Tarsinah merasa seluruh barang yang dibutuhkannya sudah terkumpul. Namun ia baru menyadari kalau bekal untuk mudiknya tidak lagi cukup. Jangankan untuk bekal, buat ongkosnya pun jauh dari cukup. Tarsinah kebingungan karena uang tabungannya telah habis.

Lima tetangganya sudah ia datangi agar bisa menolong meminjamkan uang. Meski jatuh kasihan, tapi tidak ada yang sanggup membantu karena sudah membelanjakan sebagian besar tabungannya untuk oleh-oleh di kampung. Ada sedikit yang mereka sisakan untuk ongkos pulang. Tetangga Tarsinah kebanyakan memang pedagang keliling yang tidak tentu pendapatannya. Mereka tinggal di rumah-rumah kontrakan teramat sempit yang sebenarnya tidak layak disebut rumah. Karena hanya berupa bangunan panjang satu atap yang masing-masing dipisahkan oleh tripleks sederhana. Berjendela dan berpintu rendah.

Karena tidak mendapatkan cara lain, akhinya Tarsinah tepaksa menemui Bu Hud, pemilik kamar kontrakannya. Seorang wanita tinggi besar yang sudut bibirnya selalu terlihat jatuh. Bahkan senyum pun tidak banyak membantu menaikkannya. Entah kenapa, ekspresi alami itu malah jadi menyempurnakan penampilannya. Terutama ketika saat menagih tiba. Jadi, jangan harap bisa lolos dari ‘kejarannya’. Tapi Tarsinah tidak punya pilihan lain. Ke sanalah Tarsinah kini melangkahkan kakinya, meski dengan harapan serapuh helai rambut.

Di luar dugaannya, Bu Hud ternyata bagai bunga mawar terbungkus bangkai. Dengan mudah Tarsinah mendapat yang ia butuhkan.

“Yu Tar, buat saya, beda lho antara hak dan kewajiban. Uang kontrakan itu hak saya, tapi menolong orang yang kesusahan kayak Yu Tar ini, ya… itu kewajiban saya.” Terngiang kata-kata terakhir Bu Hud ketika mengantarnya sampai pintu pagar. Meski tidak mengerti, Tarsinah manggut-manggut. Sama dengan ketidakmengertian Tarsinah dengan harum mawarnya Bu Hud. Kenapa baru tercium sekarang? Harum mawar atau harum parfumkah itu? Apakah Bu Hud memang sedang kebanjiran rezeki karena banyaknya bingkisan yang Tarsinah lihat di ruang tamu mereka.

Tarsinah tidak peduli harum manakah yang benar. Yang penting, kini ia berharap agar bisa ikut menumpang mobil majikan Dik Tarjo yang sengaja disewanya untuk mengantar teman-temannya satu jurusan.

“Wah, Yu. Saya pikir … Yu Tar ga bakalan ikut. Soalnya ndaftarnya kan sampai kemarin. Sekarang sudah penuh, Yu.”

Tarsinah menggigit bibir, tapi batinnya yang berdarah. Dia mendengus panjang di ujung napasnya yang patah-patah sehabis berlari tadi. “Tolonglah, Dik Jo. Bawaan saya kan banyak. Mana mungkin saya harus manggul-manggul bawaan sebanyak dan seberat ini. Rebutan ngejar-ngejar bus yang penuh-penuh semua. Mana bawa si Kasni lagi. Lagian…, sekarang kan sudah ndak mungkin pesen trefel.”

Sebenarnya Tarjo kasihan dengan janda beranak satu itu, tapi ia tidak ingin mobil majikannya rusak. “Duh…, gimana ya, Yu. Ini juga sudah kelebihan dua orang. Belum lagi bawaan mereka yang segunung. Kalau masih dipaksa ditambah juga, saya takut as-nya patah. Bisa dipecat saya.”

Tarsinah tidak mengerti soal as mobil, tapi pasti berhubungan dengan kerusakan mobil. Ia tahu, kalau mobil rusak taruhannya adalah pekerjaan Tarjo. Tarsinah kehilangan kata-kata. Dia tidak mungkin memaksa lebih banyak. Ia pun kembali ke kamarnya membawa serta apatis yang utuh. Tiba-tiba timbul niatnya untuk mencoba mendatangi travel agent sekali lagi. Siapa tahu ada yang membatalkan keberangkatannya. Mumpung Kasni masih asyik main dengan Fitri, anaknya Mas Kiyo.

Tanpa menunggu azan Ashar berkumandang, buru-buru ia mengunci pintu bedengnya. Melesat ke tempat pemberhentian angkot. Satu jam kemudian ia pulang membawa luka yang sama. Sempat terlintas dalam benaknya, mungkin hanya pesawat saja yang bisa ditumpanginya tanpa berjejal. Lagi pula—kata orang—, tiket pesawat bisa lebih murah dari pada tiket bus atau kereta api. Sayangnya, tidak ada jalur penerbangan dari Bandung menuju Tegal.

Sebuah gedoran pintu segera mengejutkan Tarsinah dari tidur lelahnya. Di hadapannya Dik Tarjo datang membawa kabar gembira. Mas Pur sekeluarga tidak jadi mudik karena Wati, anaknya, mendadak sakit. Dengan batalnya tiga orang, berarti Tarsinah bisa mengisi kekosongan itu tanpa harus kelebihan kapasitas. Kasni toh tidak masuk hitungan, usinya kan belum genap empat tahun.

“Oalah, alhamdulillahalhamdulillah...! Matur nuwun ... matur nuwun, Dik Jo. Terima kasih, Gustiii….” Tarsinah hampir menubruk Tarjo, kalau saja dia tidak keburu ingat bahwa Tarjo itu meskipun dekat tapi bukan suami atau saudaranya. Ia hanya meremas jemari dua tangan Tarjo kuat-kuat, lengkap dengan linangan air mata. 

* * * * *

Lama-lamat, Warsih melihat sosok yang ditunggunya. Tidak sabar menunggu sampai becak itu tiba di pekarangannya, Warsih berlari menyongsong becak yang ditumpangi Mbakyu satu-satunya itu. “Oalah, Yu…! Akhire kowen balik…!” teriaknya mengagetkan beberapa tetangga yang pada siang terik begini sedang rebahan. Menikmati embusan angin laut di teras rumah masing-masing sambil merem melek. Binar mata mereka segera mengikuti perjalanan becak menghampiri rumah Warsih. Beberapa dari mereka mengikutinya lalu membantu menurunkan bawaan Yu Tar yang berdesakan dalam becak Marmo.

Yu Tar menangis di pelukan adiknya. Warsih pun ikut menangis. Ia sibuk menata gemuruh ruang batinnya. Oh, apa yang harus dikatakannya pada Yu Tar? Bahwa Yu Tar terlalu lama tidak memberi kabar? Bahwa tetangga mereka sudah membelanjakan uangnya lebih cepat? Bahwa sudah tidak ada uang untuk membayar pesanan mereka? Bahwa pembelinya hanya dia seorang?

Warsih gundah dan bingung.

Dalam hitungan menit, Yu Tar sudah dikelilingi puluhan tetangganya. Dengan bersemangat, Yu Tar mengeluarkan plastik-plastik yang sudah dipilah-pilahnya berdasarkan pesanan mereka. Di benaknya terbayang lembaran rupiah yang kembali akan memenuhi kantung tabungannya. Jika dikurangi hutangnya, ditambah uang sewa kontrakan tiga bulan, masih tersisa banyak untuk dinikmatinya bersama Kasni.

Namun bungah di wajah Yu Tar pelan-pelan redup ketika dengan wajah menyesal, orang-orang yang mengerumuninya itu mengatakan, “Bayarnya mbesuk aja ya Yu, soalnya….”

Yu Tar tak sanggup menangkap semuanya. Matahari yang terik perlahan memudar, kelabu, hitam, lalu hilang.***

FLP Wilayah Jawa Barat

 

Muka | Profil Pengurus | Kegiatan | Buah Pena | Milis | E-mail

Kami menerima kiriman naskah Artikel dan Cerpen, tetapi tidak memberikan honor pemuatan.
Situs ini di-update 3 (tiga) minggu sekali.
Update: 03 April 2005
Copyright © 2005 - FLP Wilayah Jawa Barat