MERETAS  PERBEDAAN,  MENATAP HARI-HARI DAMAI DI TANJUNG BIRA
Sebuah catatan atas penghormatan terhadap pluralisme dari seorang peserta “Pelatihan Pemberdayaan Untuk Rekonsiliasi” Forum Dialog Antar Kita (Forlog) Sul-Sel, PSPP Yogyakarta, dan SOW Belanda.
Tanjung Bira, 20-24 Januari 2002.
Nurmal   Idrus 

Pelatihan Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh Forum Dialog Antarkita (Forlog) Sulawesi Selatan,  sebuah kelompok pemerhati perdamaian di Makassar bekerjasama Pusat Studi Pemberdayaan  Perdamaian (PSPP) Yogyakarta, dan SOW Belanda, selama 4 hari dari tanggal 20 – 24 Januari  2002, telah berakhir. Selama masa tersebut banyak hal  terjadi yang kadang tidak dapat kita percaya ketika melihat suasana panas di beberapa daerah konflik di tanah air yang sampai sekarang ini masih bergolak.  Penulis tergelitik untuk menulis sebuah catatan ringan atas segala hal dari indahnya sebuah perbedaan selama kegiatan tersebut. Sebuah catatan kecil untuk menjawab berbagai pergolakan yang terjadi selama ini, yang selalu saja mengatasnamakan agama untuk melegalisasi segala bentuk kekerasan terhadap sesama manusia.
Dalam kerangka acuan yang disebar oleh panitia sebelum pelaksanaan kegiatan, panitia secara jelas menggambarkan tujuan dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Terlihat panitia pelaksana secara serius ingin menanggapi berbagai komentar sinis yang biasa diterima ketika akan melaksanakan kegiatan sejenis. Panitia menyebutkan, hal utama yang menjadi tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memberikan ruang agar bisa  mengenal dan menanggapi secara serius pengalaman-pengalaman konflik yang terjadi di sekitar kita , baik itu yang berhubungan dengan diri sendiri maupun kelompok atau juga masyarakat secara luas. Disamping itu,  untuk mengenal dan melatih diri melalui latihan praktis tentang model-model resolusi konflik.
Secara jelas, hal di atas adalah upaya untuk menghindarkan diri terhadap segala sesuatu yang bakal membuat panitia kewalahan dalam menjawab berbagai hal yang mungkin saja menggangu di kemudiah hari. Hal tersebut patut dimaklumi, karena kondisi berbangsa kita sekarang ini masih sangat rentang  dan peka terhadap masalah-masalah yang menyinggung tentang perbedaan agama.
Dipilihnya Tanjung Bira sebagai tempat pelaksanaan kegiatan juga tak lepas dari kejelian panitia dalam menangkap suasana  agak panas yang bakal melingkupi para peserta pelatihan. Dan hal tersebut memang terbukti, suasana kawasan wisata Tanjung Bira yang sejuk dengan pemandangan laut Bira yang menakjubkan, tak ayal menjadi salah satu faktor yang sangat berperan bagi terciptanya suasana sejuk dan adem selama kegiatan tersebut berlangsung. Pluralisme peserta memang sangat berpotensi untuk memicu terjadinya suasana panas di forum ini. Betapa tidak, 30 peserta pelatihan  yang berasal dari  2 agama yang selama ini sering berseteru ( Islam & Kristen ) memang sengaja  dipilih untuk lebih mengarahkan  pelatihan ketujuan yang diinginkan. Apalagi sebagian dari peserta berasal dari Poso dan Ambon, dua daerah yang selama ini masih terus berkutat dengan konflik yang bernuansa agama.
Materi pelatihan yang mengedepankan teknik-teknik dan pemahaman-pemahaman rekonsiliasi lintas budaya, terasa sangat pas untuk memahami berbagai konflik di tanah air. Faktor budaya agaknya memang menjadi hal yang harus sepenuhnya dipahami terlebih dahulu jika kita ingin terjun langsung dalam penyelesaian sebuah konflik di negeri ini. Pelatihan dimulai dengan sebuah materi yang mengajak peserta terlebih dahulu mengenal apa itu konflik. Hal ini penting agar para peserta bisa lebih memahami dulu konflik dalam dirinya sendirinya sebelum mengenal konflik secara luas. Dari berbagai jawaban peserta tentang apa itu konflik, maka diperoleh satu jawaban bahwa konflik adalah ketika terjadi satu pihak menghalangi pihak lain.
Ayat-ayat suci masing-masing agama serta faktor budaya masing-masing daerah menjadi 2 hal yang paling mengemuka dalam pembahasan awal mengenai pengenalan konflik dalam pelatihan ini. Peserta yang dibagi dalam 4 kelompok diberi kesempatan untuk memprensentasikan hasil pemikiran mereka tentang 2 hal di atas yang sangat mempengaruhi seseorang ketika menghadapi konflik. Yang menarik adalah ketika masing-masing kelompok seakan  menemukan jawaban yang sama pada konsep-konsep kitab suci masing-masing agama yang sebenarnya sangat menabukan kekerasan. Konsep Al Qur’an sendiri salah satunya mengatur tentang Hubungan manusia dengan Tuhan  dan hubungan manusia dengan manusia yang sangat jelas melarang kekerasan. Begitupula dengan konsep dasar Kitab Injil tentang Hukum kasih, kasih kepada Tuhan dan kasih kepada manusia, serta adanya perintah untuk hidup dalam kedamaian dengan sesama. Pemahaman dan penafsiran ayat-ayat suci yang menyimpang diyakini menjadi salah satu faktor timbulnya berbagai konflik selama ini.  Faktor budaya pun menjadi pokok bahasan menarik, lewat pepatah-pepatah  kuno yang sering didengar akan sangat mempengaruhi tingkat pemahaman kita terhadap suatu konflik.  Pengelolaan konflik juga sangat diperlukan dalam menghadapi konflik itu sendiri. Sebab sebuah konflik tanpa pengelolaan sangat berpeluang menjadikan konflik itu menjadi semacam virus yang sangat mematikan dan sangat sukar dibendung pergerakannya.
Cara-cara resolusi konflik juga diperkenalkan secara mendetail kepada peserta. Untuk penyelesaian sebuah konflik ada 4 cara yang biasanya bisa ditempuh untuk menyelesaikannya. 1. Cara Koersif  ( Pemaksaan ). 2. Cara Arbitrasi (Juri).  3. Cara Mediasi.  4. Cara Negoisiasi.  Namun dari keempatnya, agaknya cara ke 3 & 4 menjadi primadona dalam menangani sebuah konflik. Hal ini bisa dimaklumi karena kedua cara tersebut mempunyai resiko yang sangat kecil dengan hasil yang maksimal, walaupun jangka waktu penangananya  agak lama. Beda dengan resolusi model 1 & 2 yang mengedepankan pemaksaan, sehingga walaupun penyelesaiannya cepat tetapi hasilnya tidak akan terlalu maksimal.
Penyelesaian sebuah konflik juga sangat didukung oleh faktor kapasitas dari individu yang akan memediasi penyelesaian konflik tersebut, dalam hal ini mediator itu sendiri.  Seorang mediator harus menguasai berbagai hal, tentang konflik yang akan ditanganinya. Dia harus seorang yang mempunyai niat baik, kemampuan berkomunikasi, dan diterima oleh kedua belah pihak. Seorang mediator juga setidaknya mempunyai pemahaman terhadap situasi konflik itu sendiri, sabar, simpati, dan mempunyai kemampuan sebagai leadership. Yang harus dipahami bahwa kesulitan dalam memediasi sebuah konflik dan biasa menjadi penghambat negosiasi adalah ketika masing-masing pihak gengsi mengakui kesalahan dan keprihatinan hanya ada di satu pihak. Beberapa role play yang dilakukan oleh peserta sangat membantu untuk mengenal cara-cara penyelesaian konflik termasuk cara-cara memediasinya. Dari kesemua materi pelatihan, tampaknya materi pengelolaan konflik ini yang menjadi materi paling menarik. Betapa tidak, peserta seakan diajak dan digiring untuk memasuki konflik itu secara nyata, termasuk cara-cara menyelesaikannya.
Disamping itu, diperkenalkan pula cara-cara menganalisa sebuah konflik. Untuk itu ada 5 cara yang diperkenalkan untuk menganalisa sebuah konflik. Cara-cara tersebut adalah :
1. Tahapan Konflik.
2. Pemetaan Konflik.
3. Analisis Konflik.
4. Bawang Bombay.
5. Pohon Konflik.
Ke 5 cara di atas diperkenalkan dengan cara analisa yang menggunakan media gambar. Hal tersebut untuk mempermudah  arah pemetaan terhadap sebuah konflik dengan mudah. Kesemua cara tersebut jika ditempuh akan sangat membantu dalam memahami konlik itu sendiri, sebab secara gamblang cara-cara tersebut akan memaparkan sebab dan akibat, awal dan akhir dari sebuah konflik. Analisis Pilar misalnya, akan membawa kita untuk menjawab berbagai hal yang menjadi penyebab dari konflik itu. Analisis Pilar mempermudah seseorang untuk membuat program-program dalam menuju penyelesaiaan sebuah konflik.
Namun semua cara di atas akan menjadi buyar ketika kita tidak mempunyai penguasaan tentang jaringan informasi terhadap sebuah daerah konflik. Untuk itu, penguasaan tentang sistem informasi konflik menjadi hal mutlak bagi seorang pemeta ataupun mediator sebuah konflik. Sayangnya, pelatihan ini memberikan porsi yang terlalu sedikit terhadap materi ini. Fasilitator pun hanya memberikan sedikit tips tentang penguasaan sistem informasi, itupun di hari terakhir dan terkesan tergesa-gesa. Sebelum mengakhiri rangkaian materi panjang yang berat dan melelahkan selama 4 hari, fasilitator memberikan sebuah bonus tentang bagaimana mengintervensi sebuah konflik. Strategi-strateginya yaitu : Rencanakan cara masuk – Pertimbangkan alasan dasar pertikaian – Identifikasi Steckholder (Yang terkait langsung maupun tidak) – Pikirkan apa yang perlu dilakukan – Pertimbangkan waktu yang tepat – Hindarkan sikap menonjolkan diri.
Tak bisa dipungkiri keberhasilan pelatihan ini. Selama rentang waktu kegiatan, pengetahuan peserta tentang berbagai hal dalam resolusi konflik menjadi bertambah. Materi yang padat tapi dibawakan dengan santai tidak terlalu menguras kemampuan berpikir para peserta yang memang bertingkat-tingkat.  Penyampaian materipun juga tidak terlalu membetot jalan pikiran kita, jikapun ada hal tersebut bisa ditanggulangi   dengan santai tapi serius. Terlalu sulit untuk menemukan celah kekurangan dari pelaksanaan acara ini. Materi, kepanitiaan, dan segala hal semua berjalan apa adanya dan mengalir tenang. Tiada riak, setenang riak gelombang laut Bira yang selalu setia menyambut pagi para peserta.
Salah satu point penentu keberhasilan acara ini, adalah tampilnya 3 fasilitator dari PSPP Yogyakarta yang rata-rata pernah terjun di berbagai daerah konflik, membuat suasana pelatihan semakin menarik. Ketiga fasilitator yang kesemuanya wanita, berhasil membawa peserta untuk lebih memasuki dan memahami lagi lebih dalam tentang berbagai  resolusi penyelesaian konflik. Gaya yang energik dan tak pernah lelah serta strategi pembauran dengan peserta, membuat para fasilitator seakan menjadi sebuah “roh” bagi semua peserta pelatihan. Kadang kita seperti terkesima ketika menyimak gaya retorika yang luar biasa dan  kadang  agak centil dari Endah Setyawati  ( Ibu Etty ) atau  gaya DR. Ruth ( Ibu Ruth ) yang bahasa Indonesianya masih terpatah-patah dan kadang membuat kita tersenyum-senyum kecil, atau senyum manis Wiwin Siti Aminah. R  ( Mbak Wiwin ) dengan pembawaan yang tenang khas Sunda  yang  mampu merontokkan hati beberapa peserta, adalah sejumlah kelebihan yang tidak bisa dipungkiri yang menjadi faktor pendukung kesuksesan acara ini. Mengenai hal tersebut di atas, penulis jadi teringat ketika dalam perjalanan pulang ke Makassar.  Penulis yang sengaja mengambil tempat di samping Mbak Wiwin dan Ibu Etty membisiki kepada penulis, PSPP kadang sengaja mengutus seorang fasilitator wanita jika pelatihannya di daerah yang berkarakter panas seperti  Makassar. Nah, kalau begitu kenapa PSPP tidak memasukkan dalam metodenya tentang faktor sentuhan wanita dalam menyelesaikan berbagai konflik.
Tapi dari kesemuanya, yang utama adalah ketika semangat kesetiakawanan, persaudaraan, dan kedamaian dalam kepluralismean peserta, terus mewarnai 4 hari penuh kenangan tersebut. Satu hal yang pasti, pelatihan ini setidaknya telah mampu menimimalkan dan berusaha mencegah konflik untuk lebih berkembang dalam skoup kecil terutama di daerah Makassar. Tembok-tembok tebal yang selama ini selalu menghalangi kita untuk saling meneropong perlahan telah kita runtuhkan, walaupun belum kesemuanya. Masih terlalu panjang jalan yang dilewati untuk menuju ke nirwana dunia yang damai. Jalan terjal yang dipenuh onak dan duri masih mewarnai perjalanan itu. Jurang dalam menganga selalu siap menerkam setiap rintisan usaha menuju perdamaian. Masih banyak yang harus kita selesaikan sebelum mengucap kata sukses. Hanya satu yang harus kita bangun dalam diri kita masing-masing, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan saat ini jika dilandasi dengan niat suci dan tanpa tendensi apa-apa, sesungguhnya Allah akan mencatatnya dan tentu saja akan membalasnya dikemudian hari.
Berakhir sudah kegiatan penuh kesan tersebut. Jika pada awal pelatihan banyak peserta yang menginginkan agar waktu pelatihan dipersingkat, maka saat-saat menjelang berakhirnya kegiatan rata-rata peserta malah menginginkan agar waktu pelatihan diperpanjang lagi, ataupun kalau bisa Forlog kembali menggagas acara serupa. Hal tersebut telah membuktikan, betapa perbedaan keyakinan yang selama ini selalu kita jawab dengan tebasan parang dan letusan senjata, sesungguhnya adalah hal yang tidak perlu. Jabat tangan, peluk cium, dan deraian air mata, saat perpisahan sudah cukup untuk membahasakan keinginan-keinginan dan kerinduan-kerinduan kita akan indahnya damai. Bahwa kemudian perpisahan itu terjadi, hal tersebut adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan. Justru sesungguhnya perpisahan itu membuat kita harus lebih memantapkan tekad dan niat kita, untuk terus mempertahankan keyakinan kita akan lebih indahnya sebuah perdamaian daripada sebuah pertikaian yang harus dibayar dengan sangat mahal.
Tuhan telah menunjukkan kedigdayaannya dan menjawab sejuta tanya ummatnya selama ini, tentang kenapa harus diciptakan berbeda-beda.  Laut Bira pun tiada bisa menyembunyikan keharuannya ketika menjadi saksi penyatuan dua keyakinan yang selama ini selalu bertikai atas nama Tuhan. Sebuah penyatuan yang tidak bisa diukur dengan apa-apa, termasuk jutaan rupiah yang harus ludes demi kegiatan ini. Perdamaian memang mahal, tetapi harga sebuah pertikaian jauh lebih mahal. Kita berhutang budi kepada laut Bira, dan untuk itu kepadanya kita persembahkan sebuah kata perdamaian.

Laki-laki tidak boleh menangis !!!, tetapi ketika suatu kenyataan dipaparkan secara gamblang di depan saya, air mata  ini terlalu sukar untuk ditahan. Terlalu sulit untuk membahasakannya dengan kata-kata, keperihan di dada yang terus menendang-nendang perasaan ini.   Untuk itu sepenggal puisi saya ciptakan di subuh hari, menjelang perpisahan penuh kenangan yang dramatis tersebut. Dipersembahkan untuk semua yang cinta damai.
 

GELOMBANG LAUT BIRA
Wahai……Gelombang Laut Bira
Bawalah….Hanyutkanlah….. Lara Hatiku Bersamamu
Jangan Siksa Diriku Diakhir Malam Ini
Kalau Bisa Izinkan Aku Terus Menggauli Pasir Putihmu
 
 Wahai….Gelombang Laut Bira
Teganya Kau Pisahkan Berbagai Hati yang Dibaluri Pluralisme Ini
Teganya Kau Pertemukan…. Lalu Kau Pisahkan Kembali
Aku Menuntut Kepadamu….. Tuk Mempertemukan Kami Kembali

Wahai….Gelombang Laut Bira
Aku Mengadu Pada Terumbu-Terumbu Karangmu
Menangis Pada Ikan-Ikan Dan Binatang-Bianatang Lautmu Yang Cantik
Tentang Keindahan, Tentang Keharuan, Tentang Segalanya Yang Membuat Kami Berbeda
 
Wahai….Gelombang Laut Bira
Aku Janji Untuk Datang Mengunjungimu Kembali
Dengan Membawa Berita Tentang Indahnya Damai Yang Aku Ceritakan
Pada Kamu  Malam Ini Di Atas Pasir Putihmu…
                                                            Tangjung Bira, 240102.  Pukul.  01.20 Wita