A. Pendahuluan
Round table merupakan pranata berfikir kritis menjembatani persoalan
kemanusiaan yang belakangan jadi trend, yaitu persoalan pluralisme dan
tolerasni berikut semua dampak yang mengikutinya. Terjadinya fenomena koflik
sosial, kekerasan sosial dan seabrek tindak diskriminatif dengan nuansa
SARA adalah merupakan konsentrasi keprihatinan Forlog lewat round table.
Secara kronologis round table adalah kelanjutan aktifitas dari kuliah
terbuka tiga hari bersama Prof. Dr. Olaf Schumann, Prof. Dr. Darmawan Mas'ud
dan beberapa pemikir-pemikir Sulawesi Selatan, yang digelar di STT INTIM
Makassar dan IAIN Makassar dengan agenda transformasi agama dan budaya
di tengah-tengan kekerasan sosial. Ada beberapa hal yang menyebabkan dua
momen aktifitas dimaksud terangkai. Pertama, bahwa secara terminologis
masih ditemukan banyak sekali kedangkalan bahkan kejanggalan pemaknaan
terhadap beberapa istilah seperti agama, reformasi dan tranformasi. Kedua,
mencuatnya trend kekerasan dan diskriminasi sosial telah mendorong Forlog
untuk lebih serius memikirkan jalan keluar usaha-usaha minimalisasi dan
antisipatif dari patologi sosial yang sementara menggelepar di atas. Ketiga,
mesti dirumuskan langkah-langkah konkrit dan sistematis dalam rangka peningkatan
kesadaran pluralisme dan egalitarianisme.
Forlog menyadari bahwa melakukan kinerja transformasi bukanlah sebuah
proses spontanitas, akan tetapi proses ini membutuhkan sebuah konstruk
kesadaran atau bangunan fakultas mentalitas yang apresiatif terhadap khazanah
agama dan budaya yang universal. Dan karenanya, momen round teble diharap
potensial mengakomodasi kehendah-kehendak suci dari kepelbagaian, kemanusiaan
dan shalom.
B. Waktu dan tempat pelaksanaan
Round table dilaksanakan pada tanggal 16 Oktober 2001 di Hotel Anggrek
Delia Makassar.
C. Segmentasi peserta
Peserta yang mengikuti round table berjumlah 33 orang dengan latar
belakang tingkat pendidikan (S 1 – Doktor) dan disiplin berbeda (agamawan,
intelektual, budayawan, psikolog, praktisi hukum, dosen, mahasiswa dan
aktifis LSM).
D. Proses pelaksanaan kegiatan
Secara sederhana proses optima dari round table terdiri dari beberapa
sesi sebagai berikut:
1. Pembukaan. Sesi ini berjalan sederhana, santai, tidak formal dan
penuh canda tawa, namun padat makna. Pada sesi ini dibeberkan hasil rumusan
kuliah terbuka tim yang dibentuk Forlog sebagai penguakan impresario atau
mengingatkan kembali peserta round table beberapa pokok masalah yang diidentifikasi
pada kuliah terbuka.
2. Brain storming. Dimaksudkan untuk mengakomodasi evaluasi kritis
gagasan-gagasan peserta round table pasca kuliah terbuka dan sejauhmana
hubungan kualitatif gagasan-gagasan itu dengan dinamika perubahan lingkungan.
Untuk itu, pada sesi ini semua peserta round table diberi kesempatan untuk
menyampaikan uneg-unegnya. Selanjutnya, dari uneg-uneg tersebut dirumuskan
beberapa agenda yang nantinya akan dibahas dalam forum diskusi komisi.
3. Forum diskusi komisi. Ada empat komisi yang dibentuk berdasarkan
identifikasi masalah, yaitu (1) komisi klarifikasi atau redefenisi terhadap
beberapa istilah seperti reformasi, transformasi, agama, budaya dan lain-lain,
(2) komisi analisi realitas yang mencoba untuk melihat hubungan-hubungan
kausalitas dan berpengaruh dari berbagai sektor seperti politik, ekonomi,
hukum dan lain sebagainya, (3) komisi konsep dan misi untuk agama yang
mentransformasi dan ditransformasikan. Komisi membahas berbagai persoalan
sosial dengan menjadikan agama sebagai inspirator, motivator dan dinamisator
bersosialisasi dalam kehidupan orang-seorang maupun kolektif sebagai miniature
warga bangsa, dan (4) komisi konsep dan misi untuk budaya yang mentransformasi
dan ditransformasikan. Komisi membahas berbagai persoalan sosial dengan
menempatkan budaya sebagai sumber inspirasi, motivasi dan dinamika bersosialisasi
dalam kehidupan orang-seorang maupun kolektif sebagai miniatur warga bangsa.
Masing-masing komisi diberi kesempatan berdiskusi selama satu jam dan merumuskan
hasil komisinya untuk dipresentasi pada rapat pleno. Catatan lain pada
sesi ini adalah bahwa waktu yang tersedia tidak berdaya menampung gagasan
peserta round table. Tidak ada balancing antara banyaknya persoalan yang
mengemuka dengan alokasi waktu yang tersedia. Dan peserta hanya mampu berdalih
bahwa “masih ada waktu”. Secara teknis, rumusan itu ditulis di atas kertas
plano (koran) selanjutnya ditempelkan di dinding ruang round table.
4. Forum pleno. Sesi ini merupakan wadah presentasi hasil-hasil diskusi
empat komisi. Masing-masing komisi diberi waktu mempresentasikan hasil
komisinya dan selanjutnya ditanggapi oleh komisi lain. Forum berjalan dinamis,
alot, sarat kritik maupun otokritik, dialogis dan sangat terbuka. Berbagai
persoalan dikaji secara transparan “menjamah” dimensi yang tidak hanya
substansial tapi juga sensitive dari doktrin agama dan norma budaya. Pikiran-pikiran
seperti kegagalan tokoh agama dalam mewarisi pemahaman agama kepada umat,
fenomena pemaksaan agama dalam proses transformasi nilai-nilai agama, kebutuhan
perombakan tafsir dan perumusan tafsir baru misalnya adalah merupakan tiga
gagasan dari banyaknya gagasan yang mengemuka dalam sesi ini.
E. Langkah-langkan konkrit
Sebagai bentuk apresiasi peserta terhadap berbagai persoalan di seputar
pluralisme dan kemanusiaan, maka telah dirumuskan beberapa langkah konkrit
di beberapa bidang sebagai berikut:
1. Di bidang agama
a. Harus dilakukan penafsiran baru terhadap pesan-peasan “kitab suci”
untuk mendapatkan cara pandang dan sikap beragama yang substansial dan
universal, yaitu cara pandang agama atau paradigma beragama yang menghormati
kebinekaan, kebebasan, keterbukaan, keadilan, persaudaraan dan kemanusiaan.
b. Perlu dilakukan dialog intensif interen dan antar umat beragama
untuk membuka ruang yang memungkinkan bagi tumbuh dan berkembangnya kesadaran
budaya toleransi antar umat beragama dan solidaritas antar sosial warga
bangsa – sekaligus warga dunia.
2. Di bidang budaya
a. Harus ada upaya serius untuk melakukan penggalian, pemeliharaan
dan pewarisan potensi, khazanah atau kearifan budaya lokal yang potensial
pengembangan sikap pluralisme, egalitarianisme, humanitarian dan pembebasan
bagi masyarakat.
b. Harus dilakukan usaha-usaha pengembangan budaya sebagai sebuah kekuatan
resolusi konflik baik lokal, nasional maupun global.
3. Di bidang hukum
a. Harus dilakukan revolusi hukum, pembebasan hukum dari budaya atau
tradisi KKN, baik sistem, materi maupun personil. Hal dimaksudkan agar
penegakan supremasi hukum dapat berjalan sesuai cita-cita reformasi.
b. Pada tataran praksis, penegakan hukum harus memperhatikan rasa keadilan
rakyat dalam melahirkan kebijakan dan menentukan kepastian hukum sehingga
manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat.
c. Harus dilakukan usaha-usaha pelestarian hukum adat dan membuka ruang
yang terbuka bagi penerapannya.
4. Di bidang pendidikan
a. Perlu dilakukan perombakan kurikulum pendidikan agama-agama (SD
– PT) sebagai media transformasi spiritual, kognisi, afeksi dan psikomotorik
umat beragama dalam menjalankan ajaran “kitab suci”, sehingga materi-materi
pendidikan agama kemudian berdaya menumbuhkan kesadaran beragama yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebhinekaan, kebebasan, keterbukaan, keadilan, persaudaraan
dan kemanusiaan.
b. Harus ada upaya sinergis dalam membangun ruang yang terbuka bagi
proses pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah dan masyarakat.
F. Penutup
Demikain laporan narasi ini dibuat sebagai bentuk pertanggung jawaban
atas terlaksananya kegiatan round table.
Makassar, 17 February 2002
An.
Panitia Pelaksana
Zet. A. Sandia