Artikel

 

Seri Sikap Hati :

-. Rasa Bersalah .-

(guilt)

Oleh

Pdt Budimoeljono.R.


Apakah Rasa Bersalah?

G. Belgum, sebagaimana dikutip Pdt. Dr. Yakub Susabda dalam bukunya - Pastoral Konseling, jilid 2 - mengatakanbahwa Rasa Bersalah adalah sesuatu dimana agama dan psikologi bertemu. Bahkan dibandingkan dengan berbagai persoalan hidup manusia yang lainnya, tampaknya Rasa Bersalah menjadi topik persoalan yang paling banyak menuntut perhatian.

Ketika berbicara dengan orang-orang yang sedang mengalami depresi, kesepian, pergumulan Rumah Tangga atau pernikahan, dll., maka Rasa Bersalah merupakan bagian langsung dari pergumulan dan persoalan tersebut. Seperti dikatakan Bruce Narramore, Rasa Bersalah selalu ada di dalam setiap masalah psikologis.

Menurut Dr. Yakub, Rasa Bersalah dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu:

A. Objective Guilt
Rasa Bersalah dalam jenis ini dapat muncul dikarenakan oleh adanya pelanggaran hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Tapi anehnya, orang yang melakukan pelanggaran tidak selalu merasa bersalah. Oleh karena macam pelanggaran hukum beraneka ragam, maka Rasa Bersalah menurut jenis pelanggarannya perlu dibedakan dengan lebih rinci lagi, yaitu:

§ Legal-Guilt
yaitu guilt yang menjadi masalah oleh karena pelanggaran terhadap hukum tertulis yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah pembunuhan, pencurian, perzinahan, dll., menimbulkan masalah guilt, namun tidak semua orang yang melakukannya merasa guilty.

§ Social-Guilt
ialah rasa bersalah yang muncul ketika terjadi pelanggaran terhadap hukum tak tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya: penghinaan, ancaman, dsb. Yang tidak ada barang bukti untuk diadukan ke pengadilan, namun menumbuhkan perasaan bersalah.

§ Personal-Guilt
yakni perasaan bersalah yang muncul tatkala berlangsung pelanggaran terhadap kesadaran akan kebenaran dalam hati orang yang bersangkutan. Misalnya: guilt yang muncul karena orangtua memukul anaknya tanpa alasan yang benar, suami meninggalkan isterinya yang menunggu di rumah dengan makan malam sendiri.

§ Theological-Guilt
yaitu guilt akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Alkitab memberikan standar kelakuan yang ketika dilanggar akan menumbuhkan rasa bersalah walapun yang bersangkutan tidak merasakannya (Why.20:21).

Kekerasan hatilah yang menyebabkan kurang atau hilangnya kepekaan rasa bersalah.

B. Subjective Guilt
Subjective Guilt adalah Rasa Bersalah yang menimbulkan rasa sesal dalam diri orang yang bersangkutan. Reaksi lanjutannya bisa memunculkan rasa takut, putus asa, cemas, sampai sikap yang terus menerus menyalahkan diri dengan menganggap telah melanggar prinsip kebenaran yang diyakininya meskipun belum tentu melanggar.

Dikatakan oleh Narramore bahwa Subjective Guilt dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:

§ Takut akan Hukuman
§ Perasaan kehilangan harga diri
§ Perasaan kesepian dan ditolak

Perasan bersalah macam ini tidak selamanya buruk, sebab ada kalanya dapat menjadi pendorong untuk memperbaiki diri serta menyadari bahwa dirinya membutuhkan Allah.

Apa Penyebab Guilt?

Ketika Alkitab menyebutkan guilt atau guilty selalu dalam pengertian theological guilt. Dan rupanya tidak pernah dipisahkan guilt dari dosa. Oleh karena itu perlu disadari adanya 2 hal besar yang berkaitan dengan masalah guilt ini, yaitu:

A. Duka Cita Positif (Constructive Sorrow)
Istilah yang dipakai Narramore ini didasarkan pada 2 Korintus 7:8-10. Dalam bagian Alkitab tersebut, Paulus membedakan "duka cita dunia" - yang kurang lebih sama dengan Subjective Guilt/Perasaan Bersalah Subjektif atau Psychological Guilt - dengan "duka cita konstruktif" - yaitu kesadaran bersalah yang mengubah sikap hidup.

Misalnya ketika seorang sopir menabrak orang, ia dapat menunjukkan (a) duka cita dunia - dengan tahap-tahap merasa bersalah, mengutuki diri sendiri, dan selamanya tidak pernah mau mengendarai mobil; atau (b) constructice sorrow - dengan tahap merasa bersalah, rela dihukum, menyadari kesalahannya, dan berusaha memperbaiki kebiasaan mengendaranya.

Duka cita dunia lebih disukai karena dunia terikat oleh nafsu pembalasan. Itulah sebabnya orang merasa puas ketika orang yang bersalah dihukum dengan setimpal.

B. Pengampunan Allah (Divine Forgiveness)
Seiring dengan duka cita konstruktif dan bertentangan dengan nafsu pembalasan dunia, Allah datang memberikan apa yang kita kenal dengan pengampunan.

Salah satu tema besar Alkitab adalah pengampunan Allah. Yesus Kristus datang sebagai domba Allah yang mengangkut dosa dunia (Yoh.1:29) supaya manusia mendapatkan pengampunan dan didamaikan dengan Allah (Kis.5:30-31; Kol.1:14; Ef.1:7).

Kelahiran baru - yaitu proses diterimanya karya Roh Kudus berupa anugerah iman (Yoh.3:3; Ef.2:8; Rm.12:3) menjadi modal satu-satunya bagi orang untuk bertobat (Yoh.3:16,31-36). Dan oleh karena pertobatan maka pengampunan diberikan Allah (1Yoh.1:9). Kemudian bukti pertobatan - yakni kehidupan yang dipimpin Roh Kudus sehingga membuahkan kebaikan, kemurahan, kesabaran, dsb. (Gal.5:16,22-23) - menjadi tanda terjadinya peristiwa pengampunan.

Apa kata Alkitab?

Lebih berguna untuk mengenali alasan apa yang membuat orang merasa bersalah ketimbang mengapa orang melakukan pelanggaran.
Beberapa kemungkinan orang mengalami guilt disebabkan oleh:

A. Pengalaman Masa Lalu vs Realita
Standar tingkah lagu/pendidikan yang terlampau tinggi dan jarangnya pujian/dorongan dari orang tua bagi anak-anaknya akan menciptakan orang-orang yang tendensi menyalahkan diri terus menerus (self-blame), menilai diri buruk, dan rendah diri. Rupanya ia menjadi tidak sadar/terbiasa memakai standar yang tidak realistis untuk dicapainya. Lalu muncullah perasaan bersalah yang menghantui hampir seluruh usahanya sehingga berdampak adanya perasaan kurang puas/kurang berhasil dan menyalahkan diri.

Misalnya orang yang workaholic - gila kerja - yaitu orang yang merasa terdorong untuk terus menerus bekerja sebagai upaya untuk mencapai hasil yang lebih baik, serta untuk mengatasi rasa bersalah jika tidak berhasil. Sehingga, meskipun sudah berhasil tetapi tetap tidak pernah ada kata "puas" atau "cukup".

Betul bahwa Alkitab menekankan (a) kesempurnaan (Mat.5:48), (b) bekerja dengan penuh kesungguhan (Flp.3:12-16), tapi sekaligus (c) tidak meanggap diri lebih dari porsi kita (Rm.12:3), serta (d) tidak kuatir (Mat.6:34) yang ditunjukkan dengan (e) bekerja sesuai talenta yang diberikan Allah (Mat.25:15,21).

Dikatakan pula bahwa bagi mereka yang diberi banyak akan dituntut lebih (Luk.12:48). Sementara itu, Allah tidak menuntut lebih dari kekuatan kita (1Kor.10:13). Bahkan orang yang selalu merasa kurang dan tidak puas dengan anugerah Allah disebut sebagai hamba yang jahat (Mat.25:26) dan akibatnya segala sesuatu yang ada padanya akan diambil (Mat.25:29).

B. Rasa Rendah Diri dan Tekanan Lingkungan
Perasaan bersalah sangat erat hubungannya dengan perasaan minder. Kedua jenis perasaan ini dapat menjadi saling penyebab. Ada kalanya perasaan minder menghasilkan rasa bersalah, atau sebaliknya. Seseorang bisa merasa bersalah sekaligus rendah diri oleh karena "kesan" bahwa lingkungan memberikan penilaian yang rendah terhadap dirinya.

C. Perkembangan Hati Nurani yang Tidak Sehat
Alkitab menjelaskan bahwa hati nurani sudah diberikan Allah (Rm.1:21; 2:18), yang dapat dimatikan (1Tim.1:19), dan bisa melemah (1Kor.8:9), tapi juga dapat dikuatkan (Ef.1:18) serta dapat disucikan oleh Roh Kudus (Ibr.9:14).

Melalui larangan dan tuntutan - baik orangtua maupun lingkungan - seorang anak akan belajar mengembangkan Hati Nuraninya, yang pada akhirnya ia akan menangkap apa artinya rasa bersalah.

Memang, pada mulanya hati nurani seorang anak ditentukan oleh lingkungannya. Namun, pada tahap selanjutnya, ia akan berkembang menurut identitasnya sendiri. Dan, jika berkembang dengan baik, hati nuraninya akan membantu dia mengenali Kebenaran dan sebaliknya. Sayangnya banyak orang yang tidak hidup dengan hati nurani ini.

Menurut Lawrence Kohlberg, tingkat tingkah laku moral tertinggi disebut "Post Conventional Level" - yaitu hidup dengan prinsip etika dan moralitas yang cocok dengan hati nuraninya. Tapi, kenyataannya, orang yang berada pada level ini tidak dapat memberikan jaminan kebenaran yang diyakininya, sebab realitas hati nurani manusia tidak dapat dipercaya 100%. Bahkan dosa mengembangkan hati nurani yang tidak sehat (Tit.1:15). Oleh karena itu, setiap orang membutuhkan Wahyu Khusus yang mutlak kebenarannya (1Kor.2:14-16).

D. Pengaruh Kuasa Supranatural
Kesadaran manusia akan apa yang disebut jahat dan baik, barulah muncul sesudah peristiwa kejatuhan ke dalam dosa (Kej.2:7; 3:4,5,8,22). Sehingga, baik objecticve guilt maupun subjective guilt menjadi bagian hidup manusia. Jadi dosa membuahkan perasaan bersalah. Meski demikian, Alkitab menyatakan bahwa kuasa supranatural turut menciptakan rasa bersalah, yaitu oleh:

1) Roh Kudus
Roh Kudus menyadarkan manusia atas dosa-dosanya (Yoh.16:8,13; 14:26) sehingga orang yang merasa tidak berdosa disebut pendusta (1Yoh.1:8-10). Serta, orang yang mengeraskan hati/menolak Roh Kudus akan kehilangan perasaan bersalah (Kis.5:8; 1Sam.15:13-dst).

2) Roh Iblis
Iblis juga menggoda orang percaya untuk merasa bersalah atas apa yang tidak bersalah, lalu mebesar-besarkan kesalahan yang terampuni menjadi seakan-akan tak terampuni sehingga sebaliknya kesalahan yang fatal diabaikan (Yoh.8:44).

Apa Akibat Rasa Bersalah?

Akibat-akibat utama dari rasa bersalah yaitu:

A. Reaksi Membela Diri
Pembelaan diri menjadi reaksi pertama dari perasaan bersalah yang timbul secara otomatis/spontan. Misalnya: dengan memikirkan kesalahan/cela/kritik terhadap orang lain akan melupakan rasa bersalah yang ada pada dirinya sendiri.

B. Sikap Mengutuki Diri
Rasa bersalah dapat dipastikan merangsang timbulnya sikap menyalahkan diri sendiri dalm bentuk: gelisah, cemas, rasa rendah diri, rasa diri penuh kekurangan, pesimistis, rasa tak aman, marah terhadap diri sendiri. Bahkan tidak jarang dengan menghukum diri/berkeinginan membunuh diri. Seakan dirinya sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Kecenderungan untuk menghukum diri sendiri sangat besar.

C. Reaksi Sosial
Memisahkan diri/menyendiri/memutuskan kontak dengan lingkungan merupakan reaksi lain dari rasa bersalah yang tak teratasi. Biasanya, karena tak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga tendensi mengurung diri.

D. Reaksi Fisik
Perasaan bersalah dapat menumbuhkan sikap menghukum badan. Orang yang demikian merasa lebih rela menderita tubuh ketimbang perasaan. Apalagi penderitaan badan dapat menimbulkan rasa simpatik dari sesamanya.

E. Pertobatan dan Pengampunan
Tidak semua rasa bersalah berdampak negatif. Ternyata justru orang-orang yang mampu menerima, dan mengakui rasa bersalahnya akan dapat bertobat dan mengalami pengampunan dari Allah.

Kepustakaan
Susabda, Yakub B. tanpa tahun. Pastoral Konseling. (Jilid 2). Malang: Penerbit Gandum Mas.