SELAYANG PANDANG

Belum pernah sepanjang perkembangan masyarakat Indonesia sejak kemerdekaan, kita menyaksikan timbulnya perhatian besar terhadap penemuan hari jadi dan penulisan sejarah lokal di berbagai daerah di Indonesia seperti yang terjadi selama dua – tiga dasa warsa terakhir, justru ketika masyarakat Indonesia sedang membangun dan mencapai penyempurnaan integrasi nasionalnya. Ada pertanda bahwa mantapnya integrasi nasional dan meningkatnya usaha pembangunan telah ikut meningkatkan kesadaran sejarah masyarakat baik secara nasional maupun secara lokal. Meningkatnya kesadaran sejarah (historicalconsciousness)atau perasaan sejarah (historical sense atau historical mindednes) masyarakat sebagaimana yang tercermin dalam kecenderungan pencarian hari jadi dan penyusunan sejarah daerah, pada dasarnya adalah merupakan keunikan dari proses perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, karena kesadaran sejarah lokal muncul kembali setelah kesadaran nasional terbentuk, yaitu setelah negara nasional Indonesia terwujud. Sekalipun demikian kelahiran kesadaran sejarah lokal yang terakhir ini berbeda dengan munculnya kesadaran sejarah lokal pada masa tradisional seperti yang berlaku pada masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan kerajaan – kerajaan tradisional seperti kerajaan Mataram, Aceh, Makasar, Banjarmasin dan lainnya dengan buah karya sejarah lokal seperti Babad, Hikayat,Tambo, Silsilah, atau Kronik.

Apabila pada masa tradisional kesadaran sejarah lokal muncul sebagai pencerminan suatu “pandangan dunia” yang menempatkan daerah lokal menjadi pusat kesatuan dunia kehidupan sehingga cenderung melahirkan pandangan yang regiosentris, lokosentris dan atnosentris, maka tidak demikian halnya dengan kesadaran sejarah lokal yang muncul pada masa Indonesia modern. Kesadaran sejarah lokal yang muncul pada periode terakhir ini bukan merupakan pencerminan suatu pandangan dunia yang bersifat lokal, tetapi lebih merupakan pencerminan dari perspektif sejarah Indonesia sentris yang di tempatkan dalam lingkup wilayah yang lebih kecil. Dengan kata lain kesadaran sejarah lokal merupakan bagian dari kesadaran sejarah nasional dan bersifat komplementer. Sifat kelokalannya tidak berarti lepas dari ikatan nasionalnya, malahan sebaliknya dan bukan ada keterkaitan antara keduanya. Dengan demikian sejarah lokal dan sejarah nasional memiliki hubungan erat.

Meningkatnya kesadaran sejarah juga tercermin dalam kecenderungan pendirian monumen-monumen bersejarah,baik berupa tugu peringatan, patung pahlawan atau bangunan peringatan masa perjuangan dan revolusi atau peristiwa bersejarah maupun dalam bentuk meseum dan petilasan. Hampir disetiap kota besar atau kota dan daerah administrasi tertentu di Indonesia dijumpai monumen – monumen bersejarah yang menggambarkan daerah yang bersangkutan memiliki andil dalam peristiwa –peristiwa besar sejarah bangsa, seperti dalam masa perang kemerdekan atau revolusi,dan masa – masa perjuangan lainnya. Penampilan tokoh perjuangan atau sosok – sosok pejuang di tingkat lokal dalam bentuk monumen visual dijadikan lambang dan memori atau kenangan terhadap pengalaman kolektif pada masa lampau yang penuh arti bagi kehidupan masyarakat setempat. Lambang kenangan kolektif akan peristiwa bersejarah semacam ini secara norgatif penting artinya bagi pembinaan solidaritas sosial dan proses regenerasi bagi setiap masyarakat. Pengalaman sejarah dapat menjadi landasan pembentukan kesatuan masyarakat , dan pembinaan warga negara .

Hari jadi, monumen sejarah, dan penulisan sejarah ketiganya menyentuh kesadaran atau rasa sejarah yang secara normatif diperlukan oleh kehidupan masyarakat dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Hari jadi dan monumen bersejarah bermakna dalam merumuskan lambang pengalaman kolektif masa lampau, dan penulisan sejarah bermakna dalam menggambarkan proses perjalanan kehidupan masyarakat dari masa lampaunya sampai masa kini yang dapat dijadikan pegangan dalam memproyeksikan perjalanan kehidupan pada masa mendatang. Ketiganya memiliki segi – segi normatif yang secara strategis dapat berguna dalam menunjang pembangunan bangsa. Dalam hubungan ini kecenderungan pemilikan hari jadi, pendirian monumen – monumen bersejarah dan usaha penulisan sejarah lokal yang tampak berkembang pada masa dua tiga dasa warsa terakhir ini dapat dipahami.

Tidak berbeda dengan daerah – daerah lain di Indonesia, Pemerintah Kabupaten Bantul juga telah berhasil menemukan Hari Jadinya, yaitu pada tanggal 20 Juli 1831,setelah sebuah tim penelitian yang dibentuknya berhasil melakukan pelacakan. Hari yang dianggap bersejarah itu telah diresmikan dan dirayakan untuk pertama kalinya secara meriah pada tanggal 20 Juli 1986, sebagai hari ulang tahunnya yang ke 155. Hari kelahiran pemerintah Kabupaten yang penuh arti ini akan diperingati pada setiap waktu pada masa – masa selanjutnya. Usaha pemilikan hari jadi juga dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo pada masa yang hampir sama, dilingkungan wilayah propinsi yang sama yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, bekas wilayah Kasultanan Ngayogyokarta Hadiningrat. Pada tahun-tahun yang sama, sejumlah daerah Kabupaten di daerah Propinsi Jawa Tengah juga terdengar giat melakukan penemuan hari jadinya,seperti misalnya, Pemerintah Kabupaten Sragen, Ngawi ,Temanggung, Kendal ,Brebes dan lainnya. Jauh sebelumnya kota – kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta Medan, Ujungpandang dan Semarang, telah melakukan penemuan hari Jadinya dan telah berulang kali di rayakan. Hal yang menarik dari pencarian hari jadi ini ialah digunakannya penelitian yang mencoba melacak peristiwa- peristiwa sejarah kemasa lampau yang sering cukup tua dan mencoba menggunakan bahan – bahan sejarah. Hal ini berarti bahwa perhatian terhadap penelitian sejarah mulai timbul, yang mungkin sebelumnya kurang mendapat perhatian.

Selain hari jadi, pemerintah Kabupaten Bantul juga menaruh perhatian untuk memiliki penulisan sejarah daerahnya. Penulisan sejarah Bantul selain penting bagi pemerintah dan masyarakatnya juga penting akan artinya bagi kasanah pengetahuan sejarah lokal dan Indonesia pada umumnya bagi masyarakat dan pemerintah setempat, sejarah Bantul akan merupakan lambang kesatuan lokal baik secara administratif, geografis, maupun sosial dan kultural. Secara regional ,terutama daerah Yogyakarta, sejarah Bantul akan berguna dalam melengkapi gambaran sejarah (masyarakat) Yogyakarta secara keseluruhan . Lebih – lebih karena wilayah Bantul sekarang merupakan salah satu daerah yang pernah menjadi pusat sejarah (historical center) atau kompleks sejarah (historical complex) bagi kelahiran pusat kerajaan Mataram maka penulisan sejarah Bantul memiliki alasan yang lebih kuat, terutama dalam kaitannya dengan sejarah Mataram atau Yogyakarta. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa penulisan sejarah Bantul dalam perspektif sejarah nasional dapat menggambarkan sejarah masyarakat Indonesia secara luas. Semakin banyak sejarah daerah diungkap maka akan semakin kaya pula gambaran sejarah masyarakat Indonesia diperoleh.

Dalam kerangka pikiran seperti tersebut diatas itulah penulisan sejarah Bantul ini dimaksudkan. Penulisan ini sebenarnya beranjak dari tindak lanjut penelitian pelacakan hari jadi yang telah dilakukan pada tahun 1984/1985 dan telah menemukan hari jadi seperti tersebut di atas. Apabila penelitian sebelumnya semata – mata ditujukan untuk menemukan satu peristiwa penting yang menjadi tonggak awal kelahira Bantul sebagai kesatuan wilayah administratif, maka penulisan sejarah Bantul dimaksudkan untuk melukiskan gambaran yang lebih luas dari sekedar peristiwa (event) kelahiran. Dalam hubungan ini pengertian sejarah sebagai cerita “ (story) disamping sebagai “peristiwa”(avent), mungkin akan banyak mewarnai. Sekalipun demikian bukan maksudnya melukiskan sejarah yang semata – mata narrative ( lukisan cerita ) ala Herodotus dan juga bukan jenis sejarah yang annalistic ( annal, kronologi fakta tanpa hubungan ), dan yang bersifat genetic ( asal – usul ) semata.Lebih dari itu yang dimaksud di sini adalah pelukisan gambaran kehidupan masyarakat secara prosesual dan sruktural, dalam rentangan waktu diakhrinis ( temporal ) dan lingkup wilayah spatial yang terbatas.

Penggambaran proses sejarah Bantul disini akan dibatasi pada lingkup spatial ( tempat ) dan temporal tertentu. Secara spasial lingkup penggambaran sejarah akan dibatasi daerah kesatuan ( unit ) administratif pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II. Sengaja untuk penggambaran akan dibatasi pada unit administratif Dati II , karena akan lebih mudah mengenal batas – batas geografis administratif dari kata”Bantul “ disini lebih dimaksudkan sebagai nama wilayah administratif Dati II daripada nama “desa”secara antropologis.