Percikan Api Masih Menyala.
Hari ini, tgl. 29 Maret 2001, berita Nasional TVRI pukul 06.20 WIB secara
tegas menyampaikan berita tertangkap tangan salah satu warga Madura membawa
bom rakitan yang amat berbahaya di Kab. Kotawaringin Barat yang merupakan
basis suku Madura ke dua terbesar di Kalteng.
Kapolres Kobar sebelumnya tgl. 28 Maret 2001 dalam berita koran
Banjarmasin Pos telah berhasil menggerebek 149 buah bom dari rumah-rumah suku
Madura di Kobar.
Hal ini nampaknya terkait dengan skenario besar di Sampit yang bocor
melalui orang Dayak menikah dengan suku Madura, membeberkan rencana suku
Madura membangun kekuatan dengan merakit 3.500 buah bom untuk didistribusikan
se Kalteng.
Selama perang terbuka di Sampit, bom-bom suku Madura tersebut kurang
efektif menghadapi gerakan gerilyawan suku Dayak yang sporadis, hanya satu
orang yang putus tangannya terkena bom tersebut. Beberapa bom lainnya
dijinakkan dengan mudah dan dilempar balik kepada suku Madura. Karena mereka
pada umumnya menyerang bergerombol, maka memang korban lebih banyak pada pihak
suku Madura.
Khusus di Palangka Raya sendiri, sampai hari ini 29 Maret 2001 telah
disita oleh Kapolres sebanyak 86 buah bom rakitan dari perumahan warga Madura.
Nampaknya warga Madura kebanyakan pendidikannya rendah, kurang paham
penggunaan bom-bom tersebut, sehingga pada kejadian awal di kota Sampit
sebelum peristiwa bentrokan besar tanggal 17/18 Feb. 2001, secara tidak
sengaja sebuah bom meledak di rumah warga Madura menewaskan seisi rumah
tersebut.
Salah satu tipe bom Madura ini cukup canggih berbentuk bola tenis apabila
dilempar menyentuh tanah akan meledak berhamburan, pecahannya berbahaya bagi
massa yang bergerombol.
Hari ini 29 Maret 2001 Kota Kuala Kapuas berhasil dikuasai oleh Dayak dan
mereka berhasil membebaskan 5 orang tahanan Polres Kapuas.
Tahanan warga Dayak sampai hari ini di Polda Kalteng sebanyak 84 orang,
satu orang bernama Ir. Fedlik L. Asser, M.Sc; Lewis, BBA, dan yang lainnya
terdiri dari orang-orang muda rata-rata usia 30 tahun ke bawah.
Suku Madura di Sampit memang amat kuat posisinya, dalam kunjungan
Presiden ke Kalimantan Tengah, selalu tujuan utamanya ke Sampit, karena
sebagaimana di ketahui umum, para pengawal Presiden termasuk Menteri
Pertahanan berasal dari Suku Madura.
Sekitar tahun 1999, Wahyudi K. Anwar Bupati Kotim di
Sampit, bersama ulama Madura dan warga pendatang lainnya pernah
mendeklarasikan berdirinya Propinsi Kotim. Setelah menjadi Bupati, beliau
tetap mengatakan bahwa Kotim potensial menjadi Propinsi.
Berdasarkan data kami Bupati ini kemungkinan keturunan Madura, Kakeknya
mungkin Madura Jepara bernama Bele dan neneknya Merlem, melahirkan Kasypul
Anwar yang diangkat anak oleh orang Banjar dikawinkan dengan orang Samuda
(pusat permukiman
Madura) di Kotim. Melahirkan Bupati ini.
Banyak hal yang terungkap di daerah Kalteng ini, upaya terpola untuk menekan
psikologis Dayak agar menjadi seperti suku terasing seperti Indian dllnya itu.
Pola kekerasan dan ancaman penghilangan nyawa ditunjang dengan kolusi luas
warga Madura dengan pemerintahan pusat dan daerah terhadap suku Dayak melalui
Budaya Carok hampir saja berhasil.
Itu mengapa beberapa pangkalima dari Kalbar datang
membantu.
Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, Erna Witoelar dalam beberapa
kesempatan berbicara di TV sudah exhausted meminta kesadaran warga pengungsi
Madura di Sambas dan lainnya itu untuk menerima pengaturan permukiman baru.
Namun himbauan itu tidak diperhatikan, malah diprovokasi oleh tokoh-tokoh
Madura untuk tidak menerimanya. Lihat saja masalah pengungsi Sambas yang tidak
pernah selesai ... itu.
Alasan negara kesatuan RI menjadikan mereka selalu menuntut hak daripada
kewajiban untuk menghargai sesama manusia. Kewajiban untuk mengontrol kriminal
migrans, tidak pernah diperdulikan. Sensus dan KTP tidak pernah mendata dengan
berhasil migran Madura yang amat besar datang ke Kalteng dengan terbukanya
transportasi massal kapal laut via Surbaya, Semarang, Cirebon, Jakarta dan
lainnya.
IKAMA menggunakan migrans ganas tersebut untuk mendapatkan tenaga buruh
murah-meriah di bawah ketentuan Upah Minimum Regional (memang tidak berlaku
bagi mereka) untuk menguasai perekonomian dan menekan mental warga lokal.
Warga lokal amat mengerti tentang prinsip ekonomi,
dimana mengelola sumber daya alam lebih menguntungkan daripada menjadi buruh
dan tenaga kasar itu.
Perbedaan prinsip ekonomi dan sosial-budaya dipandang penghambat kemajuan
warga Madura, sehingga mereka berupaya menekan warga Dayak secara sistematis
melalui psikologi kekerasan ... dan memang hampir berhasil...