Salah Kaprah tentang Prinsip Ekonomi Orang Dayak.
Buruh – pekerja kasar bagi orang Dayak tidak menguntungkan, karena
dikontrol dan dianggap dimanfaatkan oleh para cukong untuk mendapatkan
keuntungan besar. Apalagi saat ini adanya Standar Nadional tentang Upah
Minimum Regional (UMR) di Indonesia yang dihitung tidak memenuhi standar
kehidupan ekonomi yang cukup adil.
Kemiskinan di pulau Jawa-Madura menyebabkan banyak migran pengangguran,
kriminal, pelacur, pengemis, abang becak dan lainnya datang ke Kalteng,
mencari kehidupan baru yang lebih baik.
Misalnya, pelacur di Pal 12 Jl. Tjilik Riwut Palangka Raya, didominasi
warga pendatang. Buruh-buruh pelabuhan, bangunan, pembangunan jalan menjadi
lahan empuk bagi warga Madura yang di upah sekadarnya oleh para cukong Madura.
Wilayah domain ekonomi Dayak adalah Lahan dan Sumberdaya alam. Mereka
berladang, berkebun, menanam rotan, pohon-buah-buahan, dalam skala besar.
Ekonomi perspektif masa depan jangka panjang. Hutan dipelihara untuk tetap
menghasilkan sumber hewani dan
nabati bagi keluarga. Permukiman di tata untuk tidak meluas secara sporadis
menghindari kawasan-kawasan yang sakral dan sumber daya bagi kehidupan
masyarakat Dayak jangka panjang.
Mereka dengan cerdik membangun perladangan berpindah, merotasi masa tanam
memelihara kesuburan lahan. Pada awal pembukaan lahan, dilakukan pembuatan
sekat bakar. Untuk membasmi hama – penyakit tanaman, lahan di bakar dan
diolah mensterilkan lahan dari kera, babi, binatang perusak tanaman dan lahan
lari dari lahan yang di bakar, menjadi siap tanam bebas hama-penyakit.
Pembukaan lahan dengan cara lain menggunakan herbisida dan pestisida kurang
populer karena dianggap berbahaya bagi kesehatan dan hanya bertahan sementara
dari serangan hama penyakit tanaman.
Tanaman pertama, adalah padi dan jagung dan palawija lainnya. Selama
sekitar tiga tahun pada saat kondisi lahan menurun, mulai ditanam tanaman
keras berupa karet, rotan, jelutung, pohon buahan dan lainnya. Lahan dibuat
jeda, seraya merawat tanaman keras yang ada,
setelah penyiapan tanaman keras tersebut selesai, mereka membuka lagi
lahan lain yang dianggap sesuai untuk areal tanam baru. Setelah sekitar 5
(lima) tahun mereka kembali ke lahan pertama tadi untuk kembali mengolah lahan
bagi penanaman padi dan palawija serta memelihara tanaman keras yang ada.
Kebutuhan protein diambil dari sungai dan hutan, melalui perburuan dan
memancing dengan tertib.
Hasil dari kegiatan tersebut selama bertahun-tahun amat menguntungkan,
dibandingkan kegiatan ekonomi jangka pendek ala Madura tersebut di atas.
Mereka berkerja keras memanen hasil tanaman. Karet di sadap dengan turun
ke kebun dini hari, sebelum mata hari pertama menyapa pagi, getah karet akan
mengucur deras pada dini hari, siang hari getah karet akan mengental.
Pengambilan rotan dilakukan secara selektif, rotan yang telah matang di
panen dengan menghindari pengrusakan media panjatnya. Memanen rotan adalah
kerja yang amat keras, hidup dengan gigitan nyamuk, ancaman ular berbisa,
binatang buas, dan jauh dari keramaian duniawi.
Kebun rotan sengaja tidak dibersihkan, karena apabila dibersihkan
penyinaran matahari akan merusak anakan rotan dan merusak media panjat. Salah
kaprah warga Madura menganggap kebun rotan itu adalah hutan rotan yang
disediakan alam untuk mereka.
Kebun rotan sering berasosiasi dengan kebun karet yang menghutan, karena
prinsip penanaman rotan yang harus memenuhi prinsip kesenyawaan dengan
lingkungannya. Belum pernah ada kebun rotan yang dapat tumbuh baik di lahan
terbuka monokultur.
Pola pertanian yang senyawa dengan kemampuan mengalokasikan tenaga kerja
secara tepat dan membaca sifat-sifat alam.
Karet yang menghutan dengan rotan dan tanaman buah-buahan dianggap warga
Madura adalah lahan yang disediakan alam. Dalam sejarah penyebaran karet itu,
bahwa karet bukan tanaman endemik (asli) Kalteng, melainkan datang dari
Barsilia beratus tahun lalu. Oleh karena itu karet jarang ditemukan di luar
areal sepanjang aliran sungai.
Media massa selalu menulis, warga Dayak pemalas, tidak mau bekerja keras
dan tergantung alam. Sebuah penghakiman yang menambah frustrasi orang Dayak.
Kebun buah-buahan dan kebun
yang menghutan dianggap orang Madura adalah karunia alam yang dapat dimiliki
dengan keteguhan hati dan semuanya itu lahan Indonesia.
Untuk menjual hasil alam dan kebun, maka sarana transportasi yang layak
diperlukan. Disinilah buruh pekerja kasar migran memainkan peranan menentukan
tarif dan menentukan syarat pengangkutan. Biaya angkutan di atur oleh para
jawara pelabuhan sungai dan laut yang ada di Kalteng, yang mematikan usaha
masyarakat dengan ekonomi biaya tinggi.
Lahan yang ada dikuasai oleh suku Madura yang salah kaprah dengan pola
budaya ekonomi Dayak. Lahan tak bertuan .... lahan milik Republik Indonesia,
kata mereka. Hati yang keras dan budaya carok digunakan untuk menguasai lahan
Republik Indonesia.
Pembelaan diri orang Dayak dianggap mengancam rasa persatuan dan kesatuan
dan rasialis. Orang Dayak yang tidak mampu bertahan, pergi jauh kepedalaman,
menghindari kericuhan di lahannya sendiri.
Beberapa dekade terakhir mereka mengangkut kayu hasil penebangan liar
dengan perahu Madura yang terkenal ahli mengarungi lautan, siang dan malam.
Seluruh potensi ekonomi yang ada dianggap karunia Tuhan bagi mereka dan wajib
diambil untuk menghidupi kerabatnya yang semakin banyak datang ke Kalimantan
Tengah.
Berdasarkan data visual, sebenarnya pendidikan warga Madura yang datang
ke Kalteng amat rendah, dibandingkan orang Dayak sendiri, orang Dayak sampai
kepelosok rata-rata mampu berbahasa Indonesia dan membaca, sedangkan warga
migran Madura hanya sedikit yang mampu membaca.
Orang Dayak yang mempertahankan prinsip ekonominya dan tidak mau menjadi
buruh kasar dan pekerja amoral dianggap malas dan penakut.
Kemudian datanglah usaha eksploitasi hutan besar-besaran, seluruh areal
Kalteng dianggap hutan oleh pemerintah pusat. Kebun tradisional yang menghutan
adalah hutan dan buruh-buruh migran datang bersama para cukong membabat habis
harapan masa depan itu.
Seluruh hasil hutan tidak boleh dijual langsung ke luar negeri, tetapi
harus transit atau diolah di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur. Transmigran
didatangkan dengan gegap gempita. Lahan Gambut satu juta hektare di Kapuas
hancur luluh ekosistemnya di buka untuk para migran tersebut. Proyek gigantic
yang gagal, menyisakan migran Madura yang ganas dan mudah tersinggung.
Para Kiyai berulang kali datang ke Sampit dan Palangka Raya untuk
memotivasi kaum migran menggali sumber daya yang ada di Kalteng. Kesuksesan
ekonomi jangka pendek menyebabkan migran berbondong-bondong datang ke Kalteng.
Lahan tambang modern dan tradisional dipenuhi warga migran, dan yang
terhebat adalah migran Madura, memanfaatkan setiap jengkal tanah orang Dayak,
mematok dan membangun permukiman, mendatangkan lagi migran Madura secara
besar-besaran. Budaya clurit dan carok menjadi momok kepada Dayak yang membela
diri dan ketakutan menyingkir dari keramaian dunia fana.
Warga Dayak yang taat pengaturan pemerintah terpuruk, mereka ikut
Keluarga Berencana, migran Madura tidak. Warga Dayak tidak mendapat subsidi
untuk membangun permukiman, warga Madura memperoleh kemudahan mendapatkan
lahan dengan alasan program transmigrasi yang menunjang transmigrasi swadaya.
Warga Dayak menjadi minoritas yang menyingkir kepedalaman dan ketakutan.
Migran Madura tidak pernah di data, karena para pejabat saat itu dari
Gubernur RTA. Milono, Gatot Safari Amrih, Edy Sabhara, Suparmanto, dan Warsito
Rasman tidak mengijinkan pendataan warga pendatang, karena katanya mereka
adalah Saudara kita yang mencari penghidupan yang layak.
Warga Madura mulai memanen kebun-kebun warga Dayak, baik di kota mau pun
di Desa, setiap perlawanan dianggap menghalangi rasa persatuan kesatuan
Indonesia. Para tokoh Madura bangga dengan pekerja Madura yang dianggap
berkerja keras dan lebih pintar dari warga Dayak. Mereka memotivasi migran
lebih banyak datang ke Kalteng, tanpa seleksi. Sudah menjadi hal biasa, warga
Madura memanen kebun dibelakang rumah penduduk warga Dayak, apabila ditanya
mengapa demikian, mereka selalu menjawab sudah mendapat ijin dari Tuhan, dan
mengancam dengan clurit. Pohon nangka saya yang lebat di belakang rumah di
panen oleh seorang Madura dengan membawa gerobak besar. Ketika minta
pertanggungjawabannya dia menentukan harga Rp. 500,- (lima ratus rupiah) untuk
pohon buah yang katanya tumbuh alami sendiri itu. Diminta harga yang wajar
dijawab dengan mengeluarkan clurit.
Salah seorang warga Madura di Palangkaraya bernama H. Timbang, setelah
kerusuhan diketahui mencaplok tanah warga Dayak sebanyak lebih dari 150
kapling. Jumlah yang fantastis hanya untuk sebuah kekayaan yang layak.
Seorang warga Dayak bernama Anes (tahun 1998) yang mencoba meniru pola
penguasaan tanah di kota Palangka Raya seperti gaya H. Timbang dikeroyok oleh
warga Madura sampai badannya hancur di clurit. Dan pengeroyok tersebut nyata
terlihat, menghilang begitu saja. Persoalan tanah dengan warga Dayak selalu
diakhiri dengan sweeping pembunuhan oleh warga Madura. Aparat kepolisian tidak
berdaya dengan kelihaian menghilang kriminal gaya Madura itu yang didukung
IKAMA.
Ikatan Keluarga Madura (IKAMA) Palangka Raya menjadi basis legal yang
mendukung pola ekonomi Madura itu. Mereka membangun markas IKAMA persis
dibelakang rumah sakit dan komplek perumahan TNI Angkatan Darat. Sebuah
perisai yang sangat tangguh.
Tanah untuk perumahan pegawai Pemda Kalteng, di bagi dan dibayar angsuran
kepada seorang Madura bernama H. Tuyan. Mereka mampu memberikan rasa takut
kepada pemilik tanah warga Dayak yang telah berkebun di lahan tersebut.
Saya mempunyai keluarga yang kawin dengan Batak, Jawa, Sulawesi, Ambon,
Banjar, Minang selalu merasa heran, mengapa warga Madura sedemikian aneh polah
tingkahnya di rantau orang.
Kami kurang memahami apa yang terjadi di tanah Madura sendiri, karena
amat langka dan ngeri bagi orang Dayak untuk datang ke sana.
Masalah
Umum Perekonomian Daerah.
a.
Dari
wilayah seluas 153.564 Km˛, rata-rata 11,2 jiwa tiap meter persegi. Atau
rata-rata per desa/kelurahan 1409,2 jiwa. Sebaran sebaran penduduk pada
wilayah yang demikian luas dan kecilnya jumlah penduduk rata-rata per desa dan
kelurahan, menjadi tantangan dalam upaya untuk melakukan pembangunannya.
Isu
kekurangan SDM ini diselesaikan pemerintah pusat dengan program tarnsmigrasi
dan membebaskan migrasi besar-besaran penduduk khususnya dari pulau
Jawa-Madura. Keterbukaan transportasi laut memungkinkan masuk Kalteng dengan
bebas. Mutu SDM yang datang ini amat rendah, pada umumnya anggota masyarakat
ditempatnya yang kalah dalam bersaing. SDM ini sulit diharapkan dapat
membangun Kalteng, dimana mereka masih berpikir
tentang pemenuhan kebutuhan primer dan berpendidikan rata-rata amat rendah dan
buta huruf. Sayangnya data para pendatang ini tidak pernah diketahui pasti.
Sensus penduduk pun tidak pernah menyentuh mereka. Kalteng menjadi keranjang
sampah Nasional.
b.
Ekonomi
yang berpola hit and run (hantam dan lari) hanya untuk mencari kapital dari
sumberdaya alam Kalimantan Tengah dan membawanya ke tempat lain untuk
ditransformasi ke bentuk investasi lainnya yang umumnya pada wilayah yang
lebih banyak / maju infrastrukturnya. Pola ekonomi yang di dukung dengan
insentif migrasi yang tidak terkendali, kesalah pahaman tentang persatuan dan
kesatuan Indonesia, setiap usaha penduduk lokal melindungi sumber daya alamnya
dianggap menghalangi / mengurangi persatuan dan kesatuan dan rasialis. Upaya
pencucian kebelakang (backwash and drain) sumberdaya alam membawa dampak
merusak ekosistem pola ekonomi masyarakat Dayak mengurangi kemampuan mereka
merotasi / siklus pola tanam pertanian tradisional yang terputus, menghambat
adanya income yang diperoleh secara teratur.
c.
Luasnya
wilayah dihubungkan dengan ketersediaan prasarana transportasi, untuk
mobilisasi produksi Daerah, penyebaran barang-barang kebutuhan dasar dan
kebutuhan pokok, yang pada dasarnya masih terbatas. Prasarana jalan darat yang
masih belum seluruhnya menjangkau pusat dan wilayah-wilayah pemukiman dan
pusat pemerintahan. Sedangkan transportasi sungai menghadapi kendala musim dan
lamban karena sifat angkutannya dan karena sifat jalurnya. Transportasi massal
berupa angkutan laut yang ditujukan kepelabuhan Sampit dan Kumai mendatangkan
banyak masalah bagi penduduk Kalteng, karena menjadi sarana migrasi
besar-besaran penduduk dari pulau Jawa-Madura tanpa identitas dan arahan dari
pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah yang terjebak dalam pemikiran
Nasional, mereka yang datang pada umumnya lebih agresif memanfaatkan sumber
alam tanpa pengetahuan akan aspek peri kehidupan lokal. Kebanyakan pendatang
ini menganggap, segala sesuatu yang berbau lokal dianggap terkebelakang /
primitif, mereka mendayagunakan sumber alam untuk tujuan pemecahan masalah
kemiskinan dengan perspektif jangka pendek. Partisipasi untuk membangun pola
ekonomi tradisional yang telah ada tidak pernah muncul. Kalteng menjadi lahan
bagi mayoritas pendatang yang menganggap bumi Indonesia dapat dieksploitasi
sebebas-bebasnya. Kerusakan alam yang terjadi dikatakan oleh banyak orang
pintar selalu akibat dan sebabnya ditimpakan kepada penduduk asli sebagai
perusak lingkungan. Paraturan perpindahan penduduk yang belum jelas telah
menjadikan Kalteng sebagai obyek nyata untuk menyandang masalah kemiskinan di
pulau Jawa dan Madura yang seharusnya dikelola dengan hati-hati.
d.
Posisi
letak geografis Kalimantan Tengah, sebagai sebuah satuan wilayah dari suatu
negara, yang relatif jauh dan dibatasi oleh laut, mempengaruhi kecepatan,
biaya waktu untuk orientasi ke pusat pemerintahan. Masalah ini nyata
sebarannya dan akibatnya pada wilayah yang luas itu.
Sebaran
penduduk yang luas kendala dalam investasi yang ditujukan di seluruh wilayah.
Diilustrasikan sekiranya 1.8 juta jiwa terkonsentrasi di satu wilayah pasti
penyediaan pelayanan prasarana dan sarana akan dicapai dengan optimal. Air
bersih, listrik, pancaran siaran televisi dan radio, telepon dan lain-lain
akan mampu menjangkau seluruh penduduk. Dalam kenyataan wilayah dan sebaran
penduduk yang luas itulah, menyebabkan investasi
untuk penyediaan prasarana dan sarana menjadi mahal.
Inilah
salah satu penyebab kenapa, dengan pembangunan Pelita demi Pelita masih saja
hasilnya belum menjangkau luas. Hal inilah yang dimaksud dengan faktor jarak
dan waktu. Nilai waktu dan nilai jarak yang lebih mahal dibandingkan dengan Daerah lain.
Intinya bahwa terjadinya indeks harga yang lebih tinggi. Dan akhirnya
menyebabkan lambannya tingkat pencapaian volume sasaran.
Kondisi
prasarana perhubungan sangat tampak sebagai suatu masalah. Angkutan sungai
menjadi tidak memungkinkan terjadinya arus hasil produksi pertanian dipasarkan
secara luas antar wilayah memasukan dan menyebarkan barang-barang kebutuhan
pokok ataupun barang-barang kebutuhan dasar mengalami hal yang sama.
Walaupun
posisi letak wilayah Kalimantan Tengah berada di tengah-tengah daratan
Kalimantan, bahkan di tengah-tengah wilayah nusantara, tetapi belum menjadi
wilayah orbitasi transportasi nasional ataupun regional.
Kebutuhan
dasar pembangunan dan industri, pada dasarnya didatangkan dari luar Daerah.
Yang tersedia di Daerah adalah bahan kayu, dan bahan baku tanah untuk
pembuatan bata dan genteng, namun yang terakhir itu sangat kecil peranannya.
Tetapi
bilamana kayu ini berupa plywood, bagian
terbesar didatangkan dari luar propinsi, karena pabrik bahan bangunan ini
lebih dominan yang berada di luar Kalimantan Tengah, walaupun bahan bakunya
dari Kalimantan Tengah. Demikian
pula kebutuhan pokok sebagian besar harus didatangkan dari luar propinsi,
lebih-lebih barang kebutuhan pokok hasil industri pabrik.
Arus
orbitasi transportasi penduduk dan barang dari dan ke dalam Daerah Kalimantan
Tengah, cukup menarik untuk disimak. Bagian timur Kalimantan Tengah
berorientasi dengan pelabuhan di Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kotawaringin
Timur dan Kotawaringin Barat dengan pelabuhan sendiri (Sampit dan Kumai)
berorientasi dengan pulau Jawa. Sedangkan Palangka Raya, dalam hal ini
merupakan hinterland dari Kapuas dan Sampit.
Untuk
normalisasi kecepatan pembangunan ini maka
faktor jarak dan waktu harus
menjadi variabel yang diperhitungkan. Selanjutnya faktor
tingkat kemahalan yang ditimbulkannya harus menjadi acuan karena
menyebabkan indeks harga menjadi tinggi. Yang berarti akan mengurangi
pencapaian volume sasaran. Kesemua hal ini mempengaruhi tingkat kemampuan
Daerah. Inilah peranan penting Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan perimbangan keuangan tidak saja dengan prosentase rata-rata
(kalau menggunakan prosentase) untuk Daerah,
tetapi juga harus menggunakan indek harga berdasarkan tingkat kesulitan dan
kemahalan itu.
Faktor
jarak dan waktu berkaitan pula dengan biaya kegiatan penyelenggaraan pelayanan
kepada masyarakat. Karena jarak maka waktu yang digunakan untuk
mengkomunikasikan segala kegiatan pemerintahan dan pembangunan lebih lama.
Untuk
hadir di Jakarta, untuk keperluan dalam hitungan “jam”, harus menggunakan
waktu dalam hitungan “hari” ditambah dengan hitungan biaya yang harus
dikeluarkan. Lamanya waktu digunakan itu menyebabkan tertundanya pelayanan
yang lain. Hal ini dialami dalam sektor pemerintah maupun dunia usaha. Nilai
waktu ini yang kadang-kadang tidak disadari sebagai menyebab
biaya dan anggaran yang diperlukan menjadi lebih tinggi. Karena
banyaknya waktu yang digunakan akan berakibat tertundanya pelayanan atau
penyelesaian pekerjaan yang semestinya harus ditangani tepat waktu, adalah
merupakan aspek kerugian yang lain.
Jalan
keluarnya, pembudayaan penggunaan sarana huhungan telekomunikasi, penggunaan
sistim manual atau pemograman pedoman, pendelegasian wewenang dan lain-lain.
Serta penguasaan bidang tugas dan fungsi masing-masing sangat penting.
Sedangkan
bagi kebutuhan yang luas, yang sangat mendasar dalam menjawab tantangan itu
adalah memperdekatkan titik-titik
konsentrasi penduduk dengan memenuhi kebutuhan tersedianya transportasi
perhubungan jalan, disusul dengan sarana angkutan yang cukup.
1.
Keberadaan potensi
nasional yang ada di Daerah sebagai potensi ekonomi yang menjadi sumber
pendapatan masyarakat dan harus diperhitungkan prospek masa depannya.
Sumber-sumberdaya yang diperbaharui dan sumberdaya pengganti secara
berkesinambungan menjadi andil bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan
Nasional.
2.
Berbagai sumberdaya
ekonomi utama : hasil hutan atau kayu,
sejak lebih dari 30 tahun, masih mengandalkan eksploitasi kayu alam, tentu
makin menurun. Sementara hutan budidaya, HTI, sampai saat ini masih belum
menggembirakan.
3.
Hasil hutan ikutan
berupa : damar, jelutung, katiau,
gaharu, rotan-rotanan, bersifat ekstraktif, makin lama makin menipis
karena belum ada gerakan budidaya, kecuali rotan untuk jenis tertentu seperti
rotan irit dan rotan taman.
4.
Pertanian tanaman pangan dan hortikultura,
hampir belum mempunyai bentuk; masalah
varietas dan cultur teknisnya tetap dikaji terus.
5.
Perkebunan
: sawit, memberi harapan tapi kontribusi untuk PDRB, daya serap tenaga kerja,
masih perlu dikaji. Komoditas yang lain masih belum jelas penggalakannya.
Kecuali karet rakyat, ternyata lebih unggul dalam menopang ekonomi masyarakat.
6.
Lahan/tanah
: memang
luas namun rata-rata kelas rendah tingkat kesuburan.
7.
Industri,
masih belum berkembang. Khusus pengolahan kayu pada dasarnya dilakukan di luar
Kalimantan Tengah.
8.
Tambang,
(1) emas sejauh ini hanya satu yang berproduksi. (2) batu bara, deposit
dimiliki, eksploitasi masih mahal karena sistem transportasi belum dimiliki.
9.
Sektor jasa yang dapat diperhitungkan seperti perdagangan,
hotel & restoran, yang lainnya masih kecil.
10.
Sumberdaya
laut, untuk
memaksimal pemanfaatannya memerlukan perencanaan yang tepat, serta perlu
diketahui potensi secara terukur.
11.
Gambaran keadaan tersebut diatas perlu dikaji secara cermat
dan mendalam untuk didapat sektor-sektor diantaranya yang menjadi unggulan.
12.
Sering didengar bahwa
Kalimantan Tengah memiliki sumberdaya alam yang melimpah, perlu dikaji dengan
cermat, perlu kerja keras untuk menemukan langkah atau strategi ataupun
rencana-rencana kebijakan yang paling tepat untuk menjadikan sumber-sumber
potensial itu menjadi potensi riil. Kendala tenaga ahli untuk penelitian dan
pengkajian sumberdaya alam, serta program R/D adalah kebutuhan.
Tenaga Kerja.
1.
Tenaga kerja pada
lingkaran ekonomi alternatif dan
lapangan usaha ekstraktif adalah masalah kondisi memaksa terjadinya
penambangan emas dan penebangan kayu tanpa izin. Pola ekonomi ini terjadi
karena kerusakan ekosistem ekonomi tradisional akibat introduksi pola ekonomi
pendatang yang berorientasi pendek, memutuskan siklus tanam dan siklus
pengolahan lahan pertanian masyarakat lokal.
2.
Penambang emas
tradisional, menggunakan mesin penyedot mencapai 6.500 unit atau sekitar
32.500 tenaga kerja yang berada dalam status yang semu lapangan kerjanya.
Warga pendatang juga telah memasuki pola ekonomi ini dan amat aktif menambah
jumlahnya dari hari ke hari.
3.
Penyaringan Calon
Pegawai Negeri Sipil Daerah tahun 1999 untuk formasi 204 orang. Pelamar
sebanyak 21.057 orang. Terdiri dari 15.603 SLTA, 1808 DIII dan 4.366 Sarjana.
PNS yang diterima sebagian besar masih menampung pendatang yang dari berbagai
penjuru tanah air datang memasuki bursa lapangan kerja Kalteng.
4.
Kebutuhan lapangan
kerja sangat besar, pencari kerja demikian banyak sementara kesempatan
memperoleh pekerjaan masih sangat terbatas. Masalah tenaga kerja Nasional,
dibebankan kepada Kalteng, yang
masih belum berkembang pembangunannya dan belum mampu menyelesaikan masalah
tenaga kerja setempat.
a.
Prasarana fisik,
seperti jalan, Pelabuhan Laut, Dermaga Sungai, Pelabuhan Udara, Saluran
Pengairan, Telekomunikasi, Radio Televisi, dan lain-lain
dengan segala kondisinya, yang selalu mendapat perhatian dan masih
terdengar keluhan-keluhan masyarakat. Terunama berkaitan dengan prasarana
jalan. Pola perencanaan prasarana fisik yang belum jelas dan tidak sejalan
dengan keinginan penduduk lokal telah berupaya membangun fisik Kalteng dengan
memunculkan sebanyak mungkin “bukti” menara gading. Siapa yang pernah
memikirkan bahwa dana APBN selama Indonesia ini eksis, tidak pernah diketahui
jumlah dan kegunaannya bagi Kalteng, sementara dana APBD yang dikelola
Gubernur amat kecil, pada pra otonomi ini dana APBD semakin sulit posisinya,
karena pada saat terjepit pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah, yang
dilakoni dengan teladan yang kurang baik secara Nasional, dimana semua orang
merasa bebas sebebasnya untuk mengarahkan otonomi daerah. Belum ada aturan
main dan teladan yang jelas.
b.
Prasana dan sarana
lain berupa lembaga keuangan dan penunjangnya, adalah bagian dari sumber daya
untuk pertumbuhan Daerah, yang pertumbuhannya sangat tergantung dengan
pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan moneter.
Pembangunan
Kalteng selalu dihitung oleh pusat dengan analisa cost-benefit, pola ekonomi
kapitalis. Selalu ada perhitungan untung-rugi, tetapi tanpa memperhitungkan
sisi lain yang harus ditanggung Kalteng, sebagai lahan obyek Nasional untuk
mengatasi masalah-masalah kehidupan masyarakat pulau lain. Adanya subsisidi
kegagalan dari pekerja pendatang, mereka diberi insentif melalui berbagai
program pembangunan, penduduk asli menjadi penonton yang setia.
Karena
sifat pembangunan sejak awal merupakan proses pentahapan dari Pelita demi
Pelita top down, maka pembangunan daerah juga terkait erat dengan kontrol yang
kuat dari pusat terhadap pola pembangunan di daerah. Pola pembangunan kontinue
yang seragam ini memerlukan kontrol pusat yang kuat dan pada PJP-I sampai
dengan awal PJP-II telah membawa kemajuan-kemajuan berarti bagi pembangunan di
daerah, namun tampaknya muncul dampak lain yang harus segera dibenahi. Kontrol
terpusat tersebut memang merupakan konsekuensi logis dari kondisi awal daerah
/ wilayah di Indonesia yang juga berangsur-angsur berkembang dari kondisi yang
amat lemah bertumbuh dan berkembang mencapai prestasinya masing-masing.
Hal
ini membawa Pelita daerah masih terpaut dengan pola-pola pembangunan makro /
nasional. Aspek logis dan khas khasanah kekayaan daerah masih kurang tergali.
Hal ini ditandai oleh kurangnya umpan balik perencanaan yang matang yang lahir
dari daerah itu sendiri. Inisiatif dari daerah / wilayah nampaknya amat kurang
dalam membentuk kualitas rencana di daerah / wilayah. Ketaatan yang kaku
terhadap pola perencanaan yang ada menyebabkan kurangnya inisiatif dan
pemberdayaan perencana daerah.
Pelita
Daerah dari periode pertama sampai saat ini masih kurang membuka nuansa baru
yang bersifat penjabaran lebih tajam Pelita Nasional. Kegiatan perencanaan
pada umumnya dianggap sebagai ritual resmi dengan liturgi yang kaku pada
tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Kegiatan perencanaan lebih
dominan dilakukan oleh aparat pemerintah yang pada umumnya masih memerlukan
upaya peningkatan kualitasnya. Ada kesenjangan antara kemampuan perencana
dengan tuntutan perkembangan akibat pembangunan yang telah dilakukan.
Perencana yang seharusnya berjalan satu langkah di depan kegiatan pembangunan,
masih tertinggal dibelakang pembangunan itu sendiri.
Aspek
normatif, strategis dan operasional yang menjadi dasar pembangunan daerah
masih belum berhasil berkembang di daerah. Aplikasi kaidah nasional dalam
pembangunan yang harus dijabarkan lebih tegas di daerah / wilayah lebih banyak
dilaksanakan sebagaimana adanya yaitu kurangnya upaya memberi isi yang
bernuansa khasanah daerah / wilayah itu sendiri, masih bersifat umum /
nasional.
Terlihat
bahwa kurangnya upaya di daerah / wilayah untuk memulai aspek pemberdayaan
diri sendiri. Pemberdayaan perencanaan pembangunan umumnya muncul dari tingkat
pusat dan daerah hanya menanti turunnya perintah untuk melaksanakannya. Mata
rantai inisitatif perencanaan dari pusat ke daerah menjadi sangat panjang,
sehingga nampaknya terjadi keterlambatan antara pelaksanaannya dilapangan
dengan penyampaian pesan yang ada dalam konsep perencanaan tersebut. Sementera
di sisi lain, masyarakat bergerak dinamis dan berhadapan dengan perubahan yang
cepat. Perencana tertegun menatapi lika-liku mata rantai metode perencanaan
yang harus dilakukan, dan terjadi keterlambatan antisipasi perkembangan yang
terjadi. Perencanaan di daerah nampaknya bersifat antisipatif dan kurang
pro-aktif. Kendati kegiatan pembangunan dapat berjalan dengan lancar di
Kalimantan Tengah, namun belum terlihat lahirnya ciri khas yang kuat di daerah
yang dapat memperkaya warna pembangunan nasional. Kebanyakan pola pembangunan
yang ada merupakan replikasi / ulangan skenario yang diterapkan pada wilayah
Indonesia lainnya, sehingga secara fisik telah mengisi kekosongan wilayah /
ruang, tetapi secara spiritual masih belum membentuk nuansa pemberdayaan
masyarakat secara luas yang diharapkan melahirkan partisipasi aktif dan
kreativitas masyarakat.
Kendala
lain perencanaan pembangunan sektoral adalah pola koordinasi sektor-sektor
pembangunan yang dibina oleh instansi / unit kerja vertikal. Karena sifat
hubungan vertikal yang masih lebih kuat pada instansi / unit kerja vertikal
tersebut, sering terjadi bahwa perencanaan kegiatan pembangunan di daerah
kurang terkoordinir.
Struktur
pemerintahan yang ada juga menjadi pembatas dalam upaya koordinasi khususnya
yang dilakukan oleh Bappeda terhadap unit kerja / instansi vertikal. Bappeda
selaku badan staf Gubernur lebih kapabel melakukan koordinasi terhadap unit
kerja / instansi dalam lingkup Departemen Dalam Negeri khususnya Dinas-Dinas
atau unit kerja yang secara eselonering berada dalam jangkauan koordinasinya.
Seringkali energi perencana di daerah lebih banyak tertuang untuk melakukan
padu serasi atau koordinasi unit / instansi vertikal tersebut, sehingga
menimbulkan beban waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar yang ditandai
dengan rapat-rapat koordinasi yang hampir menyita seluruh waktu kerja efektif
Bappeda.
Masalah
lain adalah bahwa khususnya untuk program / proyek yang dikontrol langsung
oleh pusat, terdapat perasaan perencana bahwa jarang ada program / proyek yang
berasal dari bawah dapat diterima langsung oleh pusat, hal ini kadang-kadang
wajar saja karena kelemahan mutu dari rencana yang diajukan. Namun tidak
jarang pula bahwa penolakan tersebut muncul karena kesenjangan visi antara
pusat dan daerah, yang pada akhirnya memerlukan upaya negosiasi yang lama dan
bertele-tele untuk mendapat jalan keluarnya. Hal ini menyita energi para
perencana tersebut, sehingga mereka enggan melakukan perencanaan mendalam,
melainkan lebih banyak melakukan negosiasi atau loby untuk mensukseskan
rencananya. Kiat perencanaan yang demikian amat mengurangi kualitas rencana,
karena unsur loby atau negosiasi lebih dominan diandalkan untuk mensukseskan
rencana daripada penyajian rencana yang optimal.
Sejauh
ini Bappeda masih lebih banyak berperan sebagai kantor pos yang meneruskan
usul program / proyek. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan secara bersama-sama
memperbaiki kualitas unit perencanaan yang melekat pada masing-masing unit
kerja / instansi yang juga menentukan mutu rencana yang dikoordinir Bappeda.
Kemudian juga terlihat bahwa perkuatan kelembagaan perencanaan pembangunan di
daerah bukan hanya dimulai pada sisi perencana yang terkait secara formal,
melainkan juga kepada unsur-unsur yang terlibat secara non-formal dalam
penyusunan rencana (stakeholders) seperti
masyarakat desa, para tokoh masyarakat dan juga opini yang berkembang
dimasyarakat. Upaya memberdayakan perencanaan menjadi tanggungjawab semua
pihak dan semua unit kerja / instansi yang terkait dengan meningkatkan mutu
melalui kegiatan perencanaan sektornya masing-masing.
-------- §§§§ ---------