Bahan Diskusi   tentang Sosial Capital - Diambil dari Homepage Bank Dunia (http://www.worldbank.org/poverty/scapital/index.html)   - Translation Bahasa Indonesia oleh Ida Gosal (Asisten Expert JICA)
Apa Itu Social Capital?
Social Capital menyangkut masalah kelembagaan, hubungan dan norma yang
   membentuk mutu dan besaran interaksi sosial dari suatu masyarakat.
   Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kohesi sosial merupakan hal
   yang sangat penting bagi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
   ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan. Social capital bukan
   sekedar penjumlahan kelembagaan yang menunjang masyarakat, namun suatu
   perekat yang menghimpun mereka bersama.
Asosiasi Horisontal.
Secara sempit   social capital dipandang sebagai sejumlah asosiasi
   horisontal dari sekelompok orang dan terdiri dari jaringan sosial dan
   norma-norma yang berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan
   komunitas. Jaringan sosial dapat meningkatkan produktivitas dengan
   cara mengurangi biaya kegiatan. Social capital memudahkan koordinasi
   dan kerjasama.
Namun social capital juga memiliki sisi yang tidak menguntungkan
   (Portes dan Landholdt 1996) seperti: komunitas, kelompok atau jaringan
   yang terisolir, berpandangan sempit atau yang bekerja pada tujuan yang
   bertentangan dengan kepentingan umum masyarakat (misalnya: perdagangan
   obat bius, korupsi) dapat menghambat pembangunan sosial dan ekonomi.
Asosiasi Vertikal dan Horisontal.
Pandangan yang lebih luas tentang social capital mencoba melihat aspek
   positif dan negatif dari social capital dengan cara memasukkan
   asosiasi masyarakat baik yang vertikal maupun horisontal, demikian
   juga dengan tingkah laku inter- maupun antar-organisasi seperti
   misalnya perusahaan. Pandangan ini mengatakan ikatan horisontal
   dibutuhkan guna memberikan kepada komunitas suatu identitas serta
   tujuan bersama. Ditekankan juga bahwa jika tidak ada usaha
   menjembatani  ikatan-ikatan yang melewati batas-batas perpecahan
   sosial di bidang agama, etnik dan status ekonomi, maka ikatan
   horisontal dapat menjadi alasan untuk mengejar kepentingan sempit dan
   dapat secara aktif menghambat akses menuju informasi dan sumber daya
   material yang umumnya dianggap sangat berguna bagi masyarakat seperti
   informasi lowongan kerja serta akses kredit.
Pemberdayaan Lingkungan Sosial dan Politik.
Pandangan yang paling utuh tentang social capital mencoba melihat
   unsur lingkungan sosial politik yang membentuk struktur sosial serta
   yang memungkinkan berkembangnya norma-norma. Pandangan ini mencoba
   mengangkat pentingnya social capital pada struktur dan hubungan
   kelembagaan yang paling resmi seperti pemerintahan, rejim politik,
   penerapan hukum, sistem peradilan serta pembebasan sipil dan politik.
   Pandangan ini tidak hanya melihat sisi positif dan negatif social
   capital serta pentingnya memupuk ikatan antar- dan inter-komunitas
   tapi juga melihat bahwa kemampuan beragam kelompok sosial untuk
   memperjuangkan kepentingannya sangat tergantung pada besar kecilnya
   dukungan yang diterima dari negara maupun dari sektor swasta. Sama
   seperti negara tergantung pada stabilitas sosial serta adanya dukungan
   luas. Singkatnya, pembangunan sosial ekonomi dapat berlangsung dengan
   baik jika negara, sektor bisnis dan masyarakat madani bisa menciptakan
   suatu forum di dalam dan lewat mana mereka bisa mengidentifikasikan
   dan mengejar tujuan bersama.
Bagaimana Mengukur Social Capital?.
Social capital telah diukur dengan berbagai cara inovatif meskipun
   dengan berbagai alasan sangat tidak mungkin untuk mendapatkan satu
   ukuran yang mutlak atau bahkan yang memuaskan sekalipun. Pertama,
   definisi social capital yang sangat komprehensif memerlukan pendekatan
   multidimensional, penyatuan tingkat dan unit analisa yang
   berbeda-beda. Kedua, Setiap usaha untuk mengukur karakter dari konsep
   yang secara inheren tidak punya arti tunggal seperti komunitas,
   ;jaringan, dan organisasi itu menimbulkan masalah.   Ketiga, Hanya
   sedikit survei jangka panjang dirancang untuk mengukur social
   capital menyebabkan peneliti kontemporer hanya mengumpulkan berbagai
   item yang mendekati seperti ukuran kepercayaan pemerintahan, trend
   pemberian suara, keanggotaan organisasi sipil, waktu yang dihabiskan
   untuk kerja voluntir. Semoga survei baru yang saat ini sedang
   dilaksanakan akan menghasilkan indikator yang lebih mengena dan
   akurat.

   Mengukur social capital mungkin saja sulit namun bukanlah hal yang
   mustahil dilakukan dan beberapa studi yang bagus telah
   mengidentifikasikan pendekatan yang berguna untuk social capital
   dengan menggunakan bermacam-macam tipe dan kombinasi yang berbeda dari
   metodologi penelitian kualitatif, komparatif dan kuantitatif.
Studi Kuantitatif.
Dalam World Values Survey (WVS) yang menggunakan sampel dari 29 pasar
   ekonomi, Knack dan Keefer (1997) menggunakan indikator kepercayaan dan
   norma-norma sipil. Maksud digunakannya indikator tersebut dalam
   mengukur kekuatan asosiasi sipil adalah untuk menguji 2 pendapat
   berbeda tentang efek social capital terhadap pertumbuhan ekonomi yakni
   Olson Effects (asosiasi mengekang pertumbuhan lewat rent-seeking)
   dan Putnam Effects (asosiasi memudahkan pertumbuhan dengan cara
   meningkatkan kepercayaan). Inglehart (1997) sudah melakukan penelitian
   ekstensif tentang implikasi hasil WVS terhadap teori umum modernisasi
   dan pembangunan.
Narayan dan Prichett (1997) dengan menggunakan data dari Tanzania
   Social Capital and Poverty Survey (SCPS) berhasil membentuk ukuran
   social capital di pedesaan Tanzania. Survei berskala besar ini
   meneliti tentang sifat dan jangkauan dari kegiatan berasosiasi dari
   beberapa individu serta kepercayaan mereka terhadap berbagai individu
   dan kelembagaan. Penelitian ini dicocokkan dengan data pendapatan
   rumah tangga pada desa-desa yang sama (keduanya dari SCPS dan dari
   survei rumah tangga terdahulu, The Human Resources Development
   Survey). Hasilnya memperlihatkan bahwa social capital pada tingkat
   desa meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Temple dan Johnson (1998) dengan memperluas kerja awal dari Adelman
   dan Morris (1967), menggunakan indikator kemajemukan etnik, mobilitas
   sosial serta tersedianya layanan telpon di beberapa negara sub-Sahara
   Afrika untuk melihat kepadatan jaringan sosial. Mereka kemudian
   mengkombinasikan beberapa indikator lain yang berhubungan ke dalam
   indeks mengenai social capability (kemampuan sosial)" dan hasilnya
   menunjukkan bahwa hal ini dapat menjelaskan sejumlah variasi penting
   mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi nasional.
Studi Komparatif.
Dalam risetnya untuk membandingkan Itali bagian Utara dan Selatan,
   Putnam (1993) meneliti social capital dalam hal derajat keterlibatan
   sipil yang diukur dengan hasil pemilu, jumlah pembacaan surat kabar,
   keanggotaan dalam kelompok paduan suara dan sepak bola serta
   kepercayaan terhadap kelembagaan publik. Di Itali Utara, dimana semua
   indikator ini menunjukkan hasil yang lebih tinggi, menunjukkan terjadi
   perbaikan secara signifikan pada pemerintahan, kelembagaan dan
   pembangunan jika faktor-faktor ortodoks dikontrol. Penelitian Putnam
   yang baru tentang Amerika Serikat (1995-1998) menggunakan pendekatan
   yang sama. Ia mengkombinasikan data baik dari sumber akademis maupun
   komersial untuk menunjukkkan menurunnya cadangan social capital AS
   secara terus-menerus dan jangka panjang. Data yang dikumpulkan Putnam
   dari berbagai sumber ini digunakannya untuk membantah temuan dari
   General Social Survey yang secara luas dikenal sebagai survei yang
   paling terpercaya tentang kehidupan sosial orang Amerika.
Portes dan Light (1995) meneliti kesejahteraan ekonomi berbagai
   komunitas imigran di AS. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok tertentu
   (orang Korea di Los Angeles dan orang Cina di San Francisco)
   kesejahteraan ekonominya lebih baik dari kelompok lain (orang Meksiko
   di San Diego dan orang Dominika di New York). Hal ini dipengaruhi oleh
   struktur sosial dari komunitas tempat dimana para imigran menetap.
   Komunitas yang sukses biasanya bisa menawarkan bantuan bagi para
   pendatang baru dengan tersedianya sumber informal mengenai kredit,
   asuransi, pemeliharaan anak, pelatihan bahasa Inggris dan referensi
   pekerjaan. Komunitas yang kurang begitu sukses menunjukkan komitmen
   yang kurang pada daerahnya dan kurang begitu mampu menyediakan
   pelayanan penting untuk warganya.
Massey dan Espinosa (1997) meneliti imigrasi orang Meksiko ke AS.
   Mereka menunjukkan bahwa kebijakan seperti NAFTA yang mendukung
   kebebasan arus jasa dan barang melewati batas negara juga ikut
   meningkatkan arus manusia karena barang dan jasa dihasilkan,
   didistribusi dan dikonsumsi oleh manusia juga. Dengan menggunakan data
   survei dan wawancara, mereka menunjukkkan bahwa teori social capital
   dapat memprediksi jauh lebih baik tentang kemana, jumlah dan alasan
   orang berimigrasi dibandingkan dengan teori neo-klasik dan human
   capital. Hasil ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk mengusulkan
   sejumlah langkah-langkah kebijaksanaan inovatif yang dirancang untuk
   menghasilkan manajemen yang lebih efektif dan adil mengenai imigrasi
   orang Meksiko ke AS.
Studi Kualitatif.
Portes dan Sensenbrenner (1993) meneliti apa yang terjadi pada
   komunitas imigran jika anggotanya sukses secara ekonomi dan bermaksud
   meninggalkan komunitasnya. Hasil wawancara mengungkapkan bahwa tekanan
   yang diberikan oleh komunitas yang sudah kokoh ikatannya kepada
   anggotanya begitu kuatnya, sehingga beberapa anggotanya
   meng-inggris-kan nama mereka untuk membebaskan diri dari kewajiban
   yang berhubungan dengan keanggotaan tersebut. Gold (1995) mengatakan
   bahwa komunitas Yahudi di Los Angeles berusaha melakukan dua hal
   sekaligus yaitu menjaga keutuhan struktur komunitasnya dan juga
   terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi.
Fernandez-Kelly (1993) meneliti dan mengamati gadis kota di pemukiman
   Yahudi di Baltimore. Ia menemukan bahwa tekanan normatif sangat besar
   bagi mereka untuk meninggalkan bangku sekolah, memiliki bayi sewaktu
   masih gadis remaja serta menolak pekerjaan formal. Dikelilingi keadaan
   sehari-hari yang diwarnai kekerasan, pengangguran serta penyalahgunaan
   obat, satu-satunya cara bagi mereka untuk membentuk identitas serta
   status mereka adalah lewat tubuh mereka. Anderson (1995) melakukan
   studi tentang peranan para tetua dan mereka yang telah lama   menjadi
   anggota komunitas miskin perkotaan Afrika-Amerika sebagai sumber
   social capital. Para tetua dulunya berperan memberikan bimbingan
   serta paham kebijaksanaan kepada kaum muda, namun saat ini semua itu
   semakin sering diabaikan sejalan dengan semakin lunturnya rasa hormat
   kepada orang yang lebih tua serta semakin besarnya jurang ekonomi di
   komunitas tersebut.
Heller (1996) meneliti kasus di Kerala, negara bagian di Selatan
   India, yang memiliki tingkat buta huruf, harapan hidup serta kematian
   bayi yang terbaik di India. Dengan menelusuri sejarah hubungan negara
   dan masyarakat di Kerala, Heller menemukan bahwa pemerintah telah
   memainkan peran penting dalam kesuksesan tersebut dengan cara
   menciptakan kondisi yang memungkinkan kelompok sosial yang lebih
   rendah untuk mengatur kepentingan bersama mereka. Namun di sisi lain
   pemda Kerala juga menunjukkan ketidaksenangan mereka terhadap
   investasi asing dan mengabaikan pemeliharaan infrastruktur. Akibatnya
   SDM-nya yang terdidik dan sehat itu sulit untuk berperan dalam
   mencapai kemakmuran ekonomi.
Mengapa Social Capital Relevan dalam Usaha Pembangunan?.
Social capital memiliki implikasi penting bagi teori, praktek dan
   kebijaksanaan pembangunan. Dalam usaha meningkatkan prospek ekonomi
   suatu komunitas dan bangsa, resep-resep konvensional menganjurkan
   hal-hal sebagai berikut: perbaikan fasilitas kesehatan dan pendidikan,
   pembentukan lembaga politik yang transparan dan akuntabel serta
   mendorong munculnya pasar bebas yang dapat berkompetisi dalam pasar
   global. Social capital mempunyai penjelasan mengenai masing-masing hal
   tersebut:


Social Capital dan Pendidikan.
Sekolah akan menjadi lebih efektif jika para orang tua serta warga
   setempat terlibat aktif. Jika ini dilakukan untuk kepentingan
   tercapainya kesejahteraan pendidikan bagi anak-anak, maka para guru
   akan semakin mendedikasikan dirinya, anak sekolah akan berprestasi
   lebih tinggi serta terjadi pemanfaatan fasilitas sekolah yang semakin
   baik (Coleman dan Hoffer1987; Braatz dan Putnam 1996; Francis et al
   1998).
Social Capital dan Kesehatan.
Para dokter dan juru rawat kemungkinan besar akan bertugas lebih rajin
   dan baik jika kegiatan mereka didukung dan dimonitor oleh kelompok
   masyarakat. (Dreze dan Sen, 1995).
Sisi negatif social capital nampak dalam kasus penutupan klinik
   kesehatan di Uttar Pradesh oleh para elit lokal yang kecewa (Dreze dan
   Sen 1995). Akibatnya, tingkat kematian anak meningkat. Suatu ingatan
   yang menyakitkan bahwa social capital juga dapat merusak pembangunan.


Social Capital dan Swastanisasi.
Hal yang mirip terjadi pada kasus di Rusia. Di sini ditunjukkan betapa
   ketidakmengertian mengenai perlu adanya kondisi awal dari social
   capital dapat menghambat implementasi kebijaksanaan. Usaha Rusia untuk
   menswastanisasikan industri perusahaan negara pada saat lingkungan
   sosialnya masih diwarnai lemahnya penegakan hukum, serta suburnya
   nepotisme dan perpecahan etnik, menyebabkan meningkatnya perbedaan,
   kekerasan dan kejahatan serta pelecehan HAM (Holmes, 1997).
Social Capital dan Akses ke Pasar Formal.
Menjamin tersedianya akses ke pasar adalah suatu langkah yang penting
   dalam rangka memajukan perekonomian kaum miskin. Salah satu kriteria
   miskin adalah jika seseorang kekurangan akses ke ekonomi formal
   termasuk sumber daya material serta informasi. Social capital kaum
   miskin, yang umumnya berasal dari keluarga dan tetangga, sehari-hari
   dapat berfungsi sebagai jaring pengaman yang penting. Sebaliknya
   social capital yang dimiliki oleh orang kaya memungkinkan mereka
   mengembangkan lebih lanjut kepentingan mereka. Salah satu tantangan
   dalam pembangunan ekonomi adalah menolong kaum miskin untuk mengatasi
   jaringannya yang tertutup agar mereka dapat mengakses ke sumber daya
   tambahan.
Apa Implikasi Social Capital terhadap Proyek Pembangunan?
Jika kita berpikir dalam kerangka social capital, maka kita juga
   memikirkan implikasi praktisnya terhadap proyek pembangunan. Beberapa
   dari hal ini dapat ditemukan secara begitu saja dari pengalaman
   lapangan, namun mengintepretasikan penemuan ini dari sudut pandang
   social capital akan dapat menjamin bahwa pelajaran yang dipetik akan
   tersebar lebih cepat dan akan bertumpu pada dukungan luas.
Partisipasi dalam Perancangan dan Implementasi Proyek.
Semakin banyak bukti yang mendukung bahwa melibatkan kaum miskin dalam
   perancangan dan implementasi proyek pembangunan tidak saja akan
   menghasilkan proyek yang lebih cocok tetapi juga akan lebih menjamin
   bahwa proyek akan lebih mengena pada mereka yang paling membutuhkan
   (Narayan 1995). Melibatkan kaum miskin sejak awal dapat memupuk
   kepercayaan serta kesetiaan pada proyek seperti yang ditunjukkan oleh
   Uphoff (1992) dalam penelitiannya mengenai partisipasi pembangunan di
   Sri Langka.
Menjembatani Social Capital Dan Kemitraan yang Lintas Sektoral.
Inisiatif pembangunan yang menggunakan social capital dari kaum
   miskin - misalnya program mikro-kredit yang berbasis kelompok seperti
   Grameen Bank di Bangladesh - sangatlah terkenal. Jika kesejahteraan
   ekonomi kaum miskin ditingkatkan, maka mereka menjadi kurang
   tergantung pada keluarga dan tetangga. Dan agar kegiatan ekonomi
   mereka dapat berkembang, mereka membutuhkan suatu jembatan sosial
   untuk dapat memasuki jaringan yang lebih besar dan makmur.
Proyek juga membutuhkan masukan dari pihak-pihak yang lebih
   berpengaruh. Jika sudah ditemukan cara untuk menyatukan kepentingan
   publik, swasta, dan sektor sipil, maka kemungkinan proyek pembangunan
   akan sukses juga di dalam lingkungan yang dipandang tak mungkin
   sekalipun, seperti yang ditemukan Tendler (1997) di Brazil. Dukungan
   yang berbasis luas memungkinkan kemitraan pembangunan yang lintas
   sektoral mendapatkan sumber keuangan dan politik yang lebih besar,
   merekrut manajemen yang terlatih baik serta mengakses dukungan teknis.
   Kesemuanya ini mempengaruhi efektivitas dan keberlangsungan proyek.
Infrastruktur Membuka Partisipasi dan Kemitraan.
Proyek dapat menggunakan social capital dari berbagai stakeholders
   namun proyek dapat juga meningkatkan social capital. Sisi paling
   positif dari social capital ialah ketika ia menolong individu atau
   kelompok untuk melewati batas-batas kelas, gender, etnik dan agama.
   Maka, proyek yang mendorong terbukanya akses pasar bagi kaum miskin -
   mulai dari inisiatif yang berbentuk infrastruktur seperti perbaikan
   jalan setapak hingga peningkatan layanan komunikasi yang murah - serta
   proyek yang menfasilitasi terbentuknya forum dimana berbagai kelompok
   kepentingan dapat bergabung satu dengan yang lainnya, akan memberikan
   kontribusi yang penting bagi kesejahteraan masyarakat.
Proyek yang menyentuh langsung kepentingan kaum miskin telah
   diakui manfaatnya, namun penting juga mempertimbangkan bahwa proyek
   yang lebih  - misalnya proyek yang bertujuan untuk   meningkatkan
   mutu kelembagaan, efektivitas sektor publik serta komunikasi seperti
   pelayanan pos - dapat juga berdampak positif yang luar biasa bagi kaum
   miskin. Sistem peradilan yang lebih adil misalnya dapat memupuk
   kondisi yang memungkinkan kaum miskin untuk memperbaiki kepentingan
   kolektifnya serta kekuatan tawar-menawarnya.
-------- §§§§ ---------