Bahana, Oktober 2005
Cabut SKB Biang Kerok Penutupan Gereja!
Entah persilatan macam apa lagi yang terjadi di negeri ini. Tiba-tiba fenomena
penutupan gereja di beberapa tempat di tanah air kembali marak. Apakah SKB
menjadi penyebab tunggal sengketa penutupan gereja.
Berdasarkan catatan wakil sekum PGI, Pdt. Weinata Sairin, M.Th., sejak November
2002-28 Agustus 2005, tidak kurang dari 28 buah gereja ditutup secara paksa oleh
pihak-pihak yang mengaku terganggu kehadiran gereja di tempat itu. Sebagian besar
gereja yang ditutup itu berada di wilayah pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Dasar
hukum yang mereka pakai adalah SKB dua menteri, Menag Muhammad Dahlan dan
Mendagri Amir Mahmud No. 1/Ber/MDNMAG tanggal 13 September 1969.
Contoh konkret, ketika massa datang ke GKI Ciledug pada 28 Agustus lalu, mereka
menyerukan penutupan gereja sambil memegang teks SKB itu. Di mana-mana,
alasan inilah yang dipakai untuk memaksa umat Kristen menghentikan ibadah.
Menghadapi persoalan ini, berbagai upaya coba dilakukan umat yang menjadi korban
didukung semua pihak yang ber-ke-hendak baik. Anggota Komisi VIII dari Fraksi
PDIP misalnya, mengambil ini-si-atif memanggil pihak PGI, KWI, dan Ahmadiyah
yang juga mengalami ga! ng-guan untuk dengar pendapat pada 30 Agustus 2005. Dari
KWI hadir Rm. Benny Susetyo Pr. dan Rm. Eddy Purwanto, dari PGI hadir Pdt.
Weinata Sairin, M.Th. dan Pdt. Jupiter Gule sedangkan dari Ahmadiyah hadir
beberapa pemimpin.
Semua pihak, termasuk sejumlah anggota DPR, yang hadir menyatakan sangat
menyesalkan tindakan penutupan itu. Pdt. Weinata Sairin, M. Th. dengan tegas
mengatakan bahwa tindakan penutupan tempat ibadah merupakan indikasi
kemunduran dalam berbangsa. "Kalau dulu ada kesulitan untuk mendapatkan izin
atas bangunan rumah ibadah, sekarang pada stadium yang lebih lanjut. Bukan hanya
kesulitan memperoleh izin, tapi tidak boleh lagi melakukan ibadah," tegas Weinata.
"Mereka yang tempat ibadahnya ditutup mau ke mana? Di Ciledug misalnya, ada 90
KK. Mau ke mana mereka?" tanya Weinata dengan nada tinggi.
Dalam kesempatan ini, Weinata juga meluruskan persepsi keliru bahwa gereja adalah
basis atau pusat gerakan untuk mengkristenkan atau memurtadkan orang. "Tidak b!
enar itu! Gereja adalah pusat pembinaan spiritual. Ada anak, pemuda, lansia, semua
orang dari berbagai usia dan kategori dibina di situ. Tidak ada itu center untuk
melakukan kristenisasi kepada orang-orang di sekitar!"
Sementara itu Romo Benny dengan tegas pula mengatakan bahwa melalui SKB
tersebut negara dengan sadar memproduksi kekerasan demi kekerasan. Oleh karena
itu, Benny juga meminta SKB itu dicabut. Benny lalu menunjuk alasan-alasan lain.
Sekretaris Eksekutif KWI Bidang Kerasulan Awam ini menunjuk sejumlah alasan
praktis, yakni SKB itu sudah tidak lagi fungsional. Karena ditinjau dari aspek hukum
gugur, melanggar konstitusi, bertentangan dengan HAM, menghasilkan potensi
konflik, membangun budaya korup, menyebabkan negara ini pecah, mem-beri
pendidikan yang buruk bagi masyarakat karena di situ masyarakat diadu domba.
Tuntutan pencabutan SKB itu datang dari Gus Dur. Ketika berorasi di Mo-nas usai
melakukan Jalan Damai dari HI-Monas, Gus Dur menyerukan pencabut! an itu.
FPI TIDAK ANARKIS
Meskipun pihak gereja merasa meng-ala-mi tindakan anarkis, tapi Habib Rizieq,
ketua FPI, kelompok yang kerap kali disebut sebagai pelaku menyangkal hal ini.
"Kami tidak melakukan penutupan gereja, apalagi dengan cara anarkis seperti yang
diberitakan. Kami hanya menutup rumah tinggal yang dialihfungsikan untuk ibadah,"
ujar Habib ketika Pdt. Weinata Sairin, Romo Franz Magnis Suseno, Pdt. Sephard
Supit berkunjung ke rumahnya pada 3 September 2005 lalu. Bahkan Habib
menegaskan bahwa FPI tidak pernah membangun permusuhan dengan orang Kristen.
"Bahkan kita bersedia menjaga gereja-gereja asalkan tidak bermasalah. Pada
prinsipnya FPI hanya tinggal ikut aturan," ujar Habib ringan.
Tentang SKB, Habib mengatakan masih dibutuhkan. Yang perlu dilakukan pemerintah
adalah membuat petunjuk pelaksanaan yang jelas. Rupanya, Habib mengatakan
begitu setelah Romo Magnis berkata, "Umat Katolik misalnya, di suatu kecamatan
mungkin tidak cukup untu! k memiliki sebuah gereja, tapi ketika beberapa kecamatan
digabungkan bisa lebih dari cukup," kata Magnis menunjuk kasus Ciledug.
Kalau tidak ada aturannya, lanjut Habib, ada kekhawatiran dalam umat Islam akan
adanya beberapa gereja Katolik yang didirikan dengan alasan kuota satu kecamatan
satu gereja.
Namun, Habib mengingatkan bahwa masalah utamanya bukan SKB, tapi persentuhan
umat di bawah yang masih kurang. "Walau SKB ini dicabut, kalau situasi di bawah
belum berubah akan sama saja." Habib lalu menunjuk beberapa kasus di mana
pemimpin gereja tidak bisa lebur dengan masyarakat setempat.
Hal lain yang diminta Habib yang kemudian juga muncul dalam dialog di kantor PP
Muhammadiyah, Menteng adalah agar umat Kristen tidak memakai simbol-simbol
Islam seperti mengutip ayat-ayat Alquran untuk kepentingan yang tidak jelas. Selain
itu, Habib mengingatkan agar umat Kristen tidak salah bergaul atau terprovokasi oleh
orang-orang yang bermasalah dalam Islam.
Ta! mpaknya perjalanan menanti kebebasan beribadah seperti dijamin oleh Pasal 29
UUD 1945 di negeri ini masih panjang. Tapi, hal itu tidak boleh meruntuhkan iman.
(Eman)
|