Bali Post, Sabtu Kliwon, 15 Oktober 2005
Pelaku Bom Bali I dan II Sama
Modus Operasinya yang Beda -----------
HARI ini, genap dua pekan kasus Bom Bali II berlalu. Walaupun sudah memeriksa
ratusan saksi, dan menangkap beberapa orang -- meski kemudian dibebaskan
kembali -- polisi belum menahan seorang pun yang layak dijadikan tersangka dalam
kasus yang menyebabkan 23 orang tewas dan puluhan lainnya menderita luka-luka
itu.
Ditemukannya tiga potongan kepala manusia (di tiga lokasi ledakan yang berbeda di
Kuta dan Jimbaran), memang dapat disebut sebagai ''modal awal'' yang cukup kuat
bagi polisi untuk menyelidiki kasus itu. Namun faktanya, hingga kemarin, polisi hanya
dapat menentukan ketiganya sebagai tersangka pelaku peledakan, namun tidak --
setidaknya belum -- dapat melacak, siapa sebenarnya ketiga tersangka itu, dan untuk
apa ketiganya berada di Pulau Dewata?
Polisi memang tidak kenal lelah berusaha untuk mengetahui identitas ketiga orang
itu, di antaranya dengan cara menyebarkan gambar potongan kepala ketiga orang itu
di berbagai media massa. Namun sejauh ini, Polri baru mendapatkan informasi
mengenai salah seorang tersangka, sementara dua orang lainnya masih belum jelas.
Artinya, usaha Polri untuk menguak jaringan pelaku, melalui orang-orang yang kenal
dengan ketiga tersangka, untuk sementara, boleh dibilang masih terhalang tabir.
Siapa sebenarnya yang melakukan aksi pengeboman biadab itu? Apakah pelakunya
merupakan kelompok yang sama dengan pelaku Bom Bali I (2002), bom Hotel JW
Marriott Jakarta (2003) dan bom di depan Kedutaan Besar Australia di Kuningan,
Jakarta (2004) dan sejumlah aksi teror di sejumlah tempat di Indonesia?
Untuk mengetahui jawaban yang paling sahih, tentu harus menunggu hasil
penyelidikan dan penyidikan polisi. Namun, sebelum proses hukum yang dijalankan
polisi tuntas -- bahkan ketika proses itu baru dimulai -- sudah muncul beberapa
analisis.
Analisis pertama -- mungkin lebih tepat disebut sebagai dugaan -- dikeluarkan oleh
pemerintah Australia. Melalui Perdana Menteri (PM) John Howard dan Menteri Luar
Negeri (Menlu) Alexander Downer, negara kanguru itu menyebut kelompok Jamaah
Islamiyah (JI) berada di balik aksi itu. Bahkan, Howard secara halus meminta agar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menyatakan organisasi itu sebagai
organisasi terlarang di Indonesia.
Pakar terorisme dan militan Indonesia dari organisasi International Crisis Group
Sidney Jones pun bersuara sama. Pakar asal negeri Paman Sam yang pernah
diminta meninggalkan Indonesia itu, mencurigai adanya keterlibatan dua pentolan JI,
Dr. Azahari bin Husin dan Noordin Mohd. Top, sebagai otak peristiwa itu.
Kepala Desk Antiteror Kantor Menko Polhukam Irjen Pol. Ansyaad Mbai juga
berpendapat senada. Menurut perwira tinggi berbintang dua Polri ini, dilihat dari
cara-cara teror dan track record JI selama ini, pantas jika kelompok itu disebut
bertanggung jawab dalam tragedi itu.
''Dari analisis saya, itu adalah kelompok yang dulu-dulu juga, yaitu JI. Dilihat dari
track record dan aktivitas kelompok tersebut yang selalu menggunakan modus
serupa, yakni bom bunuh diri,'' jelas mantan Kapolda Sumatera Utara ini.
Namun, Polri sebagai penyelidik dan penyidik kasus itu, justru punya suara berbeda.
Kapolda Bali I Made Mangku Pastika mengatakan, kemungkinan tiga tersangka
pelaku bom bunuh diri itu merupakan bagian dari generasi militan baru, yang selama
ini justru tidak dikenal. Indikasinya, menurut Pastika, karena identitas mereka tidak
dikenal oleh para terpidana Bom Bali I, saat foto-foto kepala mereka ditunjukkan
kepada Amrozy cs.
''Artinya, sampai sekarang mereka belum dikenal oleh kelompok-kelompok lama.
Karena belum dikenal oleh mereka, ini berarti adalah orang-orang baru,'' kata Pastika,
Jumat (7/10) lalu.
Hal yang sama juga disuarakan oleh Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Aryanto
Boedihardjo. Menurut mantan Direktur Lalu Lintas Babinkam Polri ini, berdasarkan
modus operasinya, para pelaku aksi teror di Kuta dan Jimbaran itu mungkin saja
berasal dari kelompok baru, yang berbeda dengan kelompok yang telah melakukan
aksi peledakan di berbagai tempat di Indonesia.
Modus mereka yang menggunakan bom manusia-lah yang dinilai Aryanto berbeda
dengan aksi pengeboman yang selama ini dilakukan oleh kelompok Dr. Azahari dan
Noordin Moh. Top, yang selama ini menggunakan modus bom mobil, seperti yang
mereka lakukan saat bom Bali I, bom JW Marriott dan bom di depan Kedubes
Asutralia di Jakarta.
''Bisa saja kelompok baru, karena menggunakan bom ransel," kata Aryanto yang
menyebut hal itu baru merupakan perkiraan, karena saat ini proses penyelidikan dan
penyidikan tengah berjalan. "Nanti kita lihat hasil pemeriksaannya."
Lalu, analisis siapakah yang benar? Apakah memang benar JI yang terlibat, atau ada
kelompok lain? Jawaban apa pun bisa benar. Kelompok JI memang dapat dituding
sebagai pelaku, mengingat aksi-aksi mereka selama ini. Namun jangan dilupakan,
kelompok lain, yang selama ini bergerak di bawah tanah, juga dapat melakukan hal
yang sama, dengan mendompleng ''popularitas'' JI, dengan tujuan semata-mata hanya
untuk menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat.
* darmawan s. sumardjo
Copyright © BALI POST Online
|