Bali Post, Senin Pon, 12 Desember 2005
Soenarko yang Pernah ''Di-Maluku-kan''
KAPOLRI menunjuk Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Soenarko Danu
Ardanto sebagai Kapolda Bali. Penunjukan Soenarko sebagai pucuk pimpinan Polda
Bali itu cukup mengejutkan. Jenderal berbintang satu itu tak pernah disebut-sebut
akan ditunjuk menjadi Kapolda, apalagi menjadi Kapolda Bali.
Para wartawan yang biasa bertugas di Mabes Polri meramalkan, kalaupun Kapolri
melakukan mutasi, jenderal yang ramah, bersahaja dan tak pernah terlihat marah ini,
''hanya'' akan naik satu tingkat menjadi Kepala Divisi Humas Polri dan bukan
memimpin suatu wilayah sebagai Kapolda.
Namun ternyata, dalam gerbong mutasi kali! ini, Soenarko yang telah menjadi Wakil
Kepala Divisi Humas Polri sejak September 2003 lalu, justru ditunjuk sebagai Kapolda
Bali. Mungkin, kepiawaian Soenarko saat menjadi juru bicara tim penyidik kasus bom
Bali II, Oktober lalu, tampaknya menjadi salah satu pertimbangan Sutanto untuk
menunjuknya sebagai pejabat tertinggi di Polda Bali. Pertimbangan lainnya, mungkin
Kapolri menilai Soenarko adalah jenderal yang cukup cemerlang, yang layak
ditugaskan memimpin Polda Bali, sebuah Polda yang menurut klasifikasi Mabes Polri
merupakan Polda Tipe A, yang memiliki jumlah penduduk yang besar yang tentu saja
memiliki angka kriminalitas yang relatif tinggi pula.
Nama Soenarko sendiri sebenarnya baru muncul sekitar tahun 1998, saat menjabat
sebagai Kapoltabes Semarang. Di kota lumpia ini, Soenarko menghabiskan masa
tugasnya selama hampir dua tahun, sejak mulai berpangkat letnan kolonel (sekarang
AKBP) hingga kolonel (kombes).
Selama bertugas di ibu kota Jawa Tengah ini, kinerja Soenarko terhitung sukses.
Setidaknya, jika di kota lain dilanda banyak aksi unjuk rasa yang dihiasi dengan aksi
kekerasan -- yang kemudian berbuntut dengan mundurnya Soeharto dari kursi
presiden -- situasi kamtibmas di Semarang malah terhitung adem ayem.
Soenarko pun kemudian ditarik menjadi Kepala Pusat Komando Pengendalian
Operasi (Puskodalops) Polda Metro Jaya. Posisi yang kerap disebut merupakan
jabatan di belakang layar ini pun dijalani Soenarko dengan tanpa gejolak, yang
kemudian membuatnya ditunjuk sebagai Kapolda Maluku beberapa waktu kemudian.
Pangkat Soenarko pun otomatis naik menjadi brigjen. Di wilayah yang hingga kini pun
masih sering terdengar adanya konflik berbau SARA (suku, agama, ras dan
antargolongan) ini kemudian kemampuan Soenarko diuji. Bersama dengan Pangdam
Pattimura Mayjen Djoko Santoso (kini Kepala Staf TNI Angkatan Darat) dan Gubernur
yang juga Penguasa Darurat Sipil Daerah Maluku Saleh Latuconsina, Soenarko
bekerja sama mengamankan wilayah yang sering dijuluki propinsi seribu pulau itu.
Upaya Soenarko dan kedua pejabat itu untuk mengamankan Maluku, tak berjalan
mudah. Apalagi, saat itu, banyak aksi unjuk rasa yang terjadi yang menolak
penandatanganan perjanjian damai Malino II.
Belum lagi, masih banyak petualang yang melakukan aksi penembakan gelap dan
ledakan bom di wilayah ini. Soenarko tetap bersikap tegas dalam menegakkan
hukum. Bahkan, ketegasan inilah yang menurut sementara kalangan, membuat
banyak pihak yang ingin melihat Maluku tetap bergolak menjadi tidak senang dan
membuat lobi tingkat tinggi agar rekan seangkatan Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen
Pol. Gories Mere ini segera dicopot.
Akhir Oktober 2002, Soenarko dipindahkan ke Jawa Timur dan menjadi orang kedua
di Polda Jawa Timur setelah Irjen Heru Susanto (kini Deputi Logistik Polri). Mabes
Polri membantah bahwa kepindahan Soenarko ini dikarenakan sikap tegasnya dalam
menangani konflik Maluku.
Hampir satu tahun Soenarko menjadi Wakapolda Jawa Timur, sebelum akhirnya pada
awal september 2003 Kapolri (saat itu) Jenderal Pol. Da'i Bachtiar menunjuknya
sebagai Wakil Kepala Divisi Humas Polri, sebelum akhirnya ditunjuk menjadi Kapolda
Bali akhir pekan lalu. * darmawan s sumardjo
Copyright © BALI POST Online
|