detikcom, Sabtu, 12/11/2005 05:23 WIB
Pemerintah Belum Berani Jujur Tangani Kasus Poso & Ambon
M. Rizal Maslan - detikcom
Jakarta - Sebuah instropeksi muncul dari pejabat pemerintah terkait penanganan
kasus Poso dan Ambon. Yakni adanya kesadaran bahwa kita belum berani dan jujur
dalam mengindentifikasi konflik di Poso dan Ambon. Padahal kedua wilayah ini
merupakan target agenda terorisme di Indonesia.
"Sampai sekarang, terus terang, kita belum berani dan jujur mengidentifikasi masalah
di Ambon dan Poso," jelas Ketua Desk Koordinasi Penanggulangan Teror (DKPT)
Kementerian Polhukam, Ansyaad Mbai kepada wartawan di kantornya, Jl. Medan
Merdeka Barat, Jakarta, Jum'at (11/11/2005).
Ketidakberanian dan ketidak jujuran ini dalam mendiagnosa masalah konflik di dua
wilayah ini, jelas Anysaad, karena memang sensitifnya masalah. Setiap terjadi aksi
kekerasan, apakah itu peledakan bom, penembakan, penggorokan dan penculikan di
Ambon dan Poso, selalu dikatakan itu kriminal biasa.
"Tapi semua pejabat kalau ke Ambon dan Poso pasti membawa pendeta dan kiai, itu
apa artinya?" kata Ansyaad lagi.
Menurut Ansyaad, upaya perdamain melalui perjanjian Malino I da II memang
signifikan dan bagus. Namun upaya perdamaian itu tidak berjalan mulus dan langgeng
karena memang salah dalam mendiagnosa masalah dan tidak akurat.
"Sebetulnya problem di sana adalah konflik agama, bukan agamanya yang konflik.
Tapi ada kelompok yang ingin membenturkan agama itu. Itu sama dengan agenda
sejak dulu," kata Ansyaad.
Jadi menurut Ansyaad, tidak perlu heran dengan peristiwa selama ini di Poso dan
Ambon, yang dinilainya sebagai agenda terorisme. Bahkan wilayah tersebut oleh
pihak internasional disebut sebagai terrorist triangle.
menurut Ansyaad, wilayah yang termasuk kategori terrorist triangle itu diantarnya
jalur Poso, Ampena, Taliabu, Buru, Seram, Ambon, Halmahera, Morotai (Perbatasan
RI-Filipina), Moro (Filipina) dan Sabah (Malaysia).
Sebenarnya, permulaan konflik fisik di Poso dan Ambon ini terjadi karena kemarahan
dari salah satu kelompok atas pembunuhan santri di Poso dan jamaah masjid di
Ambon pada tahun 1998-1999, yang hingga kini belum terungkap siapa pelakunya, Ini
juga berbarengan dengan kepulangan para mujahidin eks Afghanistan ke Indonesia
dan mengirimkan pasukan ke sana.
"Kan itu masalahnya, mulai kedatangn Al Farouq, dia melatih orang, itu faktanya
sangat jelas. Sementara para mujahidin eks Afghanistan dan Mor juga merekrut dan
melatih personel di wilayah konflik. Kan tambah ramai," kata Ansyaad.
Oleh karena itu, jelas Ansyaad lagi, akibat tidak pernah terungkap dan tertangkapnya
pelaku utama aksi kekerasan di Poso menyebabkan sikap apatis, antipati dan
ketidakpercayaan terhadap aparat pemerintah dalam menyelesaikan konflik.
Saat ini pemerintah telah membentu Satgas penyelesaian masalah-masalah di Poso
melalui lintas departemen di bawah koordinasi Menko Polhukam berdasarkan Inpers
No. 14/2005. (gtp)
© 2005 detikcom, All Rights Reserved.
|