HarianKomentar.Com, 18 October 2005
Sekretaris F-PDIP: Ini di luar perikemanusiaan
Gereja Ditutup, Ibadah di Jalanan Diusir Paksa
Warga Kristen di Jatimulya, Bekasi Timur terpaksa harus menggelar ibadah Minggu di
jalan akibat gerejanya ditutup, dan dilarang memakai rumah tempat ibadah. Namun
kebaktian ini kembali mendapat halangan, karena ada kelompok radikal yang ikutan
menggelar sembahyang di jalanan tersebut, Minggu (16/10). Mereka pun mengusir
jemaat yang beribadah secara paksa.
Tak ingin mencari masalah, umat Kristen Jatimulya ini mencari jalan lain yang kosong
untuk beribadah meski sedikit was-was. Kekhawatiran itu pun menjadi kenyataan.
Kesal karena merasa terkecoh, kelompok pengganggu tadi naik pitam dan
menyerang jemaat yang sedang bersiap beribadah. Sambil berteriak mereka
menyuruh jemaat untuk bubar.
Tak puas dengan aksi tersebut, beberapa oknum bahkan mendorong Pdt Anna, yang
juga Ketua Sinode Gekingo hingga terjerembab di selokan. Herannya, polisi yang
dipanggil untuk melakukan perlindungan, hanya bisa menonton saja atas
penganiayaan pendeta perempuan tersebut.
Yang mengharukan, jemaat tetap tegar melanjutkan kebaktian di jalanan sebelum
akhirnya pulang. Minggu malam, sejumlah pengacara Kristen berkumpul dengan para
pimpinan gereja setempat untuk memutuskan respon apa yang akan diambil. Jika
mereka terus kebaktian Minggu nanti, maka akan ada bahaya yang lebih besar.
Sekretaris Fraksi PDIP Jakobus Mayong Padang kepada koran ini via ponsel kemarin
(17/10) mengungkapkan, peristiwa tersebut semakin menambah luka yang mendalam
bagi umat Kristen di Jatimulya dan umat Kristen di seluruh Indonesia.
"Saya tegaskan peristiwa ini sangat menyedihkan sekali. Secara pribadi maupun
sebagai wakil rakyat saya sangat menyesalkan dan mengecam tindakan anarkis
seperti itu," tegasnya.
Ia menjelaskan, aksi pengusiran oleh warga dan FPI dengan melarang warga
beribadah merupakan aksi diluar peri kemanusiaan, apalagi sampai mengeluarkan
kata-kata yang dapat menimbulkan konflik SARA. Karenannya, jika hal ini dibiar-kan
terus maka akan menimbulkan konflik horizontal yang tentunya akan berdampak
pada beban biaya yang besar.
"Sangat menyesalkan karena warga di larang beribadah. Ini di luar kemanusiaan. Tapi
sayangnya aparat pemerintah khususnya di tingkat kelurahan dan aparat kepolisian
terkesan membiarkan keadaan ini terjadi. Padahal bila ini dibiarkan akan
menimbulkan konflik SARA dan untuk menyelesaikannya butuh dana yang besar,"
ungkapnya.
Karena itu, lanjutnya, pemerintah dan aparat kepolisian harus segera menangani
masalah ini secara lebih serius dan mencari jalan keluarnya dengan mengacu pada
idiologi Pancasila dan UUD 1945.
"Pancasila dan UUD 1945 sudah menegaskan bahwa setiap warga diberikan
kebebasan beragama. Jadi melarang orang beribadah berarti selain melanggar hak
asasi, tetapi terlebih melanggar idiologi dan dasar negara kita. Dan inilah yang harus
segera diberantas peme-rintah dan aparat kepolisian," ujarnya.
Senada dengan itu juga dikemukakan Ketua Fraksi PDS Apri Sukandar. Menurutnya,
kasus Jatimulya menggambarkan perilaku yang melanggar Pancasila dan UUD 1945.
"Menurut saya yang benar adalah setiap orang punya hak yang sama untuk
beribadah kepada Tuhan yang diimaninya. Karena ini diatur dalam Pancasila sebagai
ideologi dan UUD 1945. Jadi tidak boleh diganggu dong kalau orang beribadah. Itu hak
asasi manusia," papar-nya.
Karenanya, untuk menghilangkan peristiwa yang menyedihkan ini pemerintah harus
turun tangan, karena merekalah yang berwewenang melindungi hak asasi segenap
masyarakat, termasuk hak beribadah.
"Kalau tidak kepada siapa lagi warga dapat berlindung? Jadi pemerintah harus
bertindak tegas," tandasnya. (imo/win/*)
© Copyright 2003 Komentar Group. All rights reserved.
|