Indopos, Sabtu, 17 Des 2005
Zulkarnaen, Panglima Perang JI, Buron Nomor Satu Polisi; Apa
Kata Keluarganya?
Sebelum Menghilang, Titip Tiga Anak
Zulkarnaen disebut-sebut sebagai panglima sayap militer kelompok Jamaah
Islamiyah. Aparat menyebutnya terlibat dalam bom Bali dan sejumlah ledakan lain di
tanah air. Bagaimana kehidupan keluarganya setelah orang yang masuk "daftar paling
diburu" polisi itu menghilang?
SUGENG TILE, Sragen
Tidak sulit menemukan rumah orang tua Zulkarnaen di Dukuh Gebang Kidul RT 2 RW
VI, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Sragen. Rumahnya terletak di kawasan
pedesaan yang dikepung oleh areal persawahan. Kendati di pedalaman, lokasi itu
tidak bisa dibilang terpencil karena hanya sekitar 6 kilometer dari ruas jalan provinsi,
jurusan Solo-Surabaya.
Nama Zulkarnaen sangat populer di kalangan warga Gebang. Pria yang bernama asli
Arif Sunarso itu menjadi akrab di mata tetangganya dengan nama Zulkarnaen setelah
dalam tiga tahun terakhir ini polisi silih berganti datang untuk mengawasinya. Apalagi
setelah tragedi bom Bali polisi hampir setiap hari mampir ke Desa Gebang. Dengan
berbagai penyamaran, aparat mengendus kemungkinan keberadaan Zulkarnaen.
"Para petugas memang sering datang ke sini untuk mencari Zulkarnaen," ujar
seorang warga Gebang kepada koran ini kemarin.
Selain Zulkarnaen, Arif Sunarso yang posisinya kini tidak diketahui itu juga
mempunyai nama alias Daud. Memang di kelompok tersebut, anggota mempunyai
berbagai alias. Lihat saja, Imam Samudra yang kini mendekam di Nusakambangan.
Samudra yang mempunyai nama asli Abdul Aziz itu juga mempunyai nama Kudama
dan Faiz.
Zulkarnaen termasuk orang yang paling dicari polisi. Jabatannya dalam struktur JI
sangat strategis. Dia disebut sebagai komando Asykari Islamiyah. Tanggung
jawabnya paling besar atas operasi organisasi tersebut. Dengan posisi itu, Zulkarnaen
berada di atas Imam Samudra atau Azhari Husin dan Noordin M. Top. Dan,
Zulkarnaen sangat dihormati oleh komunitasnya.
Polisi juga menyebut-nyebut Zulkarnaen hadir dalam rapat perencanaan bom Bali di
Grogol, Sukoharjo, Solo. Dari situ dia juga memberikan instruksi. Namun, hingga kini,
polisi tak menemui jejaknya. Zulkarnaen bak ditelan bumi.
Kendati Zulkarnaen disebut tokoh penting di organisasi garis keras itu, di rumah orang
tuanya tidak ada simbol-simbol yang menunjukkan mereka adalah keluarga fanatik
dengan garis pemikiran keras. Ornamen rumah tempat Zulkarnaen menjalani masa
kecilnya itu tak jauh beda dengan warga biasa.
Ketika koran ini datang, rumah Zulkarnaen sedang kosong. Orang tuanya, Hadi Saleh
dan Aminah, menghadiri acara selamatan tetangga yang pamit berhaji. Hanya
menunggu sejenak, Hadi yang dipanggilkan tetangga akhirnya muncul di rumahnya.
"Monggo-monggo, masuk ke rumah, Mas," sapanya ketika menemui koran ini.
Setelah mendengar penjelasan koran ini yang ingin mengetahui kabar Zulkarnaen,
pria yang sudah banyak beruban itu segera membeberkan sejarah putra pertamanya
tersebut. "Sudah sekitar tiga tahun ini, saya tak pernah bertemu dengannya," ujar
Hadi.
Guru madrasah ibtidaiyah negeri (MIN) di wilayah Kecamatan Mojogedang,
Karanganyar, itu mengungkapkan, nama asli anak pertamanya itu sebenarnya adalah
Arif Sunarso. Terakhir pulang ke rumah, saat Idul Fitri 2001 silam.
Hadi mengaku sangat rindu kepada anaknya tersebut. Namun, sampai kemarin, pria
beranak enam itu mengaku tidak tahu-menahu posisi Zulkarnaen. "Kalau rindu, saya
hanya bisa berdoa. Moga-moga dia dalam keadaan baik-baik," ujar Hadi yang tak
mau dipotret itu.
Ketika ditanya soal dugaan keterlibatan Zulkarnaen dalam kasus peledakan bom,
ekspresi wajah Hadi jadi lain. Nada bicaranya jadi gemetar, seolah tak tega jika
anaknya sampai terlibat teror.
Dituturkan Hadi, perilaku Zulkarnaen pada masa kecil terbilang alim dan tak suka
pada kekerasan. Bahkan, anak laki-laki pertamanya yang lahir pada 1963 itu penakut
dan rajin menabung. Karena itu, Hadi mengaku tak pernah memarahi Zulkarnaen.
Setelah Zulkarnen lulus sekolah dari SD Negeri Gebang, Hadi mengirim anaknya ke
Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Grogol, Sukoharjo (sejak
1975-1981). "Saya mengirim anak saya ke pondok pesantren agar belajar agama
karena saya sendiri nggak ngerti banyak tentang ajaran agama," aku Hadi.
Namun, dia sangat kaget ketika ditanya apakah Zulkarnaen pernah kuliah di
Universitas Gadjah Mada (UGM). Seperti yang disebut-sebut sejumlah media massa.
Hadi hanya menggelengkan kepala, isyarat tidak tahu-menahu riwayat pendidikan
putranya di kampus terkemuka itu.
Semenjak Zulkarnaen menyelesaikan pendidikan setingkat SMP dan SMA, Hadi tak
pernah memberikan biaya pendidikan lagi. Setahu dia, usai menyelesaikan
pendidikan setingkat SMP dan SMA, putra sulungnya itu mencari nafkah sendiri.
Tak lama kemudian, Zulkarnaen menikahi Wahyuningsih, wanita asal Ngruki, Grogol,
Sukoharjo. Dari hasil pernikahannya dengan wanita yang dikenal saat nyantri di
Ponpes Al Mukmin itu, Zulkarnaen alias Arif Sunarso dikaruniai enam anak.
Tiga di antaranya kini tinggal serumah dengan Hadi di Gebang. Mereka adalah
Abdullah (kini sekolah di sebuah SMA Solo), Yahya (sekolah di sebuah MI), dan
Amaturohmah. Saat menitipkan ketiga anaknya ke Gebang itulah, Hadi mengaku
terakhir bertemu dengan Zulkarnaen alias Arif Sunarso. "Sejak itu, saya tak tahu lagi
dia ada di mana," keluhnya.
Tiga anak lain Zulkarnaen dibawa istrinya. Hadi juga tidak mengetahui kabar
menantunya, Wahyuningsih, karena sudah lama tak berkomunikasi. Wartawan koran
ini sempat mendatangi sebuah alamat di Laweyan, Solo, yang disebut-sebut sebagai
tempat tinggal istri Zulkarnaen itu. Namun, ternyata salah alamat.
Koran ini juga mendatangi rumah tempat tinggal terakhir Zulkarnaen di Waringinrejo,
Cemani, Sukoharjo. Rumah di belakang Ponpes Ngruki untuk santriwati itu sudah
kosong. Tetangga sekitarnya pun tidak tahu ke mana Zulkarnaen pindah.
Lantas, di mana Zulkarnaen? Hadi tetap menggeleng sembari mengangkat bahu. Dari
raut wajahnya, tergambar jelas kerinduan seorang ayah terhadap anaknya. "Saya
selalu berdoa semoga dia selamat," ujar Hadi dengan suara parau.
|