Indopos, Sabtu, 24 Des 2005
Renungan Natal 2005
Empati bagi Yang Lemah
Oleh Tom Saptaatmaja *
Terkait dengan bencana kelaparan di Yahukimo, ada sebuah berita yang
menunjukkan miskinnya empati dan minimnya solidaritas pejabat tinggi kita terhadap
rakyatnya yang sedang dilanda kesusahan.
Karena kawasan Yahukimo masih sulit ditembus, rombongan Menko Kesra Aburizal
Bakrie dan Mentan Anton Apriantono hanya bisa sampai di Bandara Wamena. Cuaca
buruk menyebabkan rombongan dari Jakarta itu gagal menapakkan kaki di daerah
miskin pangan yang menyebabkan 55 orang meninggal karena kelaparan tersebut.
Meski belum mencapai Yahukimo, mereka menjelaskan bahwa situasi di daerah itu
tidak separah yang dibayangkan orang. Hal tersebut disampaikan Ical -panggilan
Aburizal Bakrie- berdasar laporan yang diterima dari pejabat daerah serta utusan yang
datang ke wilayah tersebut (koran ini, 11/12/2005).
Dikecam
Kontan, ucapan Ical tersebut dikecam berbagai kalangan. Para mahasiswa Papua
yang menggalang dana di jalan-jalan protokol Surabaya menilai bahwa pemerintah
pusat memang tidak punya mata dan telinga untuk mendengarkan jerit rakyatnya di
ujung timur itu (13/11).
Tindakan dan ucapan Ical tersebut dinilai mengecilkan persoalan dan penderitaan
rakyat Papua sekaligus menunjukkan mandulnya mata batin para politikus di Jakarta.
Sebab, kematian 55 nyawa rakyat dianggap sebagai situasi yang belum parah. Elite
di Jakarta mungkin memang punya perhatian untuk Papua, tetapi bukan kepada
rakyatnya, namun hanya kepada laporan para pejabat di daerah tersebut.
Memang, harus diakui, praksis kehidupan berbangsa dan bernegara kita masih
menunjukkan sesuatu yang elitis. Sehingga, penderitaan rakyat banyak kurang
menjadi perhatian utama.
Bahkan, kadang ada kebijakan yang justru menyengsarakan banyak orang. Misalnya,
kebijakan kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005 serta kebijakan ekonomi yang
propasar atau prokaum neolib daripada berpihak pada rakyat. Tidak heran, dalam
kondisi demikian, orang-orang kecil dan lemah seperti kaum buruh, penganggur, atau
petani justru kian termarginalkan.
Menjangkiti Pejabat Gereja
Yang memprihatinkan, tren dunia politik kita itu kini juga menular ke ranah agama.
Ada sementara agamawan kristiani (tentunya tidak semua) yang kini justru dihinggapi
mentalitas seperti para elite politik kita.
Mereka (agamawan) terkesan merasa sudah nyaman dengan posisinya yang tinggi,
sehingga tidak mau turun melihat ke bawah, kepada tangisan, jeritan, dan
penderitaan sebagian umatnya yang dilanda berbagai persoalan hidup.
Bahkan, umat yang merindukan kehadiran para pemimpinnya ibarat pungguk
merindukan bulan. Penulis sering merekam aspirasi umat yang demikian rindu ingin
dikunjungi pastor atau uskupnya. Tapi, hal itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Sebulan lalu, misalnya, saya diajak rapat oleh para elite atau tokoh umat di sebuah
paroki di Surabaya. Topiknya membahas rencana kunjungan pastor kepada sebagian
umatnya. Semula penulis begitu bangga karena berpikir pastor pasti akan
mengunjungi umatnya satu per satu. Karena itu, kami tidak berkeberatan ketika
diminta memberikan sumbangan yang diperlukan untuk kunjungan tersebut. Ternyata
tidak, pastor hanya meminta sekelompok umat berkumpul, lalu mendengarkan
unek-unek umat yang sudah diseleksi.
Akibatnya, aspirasi umat yang merindukan kedekatan dengan gembalanya menjadi
terbentur dinding protokol. Gaya seperti itu dulu ditunjukkan para klerus (pejabat
gereja) dari abad pertengahan di Eropa yang sangat feodal dan gagal mendengarkan
suara hati umatnya.
Mengapa agamawan (pejabat gereja ) cenderung elitis, bermental feodalistis, dan
lebih suka bertakhta di menara gading? Teolog Aloysius Pieris dari Sri Lanka pernah
mengungkapkan, gereja di Asia, termasuk Indonesia, hanya bisa berhasil
menjalankan misinya jika mereka tidak buta pada fakta kemiskinan umat sekaligus
mau menolak setiap persekongkolan dengan "mammon" (uang) atau kaum kuat
pemilik modal (Anton Wessel, Jezus Zien: Hoe Jezuz is overgeleverd in andere
culturen, Uitgeverij Ten Have b.v., Baarn, 1986).
W.S. Rendra semasa masih Katolik dulu dalam sajak Nyanyian Angsa juga
mengecam kecuekan pastor yang mengunci pintu pastorannya ketika Maria Zaitun,
seorang pelacur yang terkena penyakit kelamin, hendak mengaku dosa.
Sikap cuek seperti itu juga masih terjadi hingga saat ini. Pintu pastoran atau pintu
hati pastor akan buru-buru dikunci atau ditutup jika ada orang yang hendak mencari
pekerjaan, perkawinannya bermasalah, atau anak-anaknya butuh uang SPP. Pastor
lebih senang tidur siang, menonton telenovela, atau melakukan kegiatan-kegiatan
selebriti.
Nabi Yesaya pernah mengingatkan, "Aku (Allah) menghendaki supaya engkau
membagi-bagikan rotimu kepada orang lapar, membawa orang miskin yang tidak
punya rumah, memberi pakaian orang telanjang."
Yesaya sebenarnya menginginkan kita segera mengoreksi cara beragama kita yang
hanya memikirkan kenyamanan, kesucian, atau soteriologi (keselamatan) diri sendiri
dan tiada waktu serta perhatian bagi yang lemah.
Suka Duka
Natal dalam perspektif teologi dan iman kristiani bermakna, Allah mau menjadi
manusia lemah dengan lahir sebagai bayi di sebuah kandang di Bethlehem. Allah
dalam diri Yesus ingin merasakan suka duka dan pahit getirnya menjadi manusia
serta mengangkat manusia dari keterpurukan dosa.
Jadi, Natal bisa dibaca sebagai empati dan solidaritas Allah yang bukan hanya
mengunjungi manusia, tetapi mau selevel dengan manusia. Sepanjang hidup Yesus
dibaktikan agar mereka yang lapar menjadi kenyang, yang haus dipuaskan, yang
buta melihat, bahkan yang mati bisa hidup kembali. Jika Yang Mahatinggi saja mau
berempati dan solider terhadap kaum lemah, mengapa kita sebagai manusia justru
tidak?
*. Tom Saptaatmaja, teolog, alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari St
Vincent de Paul
|