JAWA POS, Minggu, 09 Okt 2005
Bawa Bom dari Moro
Pengakuan Warga Banten yang Dilatih di Mindanao
BANTEN - Sembilan warga Banten yang kini terus dipantau polisi terkait dengan bom
Bali II betul-betul pernah dilatih di Mindanao, Filipina Selatan. Hadidi alias Abu Zahro,
salah seorang di antara mereka, berterus terang pernah mengikuti latihan di Kamp
Abu Bakar yang di dalamnya ada Kamp Hudaibiya.
Kemarin, wartawan koran ini berhasil menemui Hadidi di rumahnya di Desa
Pengarengan, Kedung Banteng Bojonegara, Serang. Rumah itu sangat sederhana.
Temboknya tak diplester. Sehari-hari Hadidi menjadi kuli angkut batu di pegunungan
kapur di desanya.
Dia mengaku mengikuti pelatihan di Mindanao bersama delapan warga Banten
lainnya. Mereka adalah Burhanudin alias Hapudin (Serang); Suganda alias Nasir
(Menes, Pandeglang); Benny alias Abu Fani (Pandeglang); Saptono alias Abu Akmal
(Sajira); dan Sumaryo(Lebak).
Juga, Iwan Rois alias Abdul Fatah (Leburan, Pandeglang); Ofan alias Aditya Diniyah
(Pandeglang); dan Rosikin alias Abu Abdullah alias Ihin (Petir, Seran! g). Di antara
nama-nama itu, hanya Iwan Rois yang sudah ditangkap polisi karena terlibat
peledakan bom di Kedubes Australia pada 9 September 2004.
Nama-nama tersebut telah ditulis Jawa Pos kemarin dan telah dicatat kepolisian. Kini
mereka diawasi ketat. "Kami berangkat ke Filipina akhir 1999. Tapi, saat itu saya
nggak mengerti. Saya seperti masuk dalam skenario Pak Djaja," ungkapnya.
Yang dimaksudkan Pak Djaja itu adalah salah seorang pimpinan Pamswakarsa pada
1998-an di Jakarta. Hadidi sempat bergabung dalam Pamswakarsa tersebut saat
krisis moneter 1997. Ketika itu keadaan ekonomi keluarganya morat-marit.
Djaja pula yang kemudian memperkenalkan Hadidi dengan Imam Samudra, terpidana
bom Bali I. Namanya pun terseret pada setiap peristiwa peledakan bom. Hingga kini,
Djaja masih dikejar polisi.
Hadidi merasa masuk dalam skenario karena awalnya dia hendak diberangkatkan
untuk berjihad di Ambon. "Ternyata, dari Tanjung Priok, kami dibawa ke Bitung,
Sulawesi Selatan, lalu diselundupkan ke Filipina Selatan," lanjutnya.
Pengakuannya itu sekaligus mengklarifikasi keterangan yang disampaikan saudara
sepupunya, Syaifullah, yang juga kepala Desa Pengarengan, Kedung Banteng,
kemarin. Syaifullah mengatakan, Hadidi tidak pernah ke Filipina. Dia hanya ke
Ambon.
Hadidi berangkat bersama delapan warga Banten lainnya. Sementara itu, Djaja yang
mengajak mereka justru tidak ikut. Rombongan bisa sampai di kamp Abu Bakar atas
bantuan seorang pemandu kelahiran Sulawesi.
Lelaki yang semasa mudanya aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) itu akhirnya
berlatih sekitar satu bulan di Filipina. Dia mendapatkan serangkaian pelatihan bela diri
tangan kosong dan memakai senjata serbu. "Tapi, tak ada pelatihan perakitan bom.
Saya juga tak punya latar belakang merakit bom. Saya tidak bisa buat bom,"
tegasnya sambil menerangkan masa lalunya.
Kalau awalnya hendak berjihad di Ambon, lalu kenapa mau dibawa! ke Filipina?
"Saya telanjur meninggalkan keluarga. Saya sudah ikut mereka dan Pak Djaja
banyak menolong saya," jawabnya.
Kamp yang dipergunakan untuk latihan tersebut milik MILF (Moro Islamic Liberation
Front). Ada beberapa nama lain yang sempat belajar di sana. Di antaranya, Yudi
Lukito Kurniawan alias Ismail yang sempat ditahan polisi gara-gara menyimpan
senjata api di Surabaya pada 2003 lalu.
Di kamp Abu Bakar itu, ada sekitar 17 orang Indonesia yang lain dan kebanyakan dari
Poso, Sulawesi. Dengan demikian, jumlah total 26 orang. Hadidi hanya mengenal
beberapa instruktur. Antara lain, Abu Bakar, Benji, dan Toriq.
Pelatihan itu dilakukan selama 25 hari. "Selama di sana, saya juga belum pernah
berperang melawan tentara Filipina kecuali bantu-bantu patroli bersama gerilyawan
Moro," ungkapnya.
Hadidi cs kemudian minta pulang ke Indonesia Februari 2000. Mereka dipulangkan
dengan Kapal Perintis Daya Sakti, Februari 2000. Memang sejak 1999, dibuka jalu! r
pelayaran Bitung, Sulawesi Utara, ke General Santos City di Filipina Selatan.
Dalam perjalanan, kapal yang mereka tumpangi sempat meledak. Ternyata, ledakan
itu berasal dari bom yang mereka bawa. Bom dan senjata lain, seperti pistol, tersebut
rupanya diselundupkan rekan Hadidi. Dia sendiri tak mengetahui penyelundupan
senjata itu.
Kapal tersebut akhirnya dirazia polisi saat bersandar di Sangihe-Talaud. Hadidi ikut
diproses dengan tuduhan kepemilikan senjata dan penggunaannya. Yang juga
sempat diproses adalah Burhanuddin dan Laode Agus Salim alias Mubarak asal
Sulawesi Selatan. Beberapa rekannya yang lain lolos.
Hadidi cs juga dituduh masuk ke Filipina tanpa dokumen resmi. Akhirnya, bapak
enam orang anak itu divonis 8,5 bulan penjara di Lapas Tahuna, Sulawesi Utara.
Setelah bebas pada November 2000, dia diterbangkan ke Jakarta.
Di Bandara Soekarno Hatta, dia dijemput Djaja. Merasa kapok berhubungan dengan
Djaja, Hadidi pun menghindar. Dia ingin be! rgaul kembali dengan masyarakat secara
wajar. Namun, tak lama kemudian, pada awal 2001, mereka rujuk. Hadidi merasa tak
kuasa menahan bujukan Djaja supaya bergabung kembali dengan dirinya.
Dia pun diajak Djaja ke Ciceri, Serang, bersama dengan Iwan, Suganda, dan dua
orang lainnya yang Hadidi sudah lupa namanya. Dari Ciceri, mereka kemudian
menuju RM Sari Kuring, Cilegon. Di situlah, untuk kali pertama, Hadidi diperkenalkan
Djaja dengan Imam Samudra. Seingat Hadidi, saat itu, Imam banyak berbicara soal
kerusuhan Sampit dan Ambon.
Dari rumah makan, mereka diajak ke sebuah warnet di Cilegon. Imam mengajari cara
menggunakan internet dan berhubungan dengan email. Imam memang dikenal jago
urusan internet. "Setelah itu, saya tidak pernah bertemu dengan Imam Samudra.
Tuduhan bahwa saya pernah satu angkatan di Filipina dan dititipi uang Rp 15 juta oleh
Imam dalam bom Bali I juga tidak benar," bebernya. Setelah itu, Hadidi tak pernah
mengikuti perte! muan selanjutnya. "Saya takut," akunya.
Karena mempunyai sejarah masa lalu dengan Imam dan pengalaman di Moro itulah,
Hadidi selalu didatangi polisi setiap ada bom meledak. Dia mengaku trauma dan
jantungnya berdebar keras saat bom meledak. "Selama ini, saya juga tak pernah
dengar apa itu Jamaah Islamiyah," katanya.
Selama diperiksa polisi, akunya, dia selalu diperlakukan dengan baik. Dia tak pernah
dipukuli. Terkait dengan bom Bali II, dia pun sempat diperiksa polisi. Pemeriksaan
dilakukan di rumah Syaifullah pada Jumat malam.
Selain ditanya aktivitasnya, dia disodori foto tiga wajah pengebom bunuh diri. Hadidi
mengaku tidak kenal mereka. Bahkan, dia tidak mengetahui peristiwa 1 Oktober itu.
Untuk menguatkan bahwa dirinya tidak terlibat bom Bali II, Hadidi kemarin
membacakan surat pernyataan di depan wartawan. Intinya, aksi itu dilakukan orang
yang biadab. Dia mengutuk peristiwa itu. "Ini tindakan hawa nafsu yang kejam yang
tidak mengenal perikemanusia! an dan kasih sayang sesama manusia. Tidak ada
agama yang mengajarkan kekejian begini," ujarnya dengan tangis tertahan. Dia juga
menyatakan perang terhadap aksi semacam itu.
Lalu, apakah eks didikan Moro tidak mungkin terlibat aksi semacam itu? "Saya
mengenal orang-orang seperti Burhan, Maryo, Suganda, dan Ihin. Mereka orang-orang
yang lembut. Rasanya, tidak mungkin mereka melakukannya, tapi saya ya nggak
tahu selebihnya. Saya tidak berhubungan dengan mereka," jawabnya. (naz)
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|