JAWA POS, Jumat, 18 Nov 2005
MUI: Bom Bunuh Diri Haram
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2003 ternyata mengeluarkan fatwa
yang mengharamkan tindak terorisme dan bom bunuh diri (suicide bombing). Fatwa
tersebut dikeluarkan sejak bom Kuningan yang menyebabkan sejumlah umat Islam
ikut meninggal akibat ledakam bom di depan Kedubes Australia itu.
Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amien menyatakan, dalam fatwanya, MUI
menyatakan bahwa terorisme yang dilakukan dalam kondisi negara damai
(darussalam) bukan merupakan jihad. Sebab, fatwa tentang perjuangan (jihad) hanya
bisa diterbitkan bila negara dalam kondisi perang (darul had).
"Indonesia tidak dalam keadaan perang seperti Palestina melawan Israel. Cirinya,
tidak ada pengusiran dari kampung halaman sendiri. Dengan demikian, tidak
dibenarkan melakukan tindakan terorisme dalam bentuk apa pun," jelas Ma'ruf
setelah menonton video -mengenai testimoni anak buah Dr Azhari Husin yang
melakukan bom bunuh diri- di kediaman dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jalan
Diponegoro 14, Jakarta, tadi malam.
Dengan alasan tersebut, MUI menyatakan bahwa bom bunuh diri tidak memenuhi
syarat sebagai amalan istitadiyah (mencari syahid) yang berpahala surga. Hal itu
dipertegas dengan banyaknya umat Islam yang turut menjadi korban peledakan bom.
"Selain itu, memastikan bahwa pahala bom bunuh diri adalah masuk surga berarti
telah mengambil alih kewenangan Tuhan," tegasnya.
Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif menjelaskan, bom
bunuh diri merupakan teologi perlawanan yang beroreintasi kekalahan dan dilakukan
orang yang berani mati, namun tidak berani hidup. Dia menegaskan, desakan
modernisasi memang mengalahkan Islam, namun tidak bisa dilawan dengan bom
bunuh diri. "Desakan modernisasi memang membuat umat Islam kehilangan acuan.
Lupa pada pokok ajaran Islam, yakni kebenaran dan kebajikan bagi seluruh alam atau
rahmatan lil alamin," katanya.
Ketua PB NU Ahmad Bagja mengibaratkan pelaku terorisme seperti murid yang
belum selesai bersekolah di madrasah, sehingga menafsirkan secara keliru ayat-ayat
dalam Alquran. Menurut dia, penilaian terhadap Islam tidak boleh hanya dilakukan
dengan melihat gerakan Islam di Afghanistan, Iraq, atau Iran. Yang terpenting justru
inti ajarannya sebagai rahmat bagi alam, bukan Islam sebagai sebuah gerakan politik.
"Bila seluruh negara ingin melenyapkan terorisme, semua negara harus mengurangi
sistem yang tidak adil, menjembatani persamaan, dan memahami seluruh kelompok
agama," ungkapnya.
Sekretaris Umum MUI Ichwan Syam menambahkan, label dan ajaran Islam telah
dilaksanakan secara salah. Menurut dia, terorisme merupakan gerakan politik untuk
mendirikan negara Islam di kawasan Asia Tenggara. "Namun, bila tujuannya memang
benar ingin mendirikan negara Islam, mengapa pemimpin-pemimpin Islam di
Indonesia atau Malaysia tidak pernah berkoordinasi? Jadi, bisa ditegaskan bahwa
teroris telah memanfaatkan ajaran, keyakinan, dan orang-orang Islam untuk tujuan
yang jauh dari ajaran Islam," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, di
samping mendorong pemberantasan terorisme di Indonesia, pemerintah harus
mewaspadai konspirasi global. Din mengaku mendapat informasi dari Mabes Polri
bahwa sekitar 3.000 alumni eks pejuang Mujahidin yang pada periode 1979-1981
berjuang di Afghanistan sudah berada di Indonesia.
"Mereka bagian dari ribuan pemuda muslim dari 24 negara yang mendapat pelatihan
dari sebuah negara adikuasa untuk menghadapi Uni Sovyet di Afghanistan. Apa
mungkin setelah Uni Sovyet jatuh mereka putus hubungan begitu saja," katanya.
Karena itu, Din meminta pers dan Polri tidak selalu mengaitkan tindak terorisme
dengan umat Islam. Sebab, tindak terorisme tidak punya akar pada Islam dan agama
lain di dunia. "Mengaitkan Islam dengan terorisme sangat menyinggung umat Islam,"
katanya. (noe)
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|