JAWA POS, Minggu, 20 Nov 2005
Hendro: Saya Bukan Agen CIA
Bantah Tangkap Teroris Pesanan AS
JAKARTA - Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (pur) Abdullah
Mahmud Hendropriyono benar-benar gerah atas pemberitaan The Washington Post
edisi Jumat. Hendro membantah semua isi pemberitaan yang menyebutkan bahwa
dirinya melaksanakan order dari Badan Intelijen AS (CIA) dalam perang global
melawan terorisme tersebut.
Dia juga membantah bahwa dirinya dan keluarganya disebut mendapatkan
keuntungan khusus dari hubungan dengan CIA itu. Dia merasa difitnah dan
direndahkan oleh pemberitaan tersebut. Karena itu, mantan Pangdam Jakarta-Raya
tersebut berancang-ancang untuk memberikan somasi terhadap koran terbitan AS itu,
bahkan sampai proses penuntutan.
Hal itu dikatakan Hendro saat ditemui Jawa Pos di kantornya, Hello (Hendropriyono
Law Office), kawasan Jakarta Selatan, sore kemarin. "Saya tidak terima. Saya bukan
agen CIA dan saya akan tuntut ke mana pun. Saya merasa dicemarkan dan minta ini
(The Post) diusut," katanya. Draf somasi itu kemarin sudah mulai dibuat dan segera
dikirim.
Jenderal yang sangat dekat dengan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu
mengatakan, tidak benar ada intervensi dari CIA saat dirinya menjabat kepala BIN
mulai 2001 hingga 2004. Bukan hanya itu, Hendro menjamin tidak pernah satu kali
pun menandatangani kesepakatan kerja sama (MoU) antara lembaga intelijen negara
dan intelijen Paman Sam itu. Kalau pun ada kerja sama,! itu sifatnya multilateral
antara ASEAN -di mana Indonesia masuk di dalamnya- dengan AS, Australia, dan
Pakistan.
"Tak ada intervensi apa pun dari negara asing mana pun. Termasuk dari AS. Karena
terorisme di Indonesia ini menghadapi bangsa dan pemerintah kita sendiri. Karena itu,
menumpasnya juga kepentingan nasional kita," ujarnya.
Dugaan adanya konspirasi dan intervensi AS dalam aktivitas kontraintelijen di
Indonesia, terutama dalam menangkal aksi teror, diungkap harian The Washington
Post. Dalam laporannya, koran terbesar di AS itu menulis bahwa CIA telah
membentuk pusat operasi atau intelijen antiteror di lebih dari dua lusin negara. Salah
satunya di Indonesia.
Dalam laporan tersebut, juga diceritakan bahwa Hendropriyono bersedia bekerja sama
dengan AS dalam bidang apa pun. Hendro disebut kerap menjalin kontak dengan
mantan Direktur CIA George Tenet, bahkan melalui telepon dan kunjungan dinas.
Sebagai imbalannya, Tenet mengabulkan dua permintaan p! ribadi Hendropriyono.
Yaitu, menyediakan dana pembangunan sekolah intelijen regional International
Institute of Intelligence di Batam dan memasukkan kerabatnya ke
universitas-universitas unggulan AS. Tenet juga mengatur segala hal untuk
memasukkan Hendropriyono ke National War College di Fort McNair.
Untuk membalas semua ini, Hendropriyono membuktikan kesungguhannya dengan
menangkap Muhammad Saad Iqbal Madni, warga Mesir yang diduga kuat memiliki
hubungan dengan "pengebom sepatu" Inggris yang gagal, Richard C. Reid.
Hendropriyono juga mengizinkan CIA membawa Madni ke Mesir untuk menjalani
proses interogasi. Bukan hanya itu. Hendropriyono pun membekuk Omar al-Farouq,
yang diyakini sebagai pemimpin Al Qaidah di Asia Tenggara.
"Itu semua dusta. Saya tak mau difitnah pendusta. Yang ada itu kerja sama, bukan
intervensi. Misalnya, tukar menukar informasi (compare notes) dan saling bantu untuk
kepentingan negeri masing-masing. Ada juga yang tukar-menukar tahanan, tap! i kita
tidak melakukan ini," lanjutnya.
Soal pusat intelijen antiteror yang dinamakan CTIC (Counter Terrorist Intelligence
Centers) dan tersebar di negara-negara Eropa, Timur Tengah, dan Asia dibenarkan
Hendro yang pernah mendengar soal ini. Indonesia juga mempunyai badan antiteror
sendiri yang bentuknya bermacam-macam dan bersifat mandiri. Intelijen Indonesia
tidak bekerja di bawah CTIC.
Hendro menjamin tidak ada satu pun mereka yang ditangkap di Indonesia yang
merupakan pesanan asing, termasuk AS. Hendro juga membantah jika banyak orang
Indonesia ditahan BIN karena dipesan AS. Yang ada hanyalah beberapa
penangkapan terkait WNA yang membuat onar di tanah air. Dia lalu mencontohkan
dengan menyebut nama Omar al-Farouq.
Menurut dia, penangkapan al-Farouq -yang baru saja kabur dari penjara Baghram,
milik AS di Afghanistan itu- karena dia terlibat kegiatan training camp di Poso,
Sulteng. BIN sendiri awalnya tak punya identitas apa pun soal dia dan baru
belakangan dikenali terlibat jaringan Al Qaidah.
"Kita tak kenal Al Qaidah. Pokoknya orang ini bikin gara-gara di Ambon lalu di Poso
sebagaimana dokumen dan informasi yang kita dapatkan," tambahnya. Setelah
ditangkap, cerita Hendropriyono, al-Farouq ditawarkan pada siapa yang tahu dia
sebenarnya. Pokoknya, yang penting dia keluar dan yang tahu imigrasi. "Setelah
ternyata (diambil) AS, ya terserah."
Soal Madni juga dibenarkan Hendro. Namun, dia menegaskan bahwa itu bukan
permintaan AS, melainkan kerja sama intelijen dengan Mesir. Hal semacam ini
adalah biasa dalam dunia intelijen. Hanya Hendro mengaku lupa di mana
penangkapan Madni ini dilakukan dan kapan. Yang jelas tempatnya bukan di Poso.
"Pokoknya, saat itu kita tangkap, kita serahkan ke imigrasi dan dikeluarkan.
Prosedural deportasi biasa. Lalu diambil sama Mesir, bukan urusan kita. (Juga) bukan
ke AS," jelasnya.
AS, menurut Hendro, tidak pernah sama sekali meminta penangkapan tokoh teroris di
Indonesia! . Negara adidaya itu hanya pernah bertanya tentang Al-Jawahir yang
informasi awalnya ada di Aceh. Tapi, karena tidak ketemu, BIN tidak bisa
menyerahkan yang bersangkutan.
Soal diterimanya uang segar dari CIA untuk BIN ditepis Hendropriyono.
Sepengetahuannya, yang mendapatkan banyak kucuran adalah Polri. Itu pun dalam
konteks government to government (G to G). BIN memang sempat sedikit kebagian,
tapi bukan hanya dari AS. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan sekolah
intelijen regional di Batam.
Kini sekolah itu dikelola Universitas Indonesia. Sayangnya, Hendropriyono mengaku
lupa jumlah dana yang diterima BIN karena sifatnya langsung dari instansi ke
instansi.
Lalu, menurut Anda, mengapa koran sekaliber The Post menurunkan berita semacam
itu? "Mereka melancarkan berbagai gosip dan isu karena perang terorisme ini perang
psikologi, bukan fisik. Kenapa mesti ke saya, karena saya dulu terang-terangan
menunjuk di Poso ada teror dan seterusnya. Makanya, saya dijadikan sasaran
pokok. Tapi, saya tidak gentar," jawabnya.
Hendropriyono justru menyayangkan sikap The Post yang seharusnya lebih cerdas
dalam menurunkan berita. Koran tersebut, menurut dia, juga tidak mengonfirmasi
dirinya atas berbagai tuduhan pahit itu.
Lantas, apa langkah yang akan dilakukan? Jenderal kelahiran Jogjakarta 1945 itu
menjawab, "Dalam waktu dekat, saya akan melakukan somasi. Karena, di situ
menyinggung persoalan pribadi saat dikatakan bahwa saya punya kerabat yang
kuliah dan sekolah di AS dengan meminta tolong pejabat intelijen AS. Semua ini
tidak benar."
Mantan Menaker itu memang membenarkan bahwa menantunya, Letkol Andika
Perkasa, saat ini menempuh pendidikan PhD di Negeri Paman Sam. Tepatnya, di
George Washington University mengambil jurusan public administration mulai tahun
ajaran 2004 lalu. Namun, dia menegaskan tak ada hubungannya dengan balas budi
AS.
"Dia lulus murni. Ujian benaran dan setengah mati," ujarnya. Untuk memp! erkuat
bukti bahwa Andika memang masuk dengan kepandaiannya, Hendropriyono telah
meminta Andika untuk mengumpulkan berbagai bahan yang menunjukkan bahwa dia
memang benar-benar lulus tanpa dibantu orang lain.
Hal lain yang dibantah lulusan AMN angkatan 67 itu adalah bagian yang
menyebutkan bahwa dia pernah masuk National War College di Fort McNair. Menurut
dia, hal tersebut tidak benar karena dia waktu itu mengambil Sesko pada 1979 di Fort
Leavenworth. Itu pun yang mengirimkan Indonesia, bukan diundang AS,
bersama-sama dengan beberapa rekan yang lain, seperti Mayjen (pur) Yunus Yosfiah.
"Tak ada juga itu Tenet bisa telepon-teleponan dengan saya. Kita bertemu cuma satu
kali dan waktu itu dengan intelijen dari negara lain. Waktu itu, di Washington sekitar
tahun 2002. Demi Allah, juga tak ada keuntungan pribadi pada diri saya (dengan
hubungan ini)," jelasnya. Mulai 1979 hingga sekarang, Hendropriyono mengaku baru
dua kali ke AS. (naz)
© 2003, 2004 Jawa Pos dotcom.
|