The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Selasa, 03 Januari 2006

Kegagalan Aparat Keamanan atau Keberhasilan Teroris?

Seorang warga Maesa berteriak histeris ketika polisi mengevakuasi korban peledakan bom di Pasar Maesa, Palu, Sabtu (31/12) lalu. Pria paruh baya itu seakan tidak peduli di lokasi ledakan yang menewaskan tujuh orang dan melukai 54 orang lainnya itu banyak polisi dan aparat intelijen. Dengan lantang ia berkata, "Tidak ada gunanya lagi polisi datang kemari. Korban sudah bergelimpangan."

Perasaan kecewa terhadap aparat keamanan, khususnya polisi, juga datang dari warga yang berbondong-bondong menuju pasar di Kampung Maesa, Jalan Sulawesi, Palu. Nada-nada kecewa terhadap aparat keamanan terdengar silih berganti.

Sampai Senin siang atau dua hari setelah kejadian, warga Palu seakan tidak bosan menyampaikan kekecewaan dan keheranannya terhadap kinerja aparat keamanan. Mereka tidak habis pikir mengapa Pasar Maesa luput dari penjagaan. Padahal, selain gereja dan masjid, pusat-pusat perbelanjaan di Palu dijaga ketat, khususnya menjelang Natal 2005 dan Tahun Baru 2006.

"Kami sangat heran mengapa Pasar Maesa tidak dijaga. Selain ramai dikunjungi orang, bukankah polisi tahu sejak 1998 sampai sekitar tahun 2002 Kampung Maesa berkali-kali diprovokasi untuk membenturkan umat beragama di Palu?" kata Johni Mandagi (48), tokoh masyarakat Kampung Maesa.

Pasar Maesa adalah pasar tradisional yang berdiri sejak tahun 1993. Sebelumnya atau sejak 1970-an, pasar yang khusus menjual daging babi itu terletak di Jalan Pattimura, Palu.

Setiap menjelang Natal dan Tahun Baru, Pasar Maesa ramai dikunjungi pembeli dan mencapai puncaknya pada 24 Desember dan 31 Desember. Saat-saat itulah sekitar 20 pedagang di pasar Maesa mereguk rezeki lebih banyak dibanding biasanya.

Maesa adalah nama kampung yang telah ada di Palu sejak tahun 1930-an. Nama itu diambil dari bahasa Minahasa yang artinya persatuan. Mayoritas penduduk Maesa berasal dari Sulawesi Utara, dan sekitar 80 persen beragama Kristen.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun Kompas, sebelum konflik Poso meletus akhir Desember 1998, Kampung Maesa beberapa kali menjadi target teror dengan tujuan membenturkan umat beragama di Palu. Namun, warga tak terpancing. Karena tak berhasil di Palu, upaya menciptakan konflik digeser ke Poso, 220 kilometer dari Palu.

Tidak berhasil memprovokasi Kampung Maesa, teror yang mengusung simbol-simbol agama dengan tujuan menciptakan konflik horizontal di Palu seakan tak pernah berhenti. Warga Palu belum melupakan ketika empat gereja dibom pada pergantian tahun dari 2001 ke 2002.

Pada 18 Juli 2004 Pendeta Susianti Tinulele, Pendeta Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Efata, Palu, tewas ditembak saat memberikan khotbah ibadah Minggu. Lalu, 12 Desember 2004, GKST Immanuel dan GKST Anugerah Palu dibom dan diberondong tembakan saat ibadah tengah berlangsung.

Berhasil mengamankan Natal 2005, Polda Sulteng tidak mengurangi penjagaan. Namun, Sabtu lalu, Pasar Maesa diguncang ledakan bom yang cukup dahsyat.

Kepala Polda Sulteng Brigjen (Pol) Oegroseno mengakui Pasar Maesa tidak masuk daftar penjagaan. Alasannya, di sekitar pasar itu ada empat gereja yang dijaga polisi. Kepala Polda dan Kepala Polri mengatakan, polisi tidak kecolongan. Polisi bekerja siang-malam. Hanya saja, pelaku teror selalu mencari titik lemah.

Lebih dari itu, Johni mengatakan, warga Maesa berkali-kali minta Pasar Maesa dijaga menjelang Natal dan Tahun Baru, namun tidak pernah ditanggapi. Lantas, apakah peledakan bom di Pasar Maesa itu cerminan kegagalan aparat keamanan atau keberhasilan teroris? (REINHARD NAINGGOLAN)

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/haroekoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044