KOMPAS, Jumat, 02 Desember 2005
Kabar Seng Bae dari Haya...
Jean Rizal Layuck
Biasanya orang Haya akan lantang menjawab vin, baik, saat mendengar sapaan sar
saim, apa kabar. Akan tetapi, kini masyarakat Haya, Kecamatan Tehoru, sekitar 100
kilometer dari Masohi, jika disapa seperti itu hanya tertunduk lesu. Penggerebekan
oleh aparat kepolisian membuat mata warga Haya makin terbuka.
Kabar avia, seng bae (tidak baik) dari Haya, padahal katong punya moto samua
basudara," kata Nur Makaya! ino (32), tokoh pemuda Desa Haya yang mencegat
Kompas seusai pertemuan dengan tokoh masyarakat dan kepala desa tersebut,
Kamis (1/12) pagi.
Tolong ditulis bae-bae, jangan dorang anggap katong pe desa teroris, kata Nur
terbata.
Perjalanan ke Haya memakan waktu hampir empat jam dari Masohi, ibu kota Maluku
Tengah, menyusuri jalan aspal rusak, sempit, dan berliku. Haya dengan empat dusun
berpenduduk lebih kurang 6.000 jiwa memiliki potensi ekonomi perkebunan cengkeh
dan kelapa. Namun, penduduk miskin Haya cukup banyak. Sekitar 1.250 warga di
sana tercatat sebagai penerima jatah beras untuk rakyat miskin (raskin).
Kehidupan sosial di Haya sangat dipengaruhi fanatisme atas agama. Menurut Kepala
Desa sekaligus Raja Negeri Haya Hasan Wailisa, 100 persen warga Haya beragama
Islam. Menurut Nur, mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa Haya kerap
dikunjungi orang-orang dari kelompok Mujahidin yang akhirnya teridentifikasi sebagai
pelaku terorisme oleh Kepolisian Daerah (Polda) Maluku.
Penggerebekan dua pekan lalu oleh polisi dan penangkapan Briptu Syarief Tatarubun,
anggota intel Kepolisian Resor Ambon dan Pulau Lease, sebagai tersangka pelaku
terorisme di Kafe Villa Karaoke Hative Besar membuka mata warga Haya. Dalam
penggerebekan itu, polisi menciduk 36 orang. Polisi juga mencari pelaku penyerangan
pos Brimob di Loki, Seram Barat, pada Mei 2005.
Terlibat penyerangan
Warga terkejut karena Ustadz Batar yang sehari-hari mengajar di Pesantren Al
Mujahidin di Dusun Sukanusa tersebut terlibat penyerangan atas po! s Brimob yang
menewaskan lima anggota Brimob dari Kalimantan Timur itu. Batar yang berusia
sekitar 30 tahun lolos dan kini menjadi buronan utama Polda Maluku.
Menurut Hasan Wailisa, penggerebekan polisi pekan lalu itu telah membuka mata
warga atas sejumlah pendatang dengan alasan mengajar agama. Semula warga Desa
Haya sempat terbelah antara pro dan kontra mengenai tamu-tamu seperti itu.
Peristiwa akhir-akhir ini tak hanya membuka mata warga, tetapi juga telah
memancing emosi mereka. Hanya sehari setelah penggerebekan polisi, warga
membakar bangunan berukuran 6 x 10 meter di Dusun Sukanusa yang selama ini
mereka sebut sebagai pesantren. Mereka juga merusak rumah tempat tinggal Ustadz
Batar dan tiga temannya di dusun di pinggir pantai.
Sebetulnya sejak jauh hari kami sudah tidak suka dengan kehadiran orang luar.
Mereka menggunakan agama sebagai kedok untuk melakukan aktivitas lainnya.
Sekarang kami sudah te! gas, tidak mau menerima orang luar agar desa ini tidak
dicap orang sebagai desa teroris. Kami sangat terpukul, kata Hasan dengan nada
tinggi.
Menurut dia, pada 21 November 2001, tokoh desa dan agama telah sepakat meminta
belasan tamu asing yang tinggal di sana untuk segera meninggalkan Haya. Namun,
upaya pengusiran itu tidak digubris. Di sisi lain, para tokoh desa juga khawatir jika
bertindak keras karena kehadiran mereka saat itu didukung sebagian masyarakat.
Kami khawatir terjadi konflik horizontal di desa. Warga sangat terpengaruh dengan
pelajaran agama dari tamu-tamu itu, ujar Karim Namakule (56), tokoh desa,
menambahkan.
Dari cerita Saleh Wailisa (39) dan Latief (30), keduanya pegawai negeri sipil di Haya,
sejak awal tahun 2001, saat konflik di Maluku, desa mereka didatangi kelompok
berjumlah 15 orang yang dipimpin Ismail dan Abu Samah.
Mereka datang menggunakan mobil dan singgah di masjid. Sebagai tamu, warga
desa menerima mereka secara baik-baik, apalagi Ismail mengaku akan mengajar
agama kepada masyarakat. Setelah seminggu tinggal di masjid, Ismail mengaku
mereka adalah kelompok Mujahidin.
Sebulan kemudian datang kelompok Ustadz Batar dengan anggota lebih dari 20
orang. Di antara mereka juga terdapat sejumlah orang Arab. Dari waktu ke waktu
kedatangan kelompok Mujahidin cukup banyak, silih berganti. Biasanya mereka
pulang setelah seminggu di Haya, lalu balik lagi. Warga yang bersimpati merelakan
rumahnya untuk ditempati para tamu.
Menurut pengamatan Latief, di antara orang-orang itu ada yang mirip Umar Al Farouk,
tersangka teroris, tetapi ia diperkenalkan sebagai Abdul Hadi. Selain itu, ada juga
wajah-wajah yang mirip Amrozi, Imam Samudra, dan Agus Dwikarna.
Kami tidak hafal lagi sebab nama mereka disamarkan. Mereka cukup banya! k.
Bahkan, sekali waktu hampir mencapai 100 orang. Tetapi, kalau melihat di televisi,
wajah teroris yang tertangkap sepertinya semua pernah datang ke Haya, katanya.
Latief menambahkan, orang- orang Arab itu menghilang dan tidak kembali ke Haya
setelah tahun 2002.
Menurut Latief, yang waktu itu sebagai koordinator pemuda peduli umat di desanya,
ajaran Ismail dan Abu Samah awalnya diterima dengan baik oleh warga. Namun,
setelah lewat sebulan, warga menilai ajaran mereka mulai menyimpang dari ritual
agama di desanya.
Dilatih merakit bom
Kelompok orang-orang tersebut juga mengimbau pemuda dan anak Desa Haya agar
tidak menjadi polisi ataupun tentara, serta diimbau untuk tidak menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Bersamaan dengan itu, mereka melatih pemuda desa dengan latihan
militer, cara menembak, bongkar-pasang senjata, dan merakit bom.
Latihan biasanya dilakukan pagi dan malam hari di belakang kampung atau di hutan
Waemanawa, sekitar tiga kilometer dari perkampungan Haya.
Saleh Wailisa yang beberapa kali mengintip latihan perang- perangan itu mengatakan,
latihan militer diikuti sekitar 50 pemuda desa putus sekolah. Mereka bisa
berminggu-minggu tinggal di hutan.
Mereka biasanya menyebar di hutan, dan ketika ada bunyi tembakan secepat kilat
berkumpul di tempat ini, kata Saleh seraya menunjuk lokasi tempat latihan
perang-perangan itu.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|