KOMPAS, Jumat, 09 Desember 2005
"Katong Seng Mau Bakalae"
Jean Rizal Layuck
Natal tahun ini mirip suasana empat tahun lalu saat Ny Sin Rasamasu (58) bersama
lima anak dan suaminya harus menahan derita di kamp pengungsian. Hari-hari hidup
Ny Sin dilewati dengan nestapa. Terpinggirkan dari segi ekonomi dan hidup dalam
lingkungan yang kumuh.
Dua kali rumahnya terbakar, kini Ny Sin harus menanggung derita setelah Wim,
suaminya, mengalami trauma berat. Ny Sin bersama anaknya banting tulang menjadi
pedagang aso! ngan, menjual kacang goreng ke warung-warung di kota Ambon.
Di Lata, Baguala, sekitar lima kilometer dari Ambon, Ny Sin tinggal di permukiman
sementara bersama belasan keluarga. "Katong hampir su tiada jalan untuk hidup.
Paitua su stres," katanya terbata.
Sebelum konflik tahun 1999, Ny Sin memiliki rumah di kawasan Rumah Tiga, namun
rumahnya terbakar saat Maluku dilanda "perang saudara".
Februari 2004, Ny Sin dan keluarganya mendapat bantuan bahan bangunan rumah
(BRR) dan biaya pemulangan semuanya bernilai Rp 10 juta dari pemerintah. Akan
tetapi, bantuan itu musnah terbakar saat peristiwa RMS, April 2004. "Waktu itu
katong sudah siap-siap pindah, tetapi karena konflik RMS, terpaksa kembali ke sini,"
ujarnya.
Kawasan Rumah Tiga yang mayoritas masyarakat Kristen kini ditempati oleh
pengungsi Muslim, sedangkan rumah-rumah pengungsi Lata yang kini ditinggali
masya! rakat pengungsi Kristen adalah milik masyarakat Muslim Halong. Menurut Ny
Sin, masyarakat Muslim Halong siap masuk ke Lata jika pengungsi Kristen pindah ke
Rumah Tiga.
"Karena musibah mereka mengerti jika kami pindah ke sini lagi," ungkapnya. Menurut
Ny Sin saling bertukar tempat bukan masalah bagi pengungsi, sebab antara dua
komunitas yang bertikai telah terjalin pengertian atas penderitaan yang mereka alami
selama konflik.
"Pak Haji yang punya rumah ini tidak mempersoalkan kami tinggal di sini. Demikian
juga kami mengerti ketika tempat kami di Rumah Tiga ditempati pengungsi dari
kalangan Muslim. Katong semua bicara bakubae, seng mau bakalae lagi," ujarnya.
Hidup berdampingan
Setahun belakangan interaksi dua komunitas yang pernah bertikai terjalin rapi dengan
kekerabatan dan pengertian tinggi. Masyarakat Muslim yang tinggal d! i kawasan
Batu Meja Ambon kini telah kembali menempati rumah-rumahnya.
"Kami beberapa kali bikin acara doa, dan tidak pernah diganggu oleh saudara kami
warga Nasrani," ungkap S Assagaf, Sekretaris Daerah Provinsi Maluku yang tinggal di
kawasan Batu Meja.
Hidup berdampingan secara damai mulai tergambar di Bumi Maluku. Di kawasan
Waringin, kota Ambon umumnya bermukim pendatang dari Buton dan Bugis, namun
kehidupan antara warga Muslim dan Kristen cukup harmonis tanpa saling
mengganggu.
Walandiku (71), warga Waringin, menunjuk sejumlah rumah yang ditempati warga
Kristen yang berjarak 15 meter dari permukiman mereka. "Kami sangat sadar atas
hidup bersama. Konflik tidak ada guna. Dulu pun kami hidup bersama secara damai,"
tuturnya.
Tawil (52), warga Waringin, heran kenapa mesti ada konflik. Lelaki asal Bone yang
tinggal di Ambon sejak tahun 1974 itu menyebutkan,! Maluku tidak pernah mengalami
perseteruan sepanjang dan seganas seperti dialaminya (1999-2003). Sewaktu konflik
berlangsung Tawil mengaku melihat banyak orang yang tidak ia kenal.
Damai 100 persen
Ketika terjadi peledakan bom di Ambon, warga Waai di Kecamatan Salahutu, Maluku
Tengah bersiap-siap mengungsi. Namun, warga Liang dan Tulehu, yang penduduknya
mayoritas Muslim, mencegahnya. "Katong hidup di sini damai-damai saja, tak usah
terpengaruh orang luar," ungkap Kepala Desa Waai Ririhatuela, mengutip kalimat
penduduknya.
Melihat kehidupan masyarakat Maluku dari ke hari berangsur baik, para tokoh agama
Maluku berkesimpulan bahwa Maluku Damai kini telah mencapai 100 persen.
Uskup Ambon Mgr Petrus C Mandagi Msc melukiskan, suasana persaudaraan dan
perdamaian di Maluku telah terwujud secara wajar terutama di masyaraka! t bawah.
Saat ini, antara dua komunitas yang pernah bertikai sudah saling mengunjungi,
bersilaturahmi dalam kegiatan keagamaan dan sosial.
"Kami dengan teman-teman dari kaum Muslim bahkan saling mengkritik, tetapi tidak
melukai," ujarnya pekan lalu.
Seluruh anggota masyarakat secara sadar berkewajiban memberi inspirasi untuk
membangun kesadaran hidup bersama.
Ridwan Hasan, pengurus MUI Maluku, menyatakan, perdamaian Maluku sangat
didukung oleh langkah aparat keamanan yang tegas terhadap pelaku teror.
"Ketegasan aparat cukup penting mendorong perdamaian," ucapnya.
Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku Pdt Dr Jhon Ruhulesin mengemukakan,
benih-benih perdamaian Maluku telah muncul sejak tahun 2003, dan kini semakin
sempurna setelah terjalinnya kekerabatan antara pihak Kristen dan Islam.
"Kekerabatan tidak saja dari kalangan pemimpin, tetapi di tataran akar rum! put,"
ujarnya.
Kerja sama diwujudkan dalam dialog Lembaga Antariman antara pemimpin dan
masyarakat dari Katolik, Protestan, dan Islam. Di kalangan pemuda, dua komunitas
itu saling membantu membersihkan rumah ibadah.
Diungkapkan, di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) terdapat empat
mahasiswa Muslim yang kuliah dalam program Pascasarjana Fakultas Teologi
Agama dan Kebudayaan. "Dosen dari UKIM mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Maluku, begitu sebaliknya dosen dari STAIN mengajar di UKIM,"
tuturnya.
Ditambahkan, kerja sama itu telah terjalin dengan baik sambil masing-masing pihak
menjaga ketahanan internal dan eksternal atas gangguan dari luar.
Ketua Remaja Masjid Maluku Husin Toisuta menyebutkan, ketahanan eksternal dua
komunitas terbangun melalui kegiatan sosial. Pada perayaan Natal nanti, pihaknya
akan membentuk tim bersama dengan ka! langan pemuda Kristen untuk menjaga
keamanan bersama gereja di Maluku.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|