KOMPAS, Jumat, 16 Desember 2005
Kebijakan Militer Tak Sejalan dengan Otonomi Khusus
Jakarta, Kompas - Setelah berjalan sekitar empat tahun, otonomi khusus di Papua
dinilai dilaksanakan dengan cara yang tidak konsisten. Salah satu masalah mendasar
adalah kebijakan militer berikut penempatan pasukan di Papua yang dianggap tidak
sejalan dengan otonomi khusus.
Temuan itu diperoleh tim kerja Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah yang
mengunjungi Papua pada akhir bulan November 2005. Seperti disampaikan Ketua
PAH I Muspani (Bengkulu) di Jakarta, Kamis (15/12), inkonsistensi dalam
implementasi otonomi khusus menimbulkan ketidakpercayaan yang berlarut-larut.
Terbukti, tuntutan politik orang Papua tidak diakomodasi dengan cara yang jelas.
Dialog tidak pernah terbangun dengan baik sehingga keinginan dan kebutuhan orang
Papua tidak terkomunikasikan dengan baik.
Muspani mengingatkan, otonomi khusus merupakan jawaban atas tuntutan politik
rakyat Papua melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi
Pemerintah Indonesia, otonomi khusus dianggap sebagai penyelesaian final.
Akan tetapi, yang mengecewakan rakyat Papua adalah kebijakan militer yang tak
diatur secara jelas dan malah menambah resah rakyat. Ada gugatan, apakah
memang penempatan tentara di Papua memang harus sebanyak sekarang. Ada
anggapan, ada atau tidak ada otonomi khusus, militer tetap menjadi kekuatan
menakutkan bagi rakyat Papua.
Penempatan tentara sampai ke pelosok kampung dan tindakan represif yang
dilakuka! nnya semakin membuat masyarakat Papua tidak nyaman sehingga banyak
di antara mereka lari ke perbatasan karena trauma. Jika kondisi itu dibiarkan, maka
keinginan untuk merdeka kembali tumbuh menguat. Kami menyarankan kebijakan ini
dievaluasi kembali, ungkap Muspani.
Muspani juga menyebutkan tuntutan rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia,
termasuk pelurusan sejarah pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969
yang dinilai tidak demokratis. Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia juga
masih terus berlarut, terbukti dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi yang belum juga terwujud. (dik)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|