The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Selasa, 20 Desember 2005

Pengungsi Poso, Nasibmu Kini

REINHARD NAINGGOLAN

Di tengah kesadaran warga Poso akan indahnya sebuah perdamaian, hidup mereka masih tetap menderita. Desember ini genaplah tujuh tahun konflik horizontal di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, meletus.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada acara seremonial untuk memperingati. Banyak orang menganggapnya tidak perlu karena akan mengungkit luka lama.

Ada benarnya karena luka itu memang masih ada. Namun, ia bukanlah luka yang akan mendorong warga Poso mengulangi kesalahan masa lalu. Hal itu karena kesadaran warga Poso akan indahnya sebuah kerukunan tidak perlu diragukan lagi. Mereka selalu mengatakan tidak akan mau lagi diprovokasi orang-orang yang berada di balik kerusuhan Poso. "Terprovokasi adalah kesalahan paling fatal yang pernah kami lakukan dan karenanya hidup kami menjadi sangat menderita hingga saat ini," kata sejumlah warga Poso kepada Kompas.

Ya, luka yang masih tersisa bagi warga Poso saat ini adalah penderitaan. Tujuh tahun sudah penderitaan tersebut mewarnai kehidupan mereka. Dan dari tahun ke tahun tampaknya semakin parah.

Saat konflik Poso pertama meletus tahun 1998 dan kemudian disusul konflik kedua tahun 2000, gelombang pengungsi tidak pernah berhenti mewarnai kabupaten berpenduduk sekitar 275.000 jiwa itu. Saat itu jumlah pengungsi diperkirakan sekitar 22.000 keluarga atau sekitar 110.000 jiwa-hampir separuh warga Poso.

Untuk menyudahi konflik Poso dan dampak yang ditimbulkannya, pemerintah lalu menggelar operasi pemulihan keamanan dan operasi kemanusiaan. Operasi-operasi tersebut telah menghabiskan dana ratusan miliar rupiah, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Poso.

Sayangnya, kedua operasi itu dinilai gagal oleh banyak pihak. Operasi keamanan, dimulai dengan nama Operasi Cinta Damai dan dilanjutkan dengan Operasi Sintuwu Maroso ('Bersatu Kita Kuat'), tidak memberikan kontribusi terhadap pemulihan keamanan. Walaupun operasi itu pernah melibatkan sampai 7.000 aparat keamanan (ditengarai Poso adalah satu-satunya kabupaten di Indonesia yang pernah diduduki aparat keamanan sebanyak itu- Red), kekerasan bersenjata seakan tidak pernah berhenti di Poso. Selain kedua operasi tersebut, masih ada pula sejumlah operasi intelijen.

Pun dengan operasi kemanusiaan yang tadinya diharapkan dapat menormalisasi kehidupan pengungsi ternyata ibarat kata pepatah "jauh panggang dari api". Bukan rahasia umum bahwa sebagian besar dana kemanusiaan Poso yang terdiri dari dana jaminan hidup (jadup), bekal hidup (bedup), bahan bangunan rumah (BBR), dan dana pemulangan pengungsi tidak sampai ke tangan pengungsi.

Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka Arianto Sangaji memperkirakan, dari Rp 168 miliar dana kemanusiaan Poso yang sampai ke tangan pengungsi maksimal 35 persennya saja. Sisanya diduga diselewengkan oleh pejabat yang berwenang menyalurkan dana tersebut. Makanya, ada sebuah anekdot yang cukup sering dilontarkan warga Poso: pengungsi dapat "super mi", pejabat dapat "super kijang".

Penyelewengan dana kemanusiaan itu dilakukan dengan berbagai cara, seperti mark up jumlah pengungsi, pembayaran fiktif, dan pemalsuan dokumen. Dana BBR, misalnya, seharusnya dibagikan dalam bentuk material bangunan dengan harga Rp 5 juta per keluarga. Namun, dana itu dibagikan secara tunai, setiap keluarga hanya mendapat Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.

Kegagalan operasi pemulihan keamanan dan operasi kemanusiaan Poso meninggalkan penderitaan yang berkepanjangan bagi warga Poso, khususnya bagi pengungsi. Tiga siswa yang tewas dipenggal 29 Oktober lalu berasal dari keluarga pengungsi. Demikian pula beberapa orang dari 23 korban yang tewas pada bom Tentena, 28 Mei lalu.

"Sedih sekali kami ini. Saat kerusuhan, kami kehilangan semua harta benda dan harus mengungsi. Dana bantuan untuk kami dikorupsi. Setelah itu keluarga kami dibom, ditembak, dan dipenggal," kata Toni Gintoe (44), seorang pengungsi Poso yang istrinya akhirnya meninggal setelah berbulan-bulan dirawat akibat terkena serpihan bom di Tentena.

Dampak luas

Rentetan kekerasan bersenjata dan teror di Poso membawa dampak luas. Ada sekolah yang terpaksa dipindah. Ada guru-guru yang tidak lagi berani ke sekolah dan akhirnya mengundurkan diri. Ada pula anak-anak usia sekolah dasar yang harus berpisah dengan orangtuanya karena dipindah sekolah ke kota atau kabupaten lain.

"Murid-murid tidak pernah bisa belajar dengan tenang. Jelas semua ini akan membuat mutu pendidikan semakin hancur," kata Erni Tamee (43), Kepala Sekolah SD Negeri 13 Poso, satu-satunya guru di sekolah itu karena tiga guru lainnya mengundurkan diri.

Erni mengatakan, sebagian besar pelajar adalah korban konflik yang saat di pengungsian tidak mendapat pendidikan yang memadai. Tidak heran jika masih ada murid kelas tiga dan empat di SD Negeri 13 yang masih terbata- bata membaca sebuah kalimat sederhana.

Masalah lain yang kemudian timbul adalah ketakutan untuk pergi bekerja. Bukan hanya guru, petani juga tidak lagi berani berlama-lama bekerja di kebun, bahkan kerap tidak pergi sama sekali. Kebun cokelat, kopi, atau jenis tanaman lainnya dibiarkan telantar.

Saat ini jumlah warga Poso yang masih mengungsi diperkirakan mencapai 5.000 keluarga atau sekitar 25.000 jiwa. Sebagian besar dari pengungsi tersebut masih masih tinggal di barak-barak. Hanya sebagian kecil saja yang sudah mampu membangun rumah seadanya maupun menumpang tinggal di rumah keluarga.

Kondisi barak pengungsi yang rata-rata berukuran 4 x 4 meter, terbuat dari papan, beratap seng, dan beralaskan tanah itu kini sudah teramat reyot. Adapun sehari-hari mereka harus memikirkan cara bagaimana mempertahankan agar dapur tetap ngebul. Saat konflik terjadi mereka tidak hanya kehilangan rumah dan harta benda, tetapi juga kehilangan mata pencarian.

Sejumlah industri rumah tangga yang dulu berjaya, seperti industri kerajinan rotan dan kayu hitam, maupun industri kecil dan menengah lainnya, sampai saat ini belum beroperasi kembali. Lapangan pekerjaan yang terbuka hanya menjadi buruh tani, tukang ojek, dan pembantu rumah tangga dengan rata-rata penghasilan Rp 15.000 per hari.

Tidak kalah memilukan, selama dalam pengungsian banyak kaum hawa, dari anak- anak sampai orang tua, yang mendapat tindak kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual. Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah mencatat, tahun 2004 terdapat 28 pengungsi perempuan yang hamil akibat perbuatan aparat keamanan.

Haruskah penderitaan pengungsi Poso ini dibiarkan berlarut hingga tahun-tahun berikutnya? Koordinator Poso Center Yusuf Lakaseng mengatakan, selain persoalan keamanan, pemerintah juga harus memperhatikan perbaikan kesejahteraan warga, khususnya para pengungsi. Oleh karena itu, Poso juga memerlukan operasi kesejahteraan, yaitu dengan membangun infrastruktur ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan.

Untuk melaksanakan operasi kesejahteraan ini, pemerintah perlu belajar dari operasi kemanusiaan sebelumnya. Jangan lagi ada pejabat yang mendapat "super kijang" di atas penderitaan pengungsi. Rakyat Poso membutuhkan empati yang mendalam dari pemerintah untuk mengakhiri penderitaannya....

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/haroekoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044