KOMPAS, Senin, 28 November 2005
Demokratisasi di Aceh dan Papua Hadapi Kendala
Jakarta, Kompas - Upaya demokratisasi di dua provinsi, yakni Aceh dan Papua,
selama ini menghadapi kendala karena represi militer. Oleh karena itu, demokratisasi
di kedua provinsi tersebut perlu ditingkatkan. Salah satunya adalah dengan
memanfaatkan momentum pembentukan partai politik lokal yang dibuka peluangnya
oleh nota kesepahaman Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka.
Hal itu mengemuka dalam Konferensi Internasional Menuju Agenda Demokrasi yang
Lebih Bermakna pada sesi Upaya Demokratisasi: Beberap! a Pengalaman di Jakarta,
Jumat (25/11). Konferensi yang diselenggarakan Perkumpulan Demos itu berbicara
antara lain Direktur Koalisi NGO HAM Aceh Faisal Hadi dan anggota Dewan
Perwakilan Daerah asal Papua, Pendeta Max Demetouw.
Hasil riset Demos tahun 2003-2005 di kedua provinsi itu dibandingkan dengan provinsi
lain memang kondisinya paling buruk dalam kinerja instrumen demokrasinya. Untuk
Papua, menurut riset Demos, kondisinya paling buruk dalam instrumen kebebasan
sipil dan politik dalam hal kebebasan mendirikan serikat buruh dan partisipasi
perempuan. Di Aceh situasinya paling ekstrem. Dari 10 instrumen kebebasan sipil
dan politik yang di wilayah lain berada dalam situasi relatif baik, semuanya dianggap
berada dalam kinerja di bawah rata-rata.
Faisal Hadi dan Max Demetouw menunjukkan adanya represi militer yang
menyebabkan upaya demokratisasi tak berjalan baik.
Max Demetouw mengemuka! kan, represi oleh militer itu juga masih berlangsung
hingga kini. Berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, seperti kasus Abepura,
Wasior, dan pembunuhan Theys Eluay, hingga kini juga tak jelas penyelesaiannya.
Stigma Papua adalah daerah konflik karena ada Organisasi Papua Merdeka, ujarnya.
Menurut Demetouw, masalah di Papua tersebut berpangkal dari integrasi Papua ke
Indonesia yang bermasalah karena intimidasi dan merupakan konspirasi Amerika
Serikat, Indonesia, Belanda, dan PBB. Masalah itu berlanjut hingga kini dalam
pembentukan Majelis Rakyat Papua. Kalau kita mau menyelesaikan Papua, jangan
lagi menggunakan pendekatan militer, tetapi pendekatan budaya dan agama, kata
Demetouw.
Menurut Fasial Hadi, selama berlangsung status darurat militer dua tahun, Aceh
berada dalam titik terendah dalam demokrasi. Yang berkuasa adalah militer.
Penguasa Darurat Militer seperti hukum itu sendiri. ! Lembaga eksekutif dan legislatif
juga tidak berkutik, kata Faisal.
Namun, MOU RI-GAM telah membuka peluang upaya demokratisasi di Aceh melalui
pembentukan partai politik lokal. (BUR)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|