The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


MASARIKU NETWORK 17 November 2005

Sidang Sinode GPM dan doa basudara Salam
Dimensi Dialektis Dalam Relasi Islam - Kristen di Maluku

Oleh Jacky Manuputty

Untuk wilayah dengan tingkat intensitas "konflik agama" yang sangat tinggi selama empat tahun, tentunya terdengar aneh jika sebagian umat Islam turut mendoakan proses Persidangan Sinode dari sebuah kongregasi protestan terbesar. Namun itulah realitas yang terjadi di Maluku pada medio awal Nopember tahun ini. Gereja Protestan Maluku sejak akhir Oktober sampai awal Nopember lalu menggelar Sidang Sinod! e ke-35 untuk merumuskan strategi pelayanan 5 tahun ke depan, sekaligus memilih kepemimpinan baru dalam squad kolegial Badan Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku (BPH Sinode GPM). Gawe gerejawi yang melibatkan lebih kurang 800 peserta dari seluruh Maluku dan Maluku Utara mengambil waktu selama 2 minggu dengan intensitas yang sangat tinggi dan menguras energi. Persidangan yang terpusat di Gereja Maranatha Ambon tidak saja menyedot perhatian warga GPM secara menyeluruh, tetapi juga komunitas masyarakat luas serta berbagai Lembaga public dan pemerintahan di Maluku. Besarnya perhatian ini terasa wajar mengingat kehadiran GPM tidak semata terbatas sebagai sebuah entitas agama di Maluku, tetapi juga merupakan entitas histori, sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Terlebih lagi sebagai sebuah kongregasi Kristen terbesar di Maluku, GPM turut memberi warna pada konstruksi sosio-kultural masyarakat Maluku yang sangat plural.

Menyangkut doa sebagian saudara Muslim untuk menopang proses persidangan Sinode GPM, tidak saja dikarenakan besarnya posisi tawar GPM dalam proses aktualisasi dirinya di tengah masyarakat. Percakapan kami dengan banyak saudara Muslim yang secara intens turut mencermati proses persidangan Sinode GPM mempertegas sebuah fakta, bahwa kerinduan untuk berjalan bersama dan membangun bersama telah semakin kental mewarnai atmosphere perdamaian di Maluku saat ini. Kerinduan ini terlahir dari sebuah pemaknaan yang sama terhadap keterpurukan masyarakat agama di Maluku, akibat konflik panjang yang terbingkai dalam wajahnya yang agamis. Pencerapan rasio dan akal terhadap fenomena dan dinamika konflik dengan segala dampaknya, telah terdorong masuk pada sebuah ruang kepahitan yang dirasakan sebaga! i milik bersama. "seng ada yang untung,….samua ancor" (tak ada yang diuntungkan,…semua hancur), tutur seorang tokoh agama dengan pilu.

Berjalan Bersama dalam Spirit Dialektis

Berangkat dari kepahitan yang dirasakan bersama, maka tak ada pilihan lain selain bergerak keluar secara bersama dari ruang itu. Bagi agama-agama di Maluku saat ini! , mengolah gerak keluar bersama tidak semata harus dimaknai secara mekanik. Artinya pergerakan itu diukur melalui perpindahan dari titik berangkat yang sama menuju titik tujuan yang sama. Pergerakan harus juga dimaknai sebagai suatu gerak dialektis agama-agama, sebab dengan begitu proses berjalan bersama memperoleh spiritnya. Dialektika yang dimaknai sebagai sebuah proses dialog yang hidup. Atau pula sebuah proses membangun sintesis dari kecenderungan pengkutuban tesis dan antitesis.

Spirit berjalan bersama tentu terkandung pada semua agama, namun pemaknaan nilai-nilai luhur itu akan memperoleh ruang aktualisasinya secara utuh, bila agama-agama terus membuka diri untuk berdialog dengan muatan kultur konteksnya. Dalam h! al ini kultur konteks dari sebuah ruang cultural yang bernama MALUKU. Tentu kita sama sepakat bahwa bangunan kultur konteks Maluku telah sangat kaya, bila rujukan cultural konsep berjalan bersama harus dicari kesitu. Dalam struktur idiomatic sehari-hari yang dipakai, kita bahkan dengan sangat gampang menangkap kekentalan makna spirit berjalan bersama. "laeng tongka-tongka laeng" (satu sama lain saling menopang), "jadi sanusu par satu deng laeng" (sanusu = kayu/bamboo penopang tanaman), "pikol hahalang sama-sama" (hahalang = penggalan kayu/bamboo untuk memikul beban), "laeng tolong laeng" (saling menolong), kesemuanya adalah beberapa contoh dalam struktur idiomatic keseharian di Maluku yang mengungkapkan kekentalan spirit berjalan bersama. Konsep idiomatic ini bahkan terlahir sebagai suatu upaya sintesis dari pengk! utuban tesis dan antitesis. Antara Ale dan Beta, antara Katong dan Kamorang, antara Pata Siwa dan Pata Lima, antara Wemale dan Alune, antara Laut dan Darat, ataupun antara Gunung dan Pantai. Mendengarnya, orang di Maluku tidak saja memaknainya pada wilayah pencerapan akal, tetapi sekaligus maknanya menembusi wilayah esoteris dari kultur kolektif masyarakat. Bukan saja paham tetapi juga rasa. "ale rasa, beta rasa", sebuah ungkapan terkenal masyarakat di Maluku untuk mengungkapkan "kita sama-sama merasakan". Pencapaian pemaknaan yang menyatu dengan rasa cultural, terseret padanya tanggung jawab dan sangsi cultural. Sekalipun sangsi itu tak selamanya mewujud dalam sebuah konstruksi penghukuman yang konkrit, namun pada wilayah batin ada rasa bersalah karena telah tercederai sebuah struktur moral kolektif, yang selama ini membingkai ruang hidup bersama.

Berjalan bersama menjadi sangat berarti bilamana proses bersama itu mampu memberikan sintesis terhadap pengkutuban tesis dan antitesis dalam kehidupan religius di Maluku selama ini. Bagaimana konsep sintetik dari kecenderungan pengkutuban Islam dan Kristen selama dan pasca konflik di Maluku, adalah suatu rumusan yang harus terjawab sebagai hasil dari proses dialektis dalam rangka berjalan bersama. Sebuah fakta yang tak terpungkiri sebagai dampak konflik selama empat tahun yakni "Segregasi". Secara geografis 88% penduduk di seluruh Maluku terbelah berdasarkan garis agama (Islam vs Kristen). Segregasi tidak saja terjadi berdasarkan garis geografis, melainkan juga mengimbasi kolektifitas memori / ingatan / pikiran dari komunitas Islam dan Kristen. Sapaan-sapaan Bung (sapaan akrab terhadap pria yang lebih ! tua usianya) & Usi (sapaan akrab terhadap perempuan yang lebih tua usianya) yang awalnya cenderung dianggap sebagai sapaan kolektif secara cultural, telah mengalami proses reduksi pasca konflik menjadi sapaan yang secara umum dianggap in group milik komunitas Kristen. Paralel dengan itu komunitas Islam cenderung mengembangkan sapaan Caca (untuk wanita) dan Abang atau Babang (untuk pria). Pada wilayah lainnya dikotomi Islam - Kristen telah pula menginfeksi dinamika sosio-politik dan bahkan berimbas pada wilayah rekruitmen kepegawaian. Dalam kaitan ini konsep sintetik yang terbangun di wilayah budaya, terasa belum dibangun secara terstruktur pada wilayah agama-agama di Maluku. Karenanya tuntutan dialektika tidak saja harus dirumuskan lintas agama-agama di Maluku, melainkan juga lintas agama-agama dengan konteks budaya Maluku tempat agama-agama hidup dan berkembang. Kontekstualisasi dengan sendirinya menjadi pekerjaan besar, yang teru! s menerus harus dilakukan oleh agama-agama di Maluku. Kontekstualisas menjadi ruang sekaligus instrument dialektis bagi agama-agama di Maluku untuk mengejawantahkan hidayahnya. Kontekstualisasi merupakan cara agama-agama membumikan rahmat ilahi dalam keterarahannya yang sungguh kepada manusia dan lingkungannya sebagai concern utama dari misinya.

Kontekstualisasi sebagai Dialektika Sosio - Kultural

Memaknai Maluku dari perspektif kontekstualisasi agama-agama, yang pertama-tama adalah membaca cara orang Maluku meng-agamani Islam dan Kristen di dalam khazanah ke-Maluku-annya. Pada pokok ini sejarah agama-agama di Maluku harus dibaca dalam perspektif sosio-religius, dan tak melulu dari perspektif sosio-politik. Bacaan dari perspektif terakhir selama ini kental membingkai pencerapan kolektif masyarakat. Pada gilirannya sejarah agama-agama dalam narasi besar lebih cenderung dimaknai sebagai sejarah ekspansi dan penundukan. Dengan mengembangkan bacaan sejarah pada lingkup sosio-religius, maka kita akan lebih mudah untuk memotret seberapa jauh kekristenan telah menjadi "Sarane yang Maluku" serta keislaman menjadi "Salam yang Maluku". Pada lingkup sosio-religius barangkali kita akan lebih dipermudah untuk menemukan sintesis antara Baileo dan Gereja, atau antara Baileo dan Masjid. Antara Sunat dan Potong Rambut yang islamis dengan Pinamo yang adatis di Seram. Antara tradisi Sidi yang gerejawi dengan Kakehang yang adatis. Antara raja dan imam atau pendeta. Dialektika agama-agama dalam konteks ini adalah dialektika sosio-kultural dalam perjumpaan agama-agama di Maluku dengan ke-Maluku-annya. Artinya sejauh mana fragmentasi inkulturasi agama-agama di Maluku memungkinkan terbentuknya profil khas ke-Maluku-an yang agamis. Entah Islam, Kristen, ataupun lainnya.

Kontekstualisasi sebagai Dialektika Pembebasan

Berikutnya, perspektif kontekstualisasi agama-agama di Maluku haruslah dibangun diatas pemahaman dan perasaan empati, terhadap konsep kemanusiaan dan lingkupan yang terpuruk saat ini di Maluku. Pemahaman berdasarkan pencerapan rasio yang cermat saja tidak cukup, melainkan diperlukan juga sebuah olah rasa yang dalam untuk merangsang tindakan bersama. Aspek rasa tidak sebatas pernyatakan simpati, tetapi lebih jauh dari itu adalah memasuki wilayah empati. Dengan adanya empati maka agama-agama di Maluku tidak saja akan memahami kronisnya fenomena perkembangan HIV-AIDS di Maluku misalnya, tetapi juga merasai dirinya sebagai bagian dari korban yang terjangkiti virus mematikan itu. Tidak saja mengerti situasi problematic dari penanganan pengungsi yang amburadul, tetapi turut juga merasai dirinya menderita, sebagai bagian inheren dari fenomena marginal para pengungsi yang menderita. Tidak saja sadar terhadap hamparan sampah busuk yang membaui ruang kota dan teluk Ambon, tetapi juga merasai menjadi busuk dan berbau tak sedap bersama kota ini. Dengan mengambil bagian dalam ruang empati terhadap kemanusiaan dan lingkungan yang terpuruk saat ini, agama-agama akan dimungkinkan untuk membangun sebuah stigma sosial dari perspektif korban, yang mendorong gerak keluar bersama dari keterpurukan itu. Kontekstualisasi pada posisi ini tidak lagi terbatas pada cara agama men-dialog-an dirinya terhadap konteks. Lebih jauh dari itu kontekstualisasi berarti cara agama-agama men-dialog-an konteksnya diantara struktur-struktur kemanusiaan dan lingkungan yang saling menindas dan menghancurkan. Terkait dengan ini, dialektika agama-agama di Maluku berkembang menjadi dialektika kemanusiaan dan lingkungan dengan tujuan utama "pembebasan". Sasaran pembebasan adalah "yang tertindas" maupun "yang menindas".

Kontekstualisasi sebagai Dialektika yang Berpengharapan

Persepektif selanjutnya dari proses kontekstualisasi agama-agama di Maluku, adalah bagaimana memberikan arah bagi sejarah ke depan berdasarkan dialektika pembebasan yang digelutinya. "kalau mau bulu picah rata di ujung, jang bala miring di panta bulu" (kalau ingin bamboo pecah dalam dua bagian yang sama besar! di bagian pucuk, jangan membelah bagian pangkalnya secara miring), demikian analogi yang kerap dipakai di Maluku untuk menggambarkan "pekerjaan yang dimulai dengan baik akan berakhir dengan baik pula". Tentunya analogi ini tak sepenuhnya bisa dipakai untuk mengapresiasi sebuah proses histories. Sejarah tak pernah seperti pecahan bamboo yang bergerak dengan nalar yang linear. Deviasi serta factor-faktor yang non parametric kerap kali sangat menentukan gerak sejarah. Sekalipun demikian potensi deviasi bisa direduksi bila pada titik tertentu kita mampu menentukan sebuah arah bagi gerak sejarah. Dalam wilayah agama-agama, menentukan arah sejarah tidak saja merupakan tanggung jawab agama-agama untuk memaknakan dirinya sebagai sebuah entitas sosio-historis. Tanggung jawab ini secara inheren juga mencitrakan dialektika agama-agama sebagai suatu entitas teologis. Artinya, ini merupakan bentuk partisipasi yang dialogis dari setiap agama dengan! Sang Khalik. Persekutuan antar sesama yang dihidupi melalui persekutuan dengan yang ilahi (communion). Dalam communion ini agama-agama di Maluku memperoleh hak partisipatif untuk bersama-sama dengan Sang Khalik, menentukan arah gerak sejarah seturut kehendak-Nya. Dengan sendirinya dialektika agama-agama dalam proses menyejarahnya di Maluku, merupakan dialektika yang berpengharapan. Harapan yang tidak dibangun di atas sebuah pijakan yang kosong, melainkan yang dibangun bersama melalui partisipasi dialogis dengan Allah. Harapan yang dimuarakan pada tegaknya Nur Ilahi dalam diri manusia Maluku dan lingkungannya.

Persidangan Sinode ke - 35 Gereja Protestan Maluku usai sudah. Arah d! an program GPM untuk lima tahun ke depan telah ditetapkan. Kepemimpinan sinodal yang baru telah dilantik. Seluruh proses yang melelahkan telah terlewati dengan baik. Semuanya menjadi mungkin karena Allah mendengar doa-doa kita. Termasuk doa basudara Salam, di dalam harapan berjalan bersama. "Katong berdoa lai par ale dong pung sidang sinode" (kami berdoa juga untuk pelaksanaan persidangan sinode kalian) merupakan semiotic (tanda-tanda) budaya dalam dialektika Salam - Sarane. Ia juga merupakan struktur idiomatic yang terarah pada harapan membangun dialektika kemanusiaan dan lingkungan yang membebaskan. Ia sekaligus menawarkan sebuah dialektika teologis agama-agama dengan Allah yang satu. Communion yang berpengharapan. Mari berjalan bersama. Katong laeng tongka-tongka laeng!

MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/haroekoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044