Media Indonesia, Rabu, 09 November 2005
Damai (di Indonesia) makin Jauh
Adinda Tenriangke Muchtar, peneliti pada The Indonesian Institute, Jakarta
LEBARAN tahun ini dibungkus dengan darah yang mengalir dari leher tiga siswi SMU
di Poso. Sebelumnya, kekerasan atas nama suku, agama, ras dan antargolongan
terjadi di Ambon, Poso, dan sejumlah tempat lainnya. Kekerasan juga menyeruak di
Bali, bom meledak di tiga tempat yang merenggut secara paksa sejumlah nyawa.
Para pelaku kerusuhan dan aksi teror tampaknya makin sering unjuk gigi. Mereka
bahkan tidak peduli untuk melancarkan aksi-aksi yang tidak berperikemanusiaan
tersebut di hari-hari yang suci. Korbannya pun semakin tidak pandang bulu dan
gencar menyerang orang-orang yang tidak bersalah. Lokasi-lokasi yang kerap
dipadati masyarakat umum pun tidak luput dari sasaran sebagaimana yang telah
terjadi dalam aksi-aksi pengeboman sebelumnya.
Yang jelas, apa pun bentuk dan sasarannya, aksi teror seperti itu sudah sangat
meresahkan, memuakkan, dan harus segera dicegah, serta ditindaklanjuti.
Masyarakat pada akhirnya tidak mungkin hanya mengandalkan negara (aparat
keamanan) untuk melakukan fungsi keamanan dan ketertiban di republik ini.
Meningkatnya anggaran belanja pemerintah pusat untuk fungsi keamanan secara
signifikan, terutama sejak 2002 (dari sekitar Rp6,5 miliar menjadi hampir mencapai
Rp8,8 miliar pada 2003). Kenaikan ini juga sangat terlihat dalam anggaran 2005, yang
mengalokasikan lebih dari Rp15 ribu miliar untuk fungsi keamanan.
Kenaikan anggaran keamanan tersebut juga diikuti dengan peningkatan anggaran
pemerintah pusat untuk aparat keamanan terkait. Misalnya belanja pemerintah pusat
untuk Kepolisian Negara Republik Indonesia meningkat dari Rp10,6 miliar pada 2004
menjadi Rp11,2 miliar pada 2005. Sedangkan belanja pemerintah pusat untuk
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM meningkat dari Rp59,6
miliar pada 2004 menjadi Rp67,8 miliar pada 2005.
Namun, berdasarkan kenyataan yang ada dan masalah-masalah keamanan yang
terjadi, kenaikan anggaran dan kapasitas aparat keamanan yang terkait tidak
serta-merta menjamin keamanan dan ketertiban di negeri ini. Indonesia masih sangat
rentan tidak hanya akan masalah separatisme, terorisme, dan konflik antarkelompok,
namun juga akan isu-isu lain yang secara luas berkaitan dengan isu-isu politik dan
sosial.
Sebut saja masalah ketidakpuasan dan penolakan akan kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM untuk kedua kalinya; protes akan pencalonan dan hasil
penghitungan suara dalam pilkada; kerusuhan dalam pembagian dana kompensasi
untuk 15,5 juta keluarga miskin; aksi penghentian ibadah kelompok Ahmadiyah; dan
sebagainya.
Lebih jauh lagi, bantuan dari luar negeri, baik berupa dana pendukung, pelatihan, dan
perlengkapan yang diterima aparat keamanan pun malah mengundang kontroversi
seputar isu teror yang sengaja dipertahankan, serta sekuritisasi masalah khususnya
di daerah konflik, untuk mempertahankan peran militer di daerah yang bersangkutan,
serta memastikan lancarnya arus bantuan dana dan fasilitas ke daerah konflik
tertentu.
***
Dengan kata lain, konflik dan teror diciptakan untuk memelihara korupsi. Hal ini pula
yang tercetus saat terjadi pengeboman di Pasar Sentral, Poso, Sulawesi tengah pada
28 Mei lalu.
Intinya, aksi teror dan konflik ditujukan untuk tidak hanya menunjukkan
ketidakpuasan akan kebijakan pemerintah (seperti saat kenaikan harga BBM untuk
kedua kalinya pada awal Oktober lalu), namun juga konspirasi untuk mengalihkan
perhatian masyarakat atas isu-isu tertentu, seperti penyalahgunaan dana bantuan
untuk para pengungsi oleh pihak-pihak terkait.
Sangat ironis ketika kejadian-kejadian yang tidak bertanggung jawab tersebut tetap
terjadi dan terus berlangsung bahkan di tengah bulan yang suci seperti Ramadan,
maupun seperti aksi bom Natal 2000 lalu.
Rasanya para pelaku dan pihak-pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari konflik
dan aksi teror sudah digelapkan matanya, dan bahkan tidak lagi mengindahkan
nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Konflik dan teror malah dijadikan sumur untuk
mendulang keuntungan sebanyak-banyaknya di atas penderitaan orang lain yang
tidak berdosa.
Aparat pun sepertinya sudah tidak berdaya terlepas dari anggaran keamanan yang
meningkat, maupun dukungan dari kapasitas aparat yang mereka miliki. Peraturan
perundangan mengenai pemberantasan aksi terorisme pun dikhawatirkan akan
memberikan wewenang bagi aparat untuk bertindak represif dan sewenang-wenang,
misalnya dalam melakukan interogasi terhadap tersangka.
Bahkan rancangan undang-undang (RUU) seperti rahasia negara pun bisa menjadi
bumerang bagi publik ketika ingin mengetahui dan memastikan informasi yang
seharusnya berkaitan dengan kebijakan, serta nasib masyarakat ke depan.
Keputusan pemerintah untuk mengawasi pesantren-pesantren tertentu pun dianggap
diskriminatif dan cenderung menuduh secara sepihak.
Yang jelas, apa pun kebijakan yang diambil pemerintah dan aparat keamanan terkait
harus tetap memerhatikan nilai-nilai hak asasi manusia. Jangan sampai usaha untuk
memberantas aksi brutal tersebut malah menekan dan menghantui masyarakat
dengan mengatasnamakan keamanan.
Dalam hal ini, ada kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi pemerintah untuk
melaksanakan fungsi keamanan secara efektif. Kebutuhan tersebut tidak hanya
melulu mengenai anggaran dan kapasitas aparat, namun juga peraturan yang
akomodatif, peka, dan tanggap untuk melindungi keselamatan dan keamanan
masyarakat dengan tetap memerhatikan hak-hak asasi manusia.
Pemerintah dan aparat keamanan memang perlu bertindak tegas dan tepat, namun
bukan berarti membabi buta menuduh pihak-pihak tertentu dan melakukan tindakan
yang represif tanpa didasari bukti-bukti yang kuat.
Masyarakat perlu mulai belajar untuk melindungi diri dan lingkungannya dengan
perisai masyarakat sendiri. Kesadaran akan perlunya rasa toleransi antarumat
beragama maupun suku atau kelompok yang berbeda harus tetap dipelihara.
Komunikasi di antara masyarakat sendiri menjadi penting untuk mencegah dan
menghindari informasi yang simpang siur dan kesalahpahaman.
Jika perlu, masyarakat dapat belajar untuk membentuk gugus tugas untuk
mewaspadai dan mencegah aksi-aksi teror yang menyulut konflik dan memakan
korban tak bersalah. Apa pun bentuk, koordinasi, serta mekanismenya akan kembali
tergantung bagaimana masyarakat dapat mencegah mencuat dan melebarnya isu-isu
yang ada di lingkungan sekitarnya menjadi isu-isu keamanan.
Dengan kata lain, sekuritisasi isu-isu, seperti yang dikatakan Barry Buzan, yakni
melebarnya isu menjadi komoditas isu keamanan, akan memberikan kesempatan
yang lebar bagi aparat untuk masuk dan bertindak dengan caranya sendiri sesuai
dengan wewenang yang dilekatkan kepadanya.***
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|