Media Indonesia, Kamis, 17 November 2005
Poso Kembali Bergejolak Rangkaian Kasus bagai Ditelan Bumi
DOOR! Letusan senjata menyalak di penghujung petang pada 8 November. Dua gadis
terkapar. Mereka mengerang akibat luka menganga di wajah mereka.
Keduanya adalah Ivon Natalia Morange, 17, dan Siti Nuraini, 17. Kedua siswi Sekolah
Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Poso Kota, Sulawesi Tengah (Sulteng), itu menjadi
korban penembak misterius.
Warga di Jl Gatot Subroto, Kelurahan Kasintuwu, Kecamatan Poso Kota, tersentak.
Mereka berhamburan mendekati asal suara senjata. Tak lama kemudian suara
sepeda motor meraung berlalu. Dua orang berboncengan menenteng senjata terlihat
menjauh. Warga sekitar tak mampu berbuat apa-apa, yang bisa mereka lakukan
hanyalah menolong korban luka.
Kota Poso seakan tak henti diganggu tangan-tangan kotor. Orang-orang misterius
terus menebar teror. Belum lekang dari ingatan ketika tiga siswi Sekolah Menengah
Atas (SMA) Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Poso Kota meregang nyawa di
tangan orang-orang tak dikenal pada 29 Oktober.
Ketiga siswi, yakni Alfita Puliwu, 15, Theresia Morangke, 15, dan Yarni Sambue, 17,
dibantai di Dusun Bumboyo, Kelurahan Bukit Bamboo, Poso. Kepala mereka
dipenggal dan dibuang sejauh hampir 10 kilometer dari tubuh mereka.
Para penebar teror menyasar siapa saja mulai dari siswi, warga sipil hingga anggota
polisi. Pada 12 Oktober, Brigadir Polisi Satu (Briptu) Agus Sulaeman, anggota
Kepolisian Resor Poso ditembak mati oleh penembak misterius di Kelurahan Gebang
Rejo, Kecamatan Poso Kota.
Serangkaian serangan orang-orang tak dikenal sampai kini belum juga terungkap.
Upaya untuk mencari pelaku teror seperti raib ditelan bumi. Meski sejumlah saksi
sudah diperiksa, tak satu pun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam kurun empat bulan terakhir, sedikitnya lima orang menjadi korban penembakan
misterius. Empat warga sipil yang tewas, pernah menjadi saksi dalam rangkaian
insiden kekerasan di Kabupaten Poso.
Kasus bom
Setali tiga uang dengan kasus penembakan dan pembantaian, kasus pengeboman di
Poso pun sampai saat ini masih gelap. Dua kasus bom yang melanda Kota Poso dan
Tentena--ibu kota Kecamatan Pamona Utara--pengusutan kasusnya mengalami jalan
buntu.
Puluhan orang yang sempat ditahan karena diduga terkait kedua insiden tersebut
satu per satu akhirnya dilepas. Dari 25 saksi yang diperiksa terkait bom di depan
Pasar Sentral Poso di Jl Sumatra, Poso Kota--100 meter dari Polres Poso--yang
menewaskan enam warga dan mencederai tiga lainnya pada 13 November 2004 lalu,
tidak banyak membantu pengungkapan para tersangka.
Untuk merangsang masyarakat agar memberikan informasi, polisi sempat menggelar
sayembara dengan hadiah puluhan juta rupiah, namun, hasilnya tetap nihil.
Begitu pula dengan pengungkapan pelaku bom Tentena pada 28 Mei 2005, yang
menewaskan 22 orang dan melukai puluhan lainnya, hingga kini pelakunya masih
gelap. Padahal, pihak kepolisian telah memeriksa lebih dari 100 saksi.
Lantas bagaimana kepolisian mengomentari hal itu? Kapolres baru Poso Ajun
Komisaris Besar (AKB) Rudi Sufahriadi hanya mengatakan pihaknya masih
mengumpulkan berbagai data tentang kasus-kasus kekerasan yang pernah terjadi di
Poso.
Rudi yang baru sepekan menggantikan AKB Soleh Hidayat berjanji akan
mengerahkan aparatnya secara maksimal untuk mengungkap aksi-aksi teror itu.
Janji-janji untuk segera mengungkap aksi teror sebenarnya sering kali terucap.
Namun, hingga kini kasus itu masih tetap gelap. Tidak mengherankan bila
masyarakat pesimistis atas kinerja para penegak hukum.
Ketua Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Muslim Poso Adnan Arsyal menilai
polisi lamban dalam mengungkap berbagai kasus kekerasan di Poso. Ia
mengharapkan polisi dapat bekerja secara profesional. "Penegakan hukum atas para
pelaku kerusuhan Poso pada masa lalu pun harus ditindak," tandas Adnan, salah
seorang pencetus Deklarasi Malino.
Menurut dia, penambahan pasukan selama ini belum bisa menyelesaikan konflik
Poso, bahkan malah menambah persoalan baru bagi warga Poso.
Pernyataan senada dilontarkan Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) Pendeta Irianto Kongkoli. Ia menyayangkan kinerja aparat
keamanan yang dinilainya lamban.
Dikatakannya, ratusan intelijen yang disebar seharusnya bisa mencium akan adanya
aksi kekerasan. Namun, operasi dengan dana yang cukup besar itu hasilnya sampai
saat ini nihil. "Bahkan pengiriman pasukan antiteror justru tidak mengurangi teror,"
ujar Kongkoli.
Adnan pun berpendapat penyelesaian kasus Poso sebenarnya tidak bisa dilakukan
secara terpisah. "Penyelesaiannya harus utuh karena hingga kini persoalan utama
belum selesai terutama hak-hak warga muslim dan Kristen yang belum
dikembalikan," ungkap Adnan.
Yang dimaksudkan Adnan adalah soal kepemilikan perdata hak-hak warga muslim
dan Kristen. Saat ini, banyak tanah milik warga yang belum digarap atau kembali
dimiliki oleh pemiliknya.
Akibat konflik menahun di kabupaten penghasil kayu hitam itu banyak warga
mengungsi. Saat mereka kembali ke kampung asal, tanah mereka tak jarang
dikuasai orang lain. Ada pula warga yang masih takut kembali ke daerah asal
sehingga tanahnya diambil alih oleh orang lain.
Lantas bagaimana pemerintah menyikapi kasus ini? Wakil Bupati Poso Abdul
Muthalib Rimi mengatakan kebijakan pemerintah sebenarnya sudah jelas. Yakni
mengacu pada Deklarasi Malino 20 Desember 2001 dan Instruksi Presiden (Inpres)
No 14 Tahun 2005.
Memang, dalam salah satu butir Deklarasi Malino disebutkan agar semua bentuk
konflik perselisihan di Poso dihentikan. Namun kenyataannya deklarasi itu baru efektif
saat meredakan konflik antarkelompok pada 2002.
Hal itu diakui pula Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST Kongkoli. Ia menilai
Deklarasi Malino memang terbilang sukses, sebab mampu menghentikan aksi
konfrontasi antara Islam dan Kristen. Sayangnya, tetap tidak mampu menghentikan
aksi teror
Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengeluarkan Inpres No 14
Tahun 2005 yang intinya meminta sejumlah menteri dan lembaga pemerintah untuk
mengambil langkah konkret terkait dengan masalah Poso.
Menurut Abdul, pemerintah juga akan melakukan pendataan dan pengendalian
kependudukan serta mengembalikan hak-hak perdata penduduk sipil. "Langkah
awalnya pemerintah akan segera menertibkan dan mendata ulang identitas penduduk
Poso," tandasnya.
Rakyat Poso sekali lagi tidak butuh janji, yang mereka butuhkan adalah tindakan
nyata pemerintah dan aparat keamanan untuk segera menghentikan kasus kekerasan
di Bumi Sintuwu Maroso. (Hafid Laturadja/N-2).
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|